• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Ketika Lulusan Keagamaan Ragu Melangkah: Apa yang Bisa Diperbaiki dari SKL Kita?

SPMI dan SKL

Ketika Lulusan Keagamaan Ragu Melangkah: Apa yang Bisa Diperbaiki dari SKL Kita?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Amran, seorang lulusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir dari UIN, merasa percaya diri saat menyelesaikan kuliahnya. Ia aktif berdiskusi, paham banyak teori, dan bahkan lulus tepat waktu. Namun, rasa percaya diri itu perlahan memudar saat ia terjun ke dunia nyata.

Ia tidak tahu harus menawarkan apa ke pasar kerja, selain ijazah dan semangat belajar.

Cerita seperti Amran bukan hal yang asing. Banyak lulusan, terutama dari program studi keagamaan, merasa bingung begitu keluar dari kampus. Di sinilah kita perlu mulai bertanya secara jujur—apakah Standar Kompetensi Lulusan (SKL) kita selama ini cukup tajam dan relevan? Apakah SKL hanya menargetkan pemahaman kognitif, ataukah juga merangkul keterampilan nyata (psikomotorik) yang dibutuhkan di era kerja yang penuh gejolak ini (disrupsi)?

Baca juga: Lulus Kuliah, Tapi Nggak Siap Kerja? Mungkin Standar Kompetensinya Bermasalah!

Menjembatani Ilmu dan Dunia Nyata

Dalam manajemen pendidikan, teori Ralph Tyler yang menekankan curriculum as planned learning experiences mengingatkan kita bahwa kurikulum seharusnya disusun berdasarkan kebutuhan peserta didik dan tujuan pendidikan.

Ini menjadi problem mendasar ketika SKL disusun hanya sebagai dokumen formal—dengan rumusan ideal, tapi tanpa keterhubungan dengan dunia kerja, keterampilan abad 21, atau kebutuhan spesifik lulusan.

Ketika lulusan keagamaan tidak bisa menjawab pertanyaan “apa kompetensi saya?”, maka kita sebagai institusi juga perlu bertanya: “apa yang sebenarnya sudah kita rumuskan dalam SKL mereka?”

Baca juga: Merancang Capaian Pembelajaran Abad 21: Kunci SKL yang Adaptif dan Visioner

SKL bisa menjelma sebagai jembatan antara “nilai-nilai luhur” dalam kelas dengan “kemampuan bertahan hidup” di luar kampus.

Menyiapkan Lulusan untuk Dunia Setelah Wisuda

Dalam konteks pendidikan tinggi modern, SKL tidak boleh berhenti pada rumusan sikap, pengetahuan, dan keterampilan generik. Merujuk pada Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 dan Pedoman Implementasi SPMI 2024, SKL seharusnya menjadi peta jalan yang menyatukan misi kampus, kebutuhan dunia kerja, serta karakter khas prodi. Dengan demikian, SKL bisa menjelma sebagai jembatan antara “nilai-nilai luhur” dalam kelas dengan “kemampuan bertahan hidup” di luar kampus.

Era VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguous) dan BANI (Brittle, Anxious, Nonlinear, Incomprehensible) menuntut lulusan yang reflektif, adaptif, dan mampu menghidupi nilai-nilai ilmunya secara kontekstual.

Baca juga: Bukan Copy-Paste! Begini Cara Bikin Standar Kompetensi Lulusan yang Tajam dan Relevan

PDCA dan PPEPP 2
Setiap tahap PPEPP membuka ruang untuk mendengar: apakah mahasiswa merasa siap?

Menjadikan SPMI dan PPEPP Bagian dari Budaya Belajar

SPMI memberi ruang bagi kampus untuk merefleksikan capaian lulusan, memperkuat sinergi dosen-prodi-alumni, dan mendesain pengalaman belajar yang otentik. Seperti tertuang dalam buku pedoman SPMI 2024, kampus harus berani menjalankan PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) secara konsisten untuk mewujudkan SKL sebagai alat ukur yang hidup, bukan sekadar arsip akreditasi.

Setiap tahap PPEPP membuka ruang untuk mendengar: apakah mahasiswa merasa siap? Apakah alumni merasa kompetensinya nyambung dengan pekerjaannya sekarang? Apakah dosen punya ruang untuk menyesuaikan metode ajarnya? Inilah yang disebut “kaizen” dalam konteks mutu kampus: perbaikan terus-menerus yang tumbuh dari dalam, bukan karena desakan luar.

Baca juga: SPMI dan Ironi Lulusan Menganggur: Mutu di Atas Kertas, Bukan di Lapangan?

Penutup

Kisah Amran bukan sekadar kritik pada kurikulum keagamaan. Ini adalah cermin bagi semua kampus.

Pendidikan tinggi tak boleh puas meluluskan orang pintar teori, tapi perlu membekali mereka agar bisa hidup, bekerja, dan berkontribusi di tengah masyarakat yang berubah cepat.

Saatnya SKL disusun bukan dari ruang rapat saja, tapi dari hasil mendengar, berdialog, dan memahami arah hidup para mahasiswa. Dengan SPMI yang dijalankan secara menyeluruh, dan PPEPP yang aktif, kampus-kampus keagamaan bisa kembali menjadi tempat lahirnya lulusan yang tak hanya tahu apa itu kebenaran—tapi juga mampu menyampaikannya dengan cara yang relevan dan membumi. Stay Relevant!


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. Kim, W. C., & Mauborgne, R. (2005). Blue ocean strategy: How to create uncontested market space and make the competition irrelevant. Harvard Business School Press.
  4. OpenAI. (2025). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  5. Ornstein, A.C. & Hunkins, F.P. (2018). Curriculum: Foundations, Principles, and Issues. Pearson.
  6. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  7. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  8. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  9. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

admin

MOTTO: Senantiasa bergerak dan berempati untuk menebar manfaat bagi Mutu Pendidikan di Indonesia

    ×

    Layanan Informasi

    × Hubungi Kami