بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com
“Menjalankan OBE bukan sekadar urusan dokumen, tapi soal kebiasaan. Saat dosen dan mahasiswa menanam 7 Habits, mutu kampus tumbuh dari dalam.”
Bagaimana mungkin Outcome-Based Education (OBE) bisa benar-benar hidup kalau dosennya sendiri belum menanam kebiasaan efektif? Penulis buku bestseller Stephen Covey pernah berujar, perubahan sejati selalu dimulai dari internal, dari dalam diri sendiri. Kita boleh klaim punya dokumen yang lengkap, sistem penilaian rapi, bahkan akreditasi yang unggul. Tapi tanpa kebiasaan berpikir proaktif, tanpa kesadaran tujuan, tanpa disiplin untuk update ilmu, memperbarui diri, semua itu hanya menjadi rutinitas administratif, sekedar prosedural semu.
OBE sebenarnya sederhana: memastikan mahasiswa benar-benar mencapai kemampuan yang dibutuhkan dunia nyata. Namun di lapangan, masih banyak kampus sibuk dengan form dan pelaporan, bukan perubahan habits dan cara berpikir. Padahal, OBE tidak berhenti pada penguasaan kompetensi teknis semata, tetapi juga menumbuhkan karakter pembelajar. Outcome sejati bukan hanya tentang apa yang mahasiswa tahu atau bisa lakukan, tetapi tentang “mengenal diri”, siapa mereka setelah melewati proses belajar. Di sinilah tujuh kebiasaan efektif dari Covey menjadi inspirasi yang mampu menghidupkan OBE—bukan hanya di atas kertas, tapi di ruang kelas dan dalam budaya mutu kampus.
Kebiasaan pertama yang disampaikan Covey, Be Proactive. Ini bukan sekadar ajakan untuk rajin, tapi kesadaran bahwa pimpinan, dosen dan mahasiswa adalah agen perubahan (change agent), sebagai subyek, bukan objek, bukan korban sistem. Dosen yang proaktif tidak menunggu arahan (pasif) atau template baru. Ia aktif memperbaiki metode ajar, berkreasi mencoba asesmen baru, dan memfasilitasi mahasiswa agar tumbuh mandiri. Dalam konteks OBE, proaktivitas adalah jiwa continuous improvement — semangat yang juga menjadi inti SPMI (sistim penjaminan mutu internal).
Kebiasaan kedua, Begin with the End in Mind. Inilah cerminan langsung dari prinsip Design Down, Deliver Up yang diajarkan William Spady dalam Outcome-Based Education. Covey berbicara tentang individu, Spady tentang sistem, tetapi keduanya berangkat dari gagasan yang sama: segala sesuatu harus dimulai dengan gambaran akhir yang jelas. Dalam pendidikan, dosen dan kampus perlu tahu jenis “lulusan seperti apa” yang ingin dihasilkan, sebelum menentukan langkah-langkah untuk mencapainya seperti metode, asesmen, atau kegiatan belajar.
Dosen yang mempraktikkan kebiasaan ini tidak sekadar menulis RPS (Rencana Pembelajaran Semester), tetapi merancang setiap pertemuan agar mahasiswa bergerak menuju kompetensi yang bermakna. Kampus yang berpikir seperti ini tidak hanya mengejar kelulusan, tetapi membangun arah hidup akademik yang sadar tujuan — karena hasil besar selalu dimulai dari visi dan outcome yang jernih.
Kebiasaan nomor tiga, Put First Things First. Artinya, fokus memprioritaskan yang penting, bukan yang mendesak. Banyak dosen tenggelam dalam urusan laporan, padahal yang lebih penting adalah proses pembelajaran itu sendiri. Dalam OBE, prinsip ini mendorong dosen fokus pada kegiatan yang betul-betul berdampak bagi mahasiswa. SPMI bisa membantu menjaga prioritas ini dengan memastikan evaluasi mutu tidak terjebak pada administrasi, tapi menilai esensi. Hal yang benar-benar substantif.
Kebiasaan keempat, Think Win-Win. Prinsip ini penting dalam budaya akademik yang sering kali terjebak dalam ego hierarki dan kepentingan individu. Dalam OBE, keberhasilan bukan milik satu pihak. Dosen, mahasiswa, dan institusi harus sama-sama tumbuh, win-win sama-sama berhasil. Jika mahasiswa belum mencapai outcome, dosen tidak gagal — ia belajar dan mencari solusi, memperbaiki pendekatan. SPMI berperan menumbuhkan budaya saling dukung ini, agar mutu tidak menjadi kompetisi internal yang rentan konflik, tapi kolaborasi.
