بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com
“OBE sering terasa hidup di dokumen, tapi sepi di kelas. CBL dan PjBL bisa menghidupkannya—jika kita mau belajar menemukan maknanya kembali.”
Outcome based learning (OBE) sering terdengar megah di rapat, tapi sayangnya sunyi di kelas. Di dokumen, mahasiswa digambarkan mandiri, kritis, kolaboratif. Di ruang belajar, mereka masih menunggu instruksi. Dosen bicara tentang case-based learning (CBL) dan project-based learning (PjBL), tapi yang berjalan sering hanya “tugas yang berganti kemasan”. Kita menyebutnya inovasi, padahal kadang cuma rutinitas lama dengan istilah baru yang lebih keren.
Semangat OBE lahir dari gagasan William Spady (1994). Gagasan ini menumbuhkan inspiratif: pendidikan harus dimulai dari hasil akhir, outcome seperti apa yang ingin dihasilkan. Prinsip Clarity of Focus mengajak kita merancang dari hasil akhir, bukan dari aktivitas. Tapi di lapangan, kita sering berhenti di formulir CPL dan RPS. Bisa jadi kita merasa sudah “jelas” karena semuanya tertulis rapi di dokumen, padahal mahasiswa masih bingung, masih meraba-raba, berjalan tanpa arah dan makna.
CBL seharusnya membantu mahasiswa mengasah logika dan empati disaat menghadapi dilema dalam kasus. Tapi banyak kasus yang disajikan terlalu “aman” — satu jawaban benar, satu jalan penyelesaian. Padahal kekuatan CBL justru ada pada ketidakpastian: ketika mahasiswa belajar menimbang, berempati, berdialog, dan mengambil keputusan yang bisa dipertanggungjawabkan. Di situlah OBE hidup — bukan karena kasusnya sulit, tapi karena mendorong proses berpikir dan ketrampilan metakognitif.
Begitu pula dengan PjBL. Di banyak kelas, proyek dijadikan tugas akhir semata, padahal esensinya adalah “perjalanan”. Design Down–Deliver Up, kata Spady, artinya dosen merancang pengalaman belajar dari hasil yang diinginkan, lalu menyerahkan ruang eksplorasi kepada mahasiswa. Tapi sering kali proyek hanya jadi “checklist”: ada produk, ada laporan, selesai. Tidak ada ruang refleksi, tidak ada percakapan tentang kegagalan. Akibatnya, mahasiswa sibuk bekerja, tapi jarang belajar.
Inilah paradoks pendidikan kita: semakin banyak metode baru diperkenalkan, semakin kita terjebak pada mekanisme lama. Kita berbicara tentang student-centered learning, tapi praktiknya masih tetap teacher-centered learning. Kita bicara tentang mutu, tapi sibuk pada format. Seolah OBE hanyalah akronim administratif, bukan ekosistem belajar.
Di titik inilah pemikiran W. Edwards Deming terasa relevan. Deming (1986) menekankan bahwa mutu bukan hasil pengawasan, tapi buah dari kebiasaan memperbaiki diri. Filsafat PDCA—Plan, Do, Check, Act—sebenarnya senapas dengan PPEPP dalam SPMI. Sayangnya, di banyak perguruan tinggi, PPEPP berhenti di laporan tahunan. Siklusnya tidak hidup di ruang kelas.
Padahal bila dijalankan dengan semangat Deming, SPMI (Sistem Penjaminan Mutu Internal) bukanlah sistem pengawasan, melainkan ekosistem pembelajaran. Ia berfungsi sebagai ruang refleksi kolektif kampus: menetapkan standar dengan sadar (Plan), melaksanakan dengan tanggung jawab (Do), mengevaluasi dengan jujur (Check), mengendalikan hasil (Act), dan terus memperbaiki diri (Improve). Di sinilah PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian dan Peningkatan Standar) menemukan ruhnya. SPMI tidak berhenti di borang, tapi bergerak di perilaku: dosen belajar dari mahasiswa, prodi belajar dari pengalaman, dan kampus belajar dari data.
Jika SPMI dijalankan dengan cara itu, maka CBL dan PjBL akan punya rumah. Siklus mutu menjadi wadah alami bagi dosen untuk meninjau efektivitas kasus, memperbaiki desain proyek, dan menumbuhkan budaya refleksi. Di setiap tahap PPEPP, OBE mendapat ruang untuk tumbuh — dari penetapan CPL hingga peningkatan praktik pembelajaran. Dengan begitu, mutu bukan sekadar hasil audit, tapi hasil berpikir bersama.
Bayangkan kalau PDCA dan PPEPP benar-benar dipraktikkan dalam ruang kelas. Dosen tidak hanya menyusun rencana (Plan), tapi juga menjalankan dan mengamati implementasinya (Do), meninjau hasil bersama mahasiswa (Check), lalu menindaklanjuti dengan perbaikan — baik dalam bentuk remidi untuk mahasiswa, maupun penyempurnaan pembelajaran di semester berikutnya (Act). Saat itu terjadi, proyek dan kasus bukan lagi tugas administratif, tapi latihan berpikir sistematis, reflektif dan problem solving.
Namun saat ini dunia sudah berubah jauh, tidak lagi sama seperti ketika Spady dan Deming menulis gagasannya. Hari ini, mahasiswa hidup di tengah AI, big data, dan algoritma yang bergerak lebih cepat dari silabus. Mereka bisa mencari literatur, mencari ide, menganalisis kasus, bahkan menulis laporan hanya dengan satu perintah. Kemudahan ini menimbulkan dilema baru: apakah mereka benar-benar belajar ketika mesin ikut berpikir?
Holmes, Bialik, dan Fadel (2019) menyebut hadirnya kecerdasan buatan dalam pendidikan sebagai peluang sekaligus tantangan: AI dapat memperluas pengalaman belajar, tapi makna dan arah tetap harus dikawal dan ditentukan oleh manusia. Mereka menekankan bahwa teknologi seharusnya menjadi mitra berpikir, bukan pengganti berpikir itu sendiri. Dalam CBL, AI dapat membantu mahasiswa memahami data, mensimulasikan kasus, dan memperluas perspektif; namun dosenlah yang menuntun mereka untuk bertanya “why” di balik hasil itu. Dalam PjBL, AI bisa berperan sebagai alat eksplorasi ide dan mencari referensi, tetapi refleksi tetap menjadi bagian manusia.
Jika pendekatan CBL dan PjBL digabung dengan pemikiran Spady, Deming, dan Holmes dkk., serta diletakkan dalam koridor sistem SPMI yang hidup, maka OBE akan menemukan wajahnya yang paling manusiawi. Bayangkan kelas yang dimulai dari sebuah kasus sosial: mahasiswa berdiskusi, meminta bantuan AI untuk mencari referensi dan menganalisis data, lalu merancang proyek kecil di komunitas untuk menjawab masalah tersebut. Dosen tidak lagi sekadar memberi penilaian, tapi menjadi mentor dan fasilitator makna. Mahasiswa tidak hanya mengerjakan tugas, tapi menjalani proses belajar yang otentik dan kontekstual.
Namun tentu, perubahan seperti itu tidak akan lahir dari kebijakan semata. Ia tumbuh dari budaya refleksi kecil di ruang dosen. Dari keberanian untuk bertanya, “Apakah mahasiswa sungguh belajar?” Bukan sekadar, “Apakah RPS sudah selesai?” OBE sejatinya tidak membutuhkan banyak format tambahan; ia hanya menuntut satu hal: kesadaran bahwa pendidikan adalah proses untuk tumbuh dan transformasi, bukan administrasi.
Untuk itu, ada beberapa kebiasaan baru yang perlu dirawat. Pertama, pentingnya refleksi mini di setiap akhir sesi: dosen dan mahasiswa sama-sama menulis apa yang mereka pelajari hari itu. Kedua, kolaborasi antar dosen dalam meninjau praktik CBL–PjBL, bukan untuk menilai, tapi mencari hikmah, saling belajar. Ketiga, penggunaan AI secara sadar: bukan untuk memotong jalan berpikir, tapi untuk memperluas cakrawala. Ketiganya sederhana, tapi jika dilakukan terus-menerus, akan mengubah cara kampus dalam proses pendidikan dan pengajaran.
Perlu kita sadari, OBE bukanlah kurikulum yang pasti sempurna, semua tergantung pada praktik nyata di kelas. Ketika dosen berhenti memberi jawaban dan mulai menuntun mahasiswa bertanya; ketika dosen dan mahasiswa bersama-sama mencari jawaban; ketika proyek tidak lagi soal nilai tapi soal kontribusi; ketika kasus tidak lagi jadi latihan ujian tapi latihan berpikir — di situlah OBE benar-benar menemukan wajahnya.
CBL dan PjBL hanyalah dua jalan menuju makna itu. Satu mengasah logika, satu menumbuhkan tindakan. Keduanya akan sia-sia jika dijalankan tanpa refleksi, tanpa hikmah, tapi akan luar biasa jika dijalankan dengan kesadaran, dengan baik dan benar. Sebab pendidikan bukan diukur dari seberapa sering kita berganti metode, melainkan dari seberapa dalam metode itu mengubah cara kita memandang manusia dan proses belajarnya. Semua perlu kejujuran, seimbang dan adil.
Dan seperti pesan dalam QS. Ar-Rahman [55]:7–9, keseimbangan adalah bagian dari amanah. “Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia letakkan neraca (keadilan), supaya kamu jangan merusak keseimbangan.” Langit pun dijaga dengan ukuran yang tepat; demikian pula mutu pendidikan seharusnya dijaga dengan kesadaran yang adil — antara dokumen dan praktik, antara nilai dan makna. Di situlah keseimbangan sejati OBE ditemukan.
Stay Relevant!
Daftar Pustaka
- Deming, W. E. (1986). Out of the Crisis. Cambridge, MA: Massachusetts Institute of Technology, Center for Advanced Engineering Study.
- Holmes, W., Bialik, M., & Fadel, C. (2019). Artificial intelligence in education: Promises and implications for teaching and learning. Boston, MA: Center for Curriculum Redesign.
- Spady, W. G. (1994). Outcome-Based Education: Critical Issues and Answers. Arlington, VA: American Association of School Administrators.
Instagram: @mutupendidikan




