
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Amran, seorang lulusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir dari UIN, merasa percaya diri saat menyelesaikan kuliahnya. Ia aktif berdiskusi, paham banyak teori, dan bahkan lulus tepat waktu. Namun, rasa percaya diri itu perlahan memudar saat ia terjun ke dunia nyata.
Di tengah derasnya persaingan kerja, Amran menyadari satu hal: ia bingung harus melangkah ke mana. Pengetahuannya memang dalam, tapi keterampilannya minim.
Ia tidak tahu harus menawarkan apa ke pasar kerja, selain ijazah dan semangat belajar.
Cerita seperti Amran bukan hal yang asing. Banyak lulusan, terutama dari program studi keagamaan, merasa bingung begitu keluar dari kampus. Di sinilah kita perlu mulai bertanya secara jujur—apakah Standar Kompetensi Lulusan (SKL) kita selama ini cukup tajam dan relevan? Apakah SKL hanya menargetkan pemahaman kognitif, ataukah juga merangkul keterampilan nyata (psikomotorik) yang dibutuhkan di era kerja yang penuh gejolak ini (disrupsi)?
Baca juga: Lulus Kuliah, Tapi Nggak Siap Kerja? Mungkin Standar Kompetensinya Bermasalah!
Dalam manajemen pendidikan, teori Ralph Tyler yang menekankan curriculum as planned learning experiences mengingatkan kita bahwa kurikulum seharusnya disusun berdasarkan kebutuhan peserta didik dan tujuan pendidikan.
Namun, dikhawatirkan kampus masih terjebak pada paradigma lama: kuliah adalah tempat mentransfer teori, bukan menyiapkan manusia untuk hidup di dunia nyata.
Ini menjadi problem mendasar ketika SKL disusun hanya sebagai dokumen formal—dengan rumusan ideal, tapi tanpa keterhubungan dengan dunia kerja, keterampilan abad 21, atau kebutuhan spesifik lulusan.
Lulusan paham isi ayat kitab suci, tapi tak bisa membuat konten dakwah digital. Lulusan menguasai teori tafsir, tapi tak bisa mengelola program pengembangan masyarakat berbasis masjid.
Ketika lulusan keagamaan tidak bisa menjawab pertanyaan “apa kompetensi saya?”, maka kita sebagai institusi juga perlu bertanya: “apa yang sebenarnya sudah kita rumuskan dalam SKL mereka?”
Baca juga: Merancang Capaian Pembelajaran Abad 21: Kunci SKL yang Adaptif dan Visioner
Dalam konteks pendidikan tinggi modern, SKL tidak boleh berhenti pada rumusan sikap, pengetahuan, dan keterampilan generik. Merujuk pada Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 dan Pedoman Implementasi SPMI 2024, SKL seharusnya menjadi peta jalan yang menyatukan misi kampus, kebutuhan dunia kerja, serta karakter khas prodi. Dengan demikian, SKL bisa menjelma sebagai jembatan antara “nilai-nilai luhur” dalam kelas dengan “kemampuan bertahan hidup” di luar kampus.
Era VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguous) dan BANI (Brittle, Anxious, Nonlinear, Incomprehensible) menuntut lulusan yang reflektif, adaptif, dan mampu menghidupi nilai-nilai ilmunya secara kontekstual.
SKL yang dirumuskan dengan mendalam—melibatkan dunia usaha, dunia industri, bahkan tokoh masyarakat—akan membantu lulusan melihat di mana perannya di tengah masyarakat, bukan hanya di ruang kelas.
Baca juga: Bukan Copy-Paste! Begini Cara Bikin Standar Kompetensi Lulusan yang Tajam dan Relevan
Solusi sistemiknya? Jawabannya bukan hanya revisi kurikulum, tapi penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) yang benar-benar dijalankan sesuai regulasi.
SPMI memberi ruang bagi kampus untuk merefleksikan capaian lulusan, memperkuat sinergi dosen-prodi-alumni, dan mendesain pengalaman belajar yang otentik. Seperti tertuang dalam buku pedoman SPMI 2024, kampus harus berani menjalankan PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) secara konsisten untuk mewujudkan SKL sebagai alat ukur yang hidup, bukan sekadar arsip akreditasi.
Setiap tahap PPEPP membuka ruang untuk mendengar: apakah mahasiswa merasa siap? Apakah alumni merasa kompetensinya nyambung dengan pekerjaannya sekarang? Apakah dosen punya ruang untuk menyesuaikan metode ajarnya? Inilah yang disebut “kaizen” dalam konteks mutu kampus: perbaikan terus-menerus yang tumbuh dari dalam, bukan karena desakan luar.
Baca juga: SPMI dan Ironi Lulusan Menganggur: Mutu di Atas Kertas, Bukan di Lapangan?
Kisah Amran bukan sekadar kritik pada kurikulum keagamaan. Ini adalah cermin bagi semua kampus.
Bahwa lulusan yang gagap melangkah bukan hanya gagal sendiri, tapi juga membawa pesan tentang sistem yang perlu dibenahi.
Pendidikan tinggi tak boleh puas meluluskan orang pintar teori, tapi perlu membekali mereka agar bisa hidup, bekerja, dan berkontribusi di tengah masyarakat yang berubah cepat.
Saatnya SKL disusun bukan dari ruang rapat saja, tapi dari hasil mendengar, berdialog, dan memahami arah hidup para mahasiswa. Dengan SPMI yang dijalankan secara menyeluruh, dan PPEPP yang aktif, kampus-kampus keagamaan bisa kembali menjadi tempat lahirnya lulusan yang tak hanya tahu apa itu kebenaran—tapi juga mampu menyampaikannya dengan cara yang relevan dan membumi. Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi