بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Penjaminan mutu pendidikan tinggi di Indonesia merupakan salah satu pilar penting untuk memastikan bahwa sistem pendidikan tinggi menghasilkan lulusan yang kompeten dan relevan dengan kebutuhan global.
Permendikbudristek No. 53/2023 merupakan regulasi Pemerintah dan landasan hukum bagi pelaksanaan penjaminan mutu melalui Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dan Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME). Namun, implementasi di lapangan tidak semudah membalik telapak tangan.
Kebijakan diatas kerap kali dihadapkan berbagai tantangan, termasuk keterbatasan fleksibilitas dan tingginya beban administratif bagi pelaksana perguruan tinggi.
Melalui Surat Edaran Nomor 15 Tahun 2024, Menteri mengundang pemangku kepentingan untuk memberikan masukan, saran dan pertimbangan atas evaluasi Permendikbudristek No. 53/2023. Artikel ini bertujuan untuk memberikan masukan dan usulan konkret guna meningkatkan efektivitas kebijakan penjaminan mutu pendidikan tinggi. Masukan ini fokus pada upaya perbaikan fleksibilitas, relevansi, dan inovasi yang dibutuhkan perguruan tinggi untuk bersaing secara global.
Baca juga: Usulan Revisi Permendikbudristek No 53/2023: Otonomi dan Fleksibiltas Penjaminan Mutu
Permendikbudristek No. 53/2023 memiliki potensi untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip penjaminan mutu berbasis Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti). Kebijakan ini memberikan kerangka kerja yang jelas untuk perguruan tinggi dalam melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Standar Dikti yang ditetapkan dirancang untuk memastikan keselarasan mutu pendidikan tinggi di tingkat nasional.
Permendikbudristek No. 53/2023 juga mendorong dan memberikan peluang bagi perguruan tinggi untuk melampaui SN Dikti melalui pengembangan Standar Dikti yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi. Kebijakan ini menjadi penting karena memastikan semua perguruan tinggi, baik PTN maupun PTS, memiliki pedoman yang sama untuk meningkatkan mutu pendidikan mereka.
Namun demikian, pendekatan seragam yang ditetapkan dalam Permendikbudristek No. 53/2023 pasal 68 terkait kewajiban PPEPP (penetapan, pelaksanaan , evaluasi, pengendalian dan peningkatan standar), menurut hemat penulis, berpotensi menjadi hambatan bagi perguruan tinggi dengan mengembangkan SPMI mereka.
Kebingungan terhadap konsep PPEPP dan administrasi yang berat untuk memenuhi lima komponen PPEPP sering kali menyita sumber daya yang seharusnya dapat dialokasikan untuk pengembangan mutu melalui inovasi dan eksperimen lainnya. Kurangnya ruang fleksibilitas dapat mempersulit perguruan tinggi untuk menyesuaikan metode penjaminan mutu mereka dengan visi dan misi unik (mission diferentiation) masing-masing.
Salah satu cara untuk meningkatkan efektivitas (dan efisiensi) penjaminan mutu adalah dengan mengalihkan fokus dari proses administratif ke hasil nyata yang ingin dicapai.
Evaluasi berbasis hasil memungkinkan perguruan tinggi untuk mencapai target standar mutu mereka tanpa harus terikat pada metode atau cara-cara tertentu.
Contoh, perguruan tinggi dapat menggunakan indikator keberhasilan seperti tingkat kepuasan mahasiswa, daya serap lulusan di dunia kerja, atau inovasi penelitian. Pendekatan ini memberikan ruang bagi perguruan tinggi untuk bereksperimen dengan cara atau metode manajemen mutu lain tanpa harus terikat menerapkan “PPEPP” versi pemerintah, contoh seperti memakai PDCA (Plan-Do-Check-Act), Lean- Agile Management, metode balance scorecard, atau metode QMS lain seperti ISO 21000.
Kebebasan memilih sistem manajemen mutu tentu sangat relevan dengan semangat otonomi perguruan tinggi yang diamanahkan UU no 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Perguruan tinggi dapat memilih sistem mutu yang sesuai dengan kemampuan, potensi dan kebutuhan mereka. Pendekatan kebijakan “berbasis hasil” mendorong perguruan tinggi untuk fokus pada hasil nyata (substantif) dari sistem penjaminan mutu (QMS) yang mereka pilih secara mandiri.
Setiap perguruan tinggi memiliki karakteristik dan misi unik (mission differentition) yang berbeda, baik dari segi sumber daya, lokasi geografis, maupun fokus keilmuan. Oleh sebab itu, kebijakan penjaminan mutu perlu memberikan keleluasaan kepada perguruan tinggi untuk menyesuaikan implementasinya dengan konteks lokal. Perguruan tinggi dapat bebas mengadopsi metode alternatif yang mereka anggap paling cocok, misal seperti Six Sigma, MBO (management by objective) atau model lainnya. Perguruan tinggi dapat berinovasi dengan modifikasi PPEPP menjadi cukup 3 langkah saja (lebih mudah diingat): Penetapan, Pelaksanaan dan Evaluasi saja (dimana tahap Penetapan dan Peningkatan sudah dimasukkan dalam indikator proses Evaluasi). Institusi juga dapat berinovasi dengan berbagai kombinasi dan pilihan kearifan lokal untuk memenuhi komponen PPEPP. Penyesuaian ini, memungkinkan institusi untuk tetap fokus pada hasil (capaian standar) tanpa harus terbebani oleh proses administratif yang diseragamkan.
Baca juga: Inkrementalisme dalam SPMI: Realistis atau Jalan di Tempat?
Pemerintah dapat memberikan insentif berupa pendanaan tambahan bagi perguruan tinggi yang berhasil mengembangkan model inovasi dalam penjaminan mutu.
Misalnya, perguruan tinggi yang mengadopsi teknologi digital dan AI untuk meningkatkan efisiensi sistem manajemen mutu dapat menerima hibah untuk memperluas implementasi tersebut. Hal ini tidak hanya mendorong inovasi namun juga menciptakan model praktik baik (best practice) yang dapat diadopsi oleh institusi lain.
Lebih lanjut, Kementerian dapat memfasilitasi pilot project untuk menguji pendekatan baru dalam penjaminan mutu. Program ini memungkinkan perguruan tinggi untuk mencoba metode baru tanpa harus menghadapi risiko besar, (sambil tetap terjaga untuk memenuhi kewajiban standar nasional).
Selain dukungan finansial, pemerintah dapat memberikan penghargaan (reward & recognition) kepada institusi yang berhasil mencapai prestasi luar biasa dalam inovasi pengembangan sistem manajemen mutu pendidikan.
Penghargaan ini dapat berupa hadiah atau akreditasi khusus, publikasi hasil pencapaian, atau status “excellence” yang meningkatkan reputasi institusi di tingkat nasional maupun internasional. Hal ini tentu dapat meningkatkan semangat / motivasi dosen dan karyawan. Mereka akan bersungguh-sungguh mengejar hal-hal yang substantif bukan sekedar formalitas administratif belaka.
Baca juga: SPMI dalam Perspektif Easton: Pendidikan Tinggi di Persimpangan Jalan?
Untuk evaluasi Kebijakan SPMI pada Permendikbudristek No. 53/2023, berikut 5 poin masukan sebagai bahan pertimbangan:
Baca juga: Menakar Keberhasilan SPMI: Efektifkah Siklus PPEPP?
Evaluasi Permendikbudristek No. 53/2023 merupakan langkah krusial untuk membangun kebijakan penjaminan mutu yang lebih fleksibel, adaptif, dan relevan dengan kebutuhan pendidikan tinggi di Indonesia.
Dengan memberikan ruang bagi perguruan tinggi untuk berinovasi dan menyesuaikan metode mereka, kebijakan ini dapat meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan.
Pendekatan berbasis hasil, dukungan teknologi, dan insentif inovasi akan memastikan bahwa kebijakan penjaminan mutu tidak hanya menjadi alat kontrol semata, namun juga pendorong transformasi dalam pendidikan tinggi. Dengan demikian, Insya Allah pendidikan tinggi di Indonesia akan lebih siap menghadapi tantangan global sambil tetap relevan dengan tuntutan dan harapan stakeholder lokal. Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi