• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Menghidupkan SPMI: Saatnya Belajar dari Master TQM Dunia!

SPMI dan 10 Peran Manajer

Menghidupkan SPMI: Saatnya Belajar dari Master TQM Dunia!

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Di suatu pagi yang sibuk, Rektor Kampus Sangkuriang (fiktif), Dr. Hasan, memandang laporan tahunan progres kinerja mutu pendidikan tinggi di kantornya. Data menunjukkan tren stagnasi kualitas lulusan selama dua tahun terakhir, mimpi buruk bagi pimpinan. Walaupun berbagai kebijakan telah diambil, hasilnya tetap jauh dari harapan. Dr. Hasan bertanya-tanya: Apakah ada cara-cara lain untuk memecahkan lingkaran masalah ini? Dalam pencariannya, pak Rektor menemukan gagasan para pemikir manajemen mutu, yang dikenal sebagai guru-guru Total Quality Management (TQM), seperti Deming, Crosby, Peters, Juran, dan Ishikawa. Di sinilah perjalanan penguatan SPMI dimulai. Jangan kemana mana, ambil segelas kopi pahit (tanpa gula) lanjutkan membaca hingga tuntas.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

Inspirasi Para Guru Hebat

W. Edwards Deming: Perbaikan Berkelanjutan Adalah Kunci

Edward Deming, seorang pemikir visioner dalam dunia kualitas, memperkenalkan konsep System of Profound Knowledge yang mengajarkan bahwa organisasi harus memahami cara kerja sistem secara menyeluruh dan mengurangi variasi. Dalam siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar (siklus PPEPP), ide Deming dapat diterapkan melalui adaptasi siklus PDCA (Plan-Do-Check-Act). Perguruan tinggi dapat merancang strategi peningkatan mutu akademik dengan pendekatan iteratif, memungkinkan pembaruan berkelanjutan. Ungkapan bijak mengatakan “Kualitas tidak terjadi secara kebetulan; itu adalah hasil dari usaha yang cerdas.”

Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI

Joseph Juran: Kualitas Dimulai dari Perencanaan

Joseph Juran membawa perspektif unik tentang “Quality Trilogy” yang mencakup perencanaan kualitas, kontrol kualitas, dan perbaikan kualitas.

Prinsip “fitness for use” dari Juran menegaskan bahwa kualitas harus relevan dengan kebutuhan nyata dunia kerja dan inovasi global. Inilah tantangan bagi Kampus Sangkuriang, apakah mampu?

Bayangkan jika kurikulum di Kampus Sangkuriang dirancang dengan melibatkan pelaku industri secara langsung, sehingga setiap mata kuliah tidak hanya memenuhi standar akademik tetapi juga mencerminkan kebutuhan terkini dunia kerja. Lulusan kampus tidak hanya siap bekerja, tetapi juga memiliki daya saing global yang nyata.

Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?

Philip Crosby: Kualitas Adalah Gratis

Dengan pandangan “Quality is Free”, Crosby mengajarkan bahwa investasi dalam kualitas menghasilkan penghematan jangka panjang. Dalam pelaksanaan SPMI, pendekatan ini dapat diterapkan melalui pencegahan kesalahan dalam proses akademik dan administratif. Bayangkan jika setiap tugas akhir mahasiswa dirancang dengan bimbingan yang tepat, akan berapa banyak sumber daya yang dapat di hemat dari revisi yang tidak perlu?

Contoh lain, proses penerimaan mahasiswa baru dilakukan dengan sistem digital yang terintegrasi, sehingga mengurangi kesalahan administratif, mempercepat verifikasi dokumen, dan memberikan pengalaman pendaftaran yang lebih baik bagi calon mahasiswa. Tidak hanya menghemat waktu dan biaya, tetapi juga meningkatkan citra perguruan tinggi sebagai institusi yang efisien dan modern.

Baca juga: Merancang Mission Differentiation di Era BANI

Tom Peters: Kekuatan Kepemimpinan dalam Mutu

Tom Peters menginspirasi melalui konsep Management by Wandering Around (MBWA), yang mendorong pemimpin untuk terlibat langsung dengan tim mereka. Rektor dan dekan yang mendekati mahasiswa, dosen, dan staf administratif akan menciptakan lingkungan kerja yang inklusif, mempercepat proses deteksi masalah, dan memperkuat “rasa memiliki” terhadap kualitas institusi. “Keunggulan adalah hasil dari perhatian terus-menerus terhadap hal-hal kecil,” kata Peters, yang relevan dalam konteks pendidikan tinggi.

Bayangkan jika seorang rektor secara rutin mengunjungi kelas-kelas, mendengarkan langsung pengalaman belajar mahasiswa, dan berdiskusi dengan dosen mengenai tantangan pengajaran. Tidak hanya memperkuat hubungan dari berbagai pihak, namun juga memungkinkan pemimpin untuk mengambil keputusan berbasis data dan pengalaman nyata di lapangan, menciptakan budaya perbaikan (korektif dan preventif ) yang konsisten.

Ilustrasi lain, contoh seorang dekan yang secara teratur mengunjungi laboratorium atau ruang diskusi mahasiswa. Ia mendengar bahwa beberapa alat dan fasilitas laboratorium sering rusak dan segera mengambil tindakan untuk memperbaikinya. Langkah sederhana ini menunjukkan bahwa kepemimpinan hadir dan peduli terhadap kebutuhan seluruh komunitas kampus.

Baca juga: Penguatan SPMI dengan 10 Peran Manajer ala Mintzberg

Kaoru Ishikawa: Memahami Akar Masalah

Ishikawa membawa alat praktis seperti fishbone diagram (diagram tulang ikan) untuk mengidentifikasi akar penyebab masalah. Perguruan tinggi harus dapat menggunakan pendekatan ini untuk menganalisis hambatan dalam pelaksanaan PPEPP, seperti keterbatasan data atau kurangnya koordinasi antarunit. Konsep “GKM” (Gugus Kendali Mutu) dari Ishikawa juga sangat penting, menekankan pentingnya partisipasi semua pihak dalam meningkatkan mutu pendidikan.

Bayangkan jika sebuah fakultas membentuk tim GKM yang terdiri dari dosen, mahasiswa, dan staf untuk membahas tantangan dalam implementasi metode pembelajaran daring. Dengan masukan dari semua pihak, mereka dapat mengidentifikasi masalah-masalah teknis, kebutuhan pelatihan, atau cara meningkatkan interaksi, sehingga menghasilkan solusi dan rekomendasi yang lebih efektif dan diterima luas.

Penutup

Belajar dari para guru ini, perguruan tinggi di Indonesia dapat mengoptimalkan siklus PPEPP secara lebih efektif. Dengan memahami sistem, merancang standar mutu yang relevan, dan melibatkan semua stakeholder, perguruan tinggi dapat menciptakan budaya mutu yang berkelanjutan. Kunci keberhasilan adalah integrasi ide-ide besar dari para guru ini ke dalam konteks lokal tanpa kehilangan esensi globalnya.

Sebagai akhir perjalanan ini, kata-kata W. Edwards Deming memberikan filosofi dan pencerahan: “Tidak ada yang lebih berbahaya daripada merasa puas dengan status quo. Perubahan adalah awal dari perbaikan.” Mulai hal kecil, mulai dari diri sendiri dan mulai sekarang. Dengan semangat ini, mari kita terus hidupkan “ruh” SPMI di setiap kampus, menuju pendidikan tinggi yang lebih bermutu dan unggul. Stay Relevant!

Baca juga: Pola Pikir, Sikap, dan Perilaku: Pilar Utama Budaya Mutu SPMI


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

admin

MOTTO: Senantiasa bergerak dan berempati untuk menebar manfaat bagi Mutu Pendidikan di Indonesia