Kebiasaan kelima, Seek First to Understand, Then to Be Understood. Di banyak kampus, evaluasi dan audit mutu internal (AMI) sering terasa seperti ruang penghakiman. Padahal inti dari evaluasi adalah empati dan memahami, bukan menilai. Dalam OBE, dosen perlu mendengar mahasiswa: kesulitannya, ritme belajarnya, gaya berpikirnya. Ketika dosen mau memahami lebih dulu, pembelajaran menjadi dialog. SPMI juga bisa menerapkan prinsip ini dalam proses evaluasi unit — dengan mendengar sebelum menilai. Bangun iklim komunikasi yang sehat, maka mutu tumbuh secara alami.
Kebiasaan nomor enam, Synergize. Ini adalah semangat kerjasama, kolaborasi sejati. Dalam konteks OBE, sinergi berarti dosen lintas prodi bekerja bersama merancang pengalaman belajar yang saling melengkapi. Mahasiswa belajar lintas disiplin, dan kampus membangun sistem berbasis kolaborasi, bukan sekat birokrasi. SPMI dapat memperkuat sinergi ini dengan membuat standar dan menjadikan evaluasi lintas unit sebagai ruang berbagi, bukan saling mengukur.
Kebiasaan ketujuh, Sharpen the Saw (mengasah gergaji). Ini adalah ajakan untuk memperbarui diri terus-menerus — prinsip yang identik dengan konsep peningkatan berkelanjutan (kaizen) dalam mutu. Dosen yang mau belajar, mengasah metode, dan membuka diri terhadap inovasi digital adalah bukti bahwa “gergaji” terus diasah, mutu hidup dalam dirinya. Kampus yang sehat adalah yang memberi waktu dan ruang bagi dosennya untuk bertumbuh, bukan hanya menuntut kinerja. Program training dan pengembangan diadakan rutin sesuai tuntutan zaman.
Ketujuh kebiasaan ini (7 habits), bila ditanam dalam sistem OBE dan dijaga oleh SPMI, akan membentuk siklus pembelajaran yang hidup. OBE menjadi arah, 7 Habits menjadi jiwa, dan SPMI menjadi penopang yang menjaga ritmenya. Ketiganya menyatu dalam satu napas: membentuk manusia yang efektif, reflektif, dan bertanggung jawab. Inilah poin pentingnya.
Namun jalan ke sana tentu tidak mudah. Tidak semudah membalik telapak tangan. Tantangan terbesar adalah merubah kebiasaan lama: rutinitas administratif, laporan yang menumpuk, dan fokus pada skor akreditasi. Banyak dosen sudah lelah dengan sistem, bukan karena tidak mau berubah, tapi karena kehilangan makna di baliknya. Di sinilah tujuh kebiasaan perlu dibangun dan dihidupkan kembali satu per satu — bukan lewat pelatihan saja, tapi lewat keteladanan dan komitmen bersama.
Pimpinan kampus harus menjadi contoh nyata (role model) dari Be Proactive dan Begin with the End in Mind. Dosen senior harus menularkan semangat belajar seumur hidup, Sharpen the Saw. Dan mahasiswa perlu belajar sejak dini untuk Think Win-Win dalam setiap proyek kolaboratif. Bila setiap individu sadar dan mau memulai dari dirinya, otomatis sistem akan mengikuti.
Pada akhirnya, kebiasaan efektif bukan hanya tentang produktivitas, tapi tentang menjadi manusia yang membawa kebaikan dan keberkahan. Dalam Al-Qur’an disebutkan, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS. Ali ‘Imran [3]:110). Ayat ini tidak sekadar memuji, tapi menantang: menjadi terbaik berarti berbuat untuk sesama, menjaga integritas, dan menata hidup dengan tujuan yang benar.
Tujuh kebiasaan (7 habits) yang ditanamkan Covey sejalan dengan pesan itu — proaktif, sadar tujuan, disiplin, dan berorientasi pada manfaat. Bila semangat ini hidup di ruang OBE, maka pendidikan tidak hanya mencetak kompetensi, tapi juga menumbuhkan karakter. Dosen yang menanam kebiasaan baik, pada dasarnya sedang menyiapkan generasi terbaik, bukan karena status, tapi karena habits. Habits untuk terus menerus memberi nilai dan manfaat bagi manusia lainnya.
Stay Relevant!
Referensi
- Covey, S. R. (1989). The 7 Habits of Highly Effective People: Powerful Lessons in Personal Change. Free Press.
- Deming, W. E. (1986). Out of the Crisis. Massachusetts Institute of Technology, Center for Advanced Engineering Study.
- Spady, W. G. (1994). Outcome-Based Education: Critical Issues and Answers. American Association of School Administrators.
Instagram: @mutupendidikan




