
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Coba bayangkan: kita semua bernapas, setiap detik, tanpa sadar. Tapi begitu napas terhenti, semua sistem tubuh ikut lumpuh. Nah, begitu juga dengan Kebijakan SPMI. Ia sering tidak terlihat di permukaan, tapi diam-diam menjadi “nafas” yang menjaga hidupnya mutu kampus.
Sayangnya, dokumen ini masih sering dianggap “syarat akreditasi” semata. Sekadar dicetak, ditandatangani, lalu disimpan rapi di rak atau folder digital. Padahal, kalau kita mau jujur, mutu institusi bisa berjalan sehat jika dokumen ini benar-benar dihidupkan — bukan sekadar diarsipkan.
Baca juga: Bukan Copy-Paste! Begini Cara Bikin Standar Kompetensi Lulusan yang Tajam dan Relevan
Kita kadang terjebak: berpikir bahwa dokumen penting itu harus formal, kaku, dan penuh istilah sulit. Tapi Kebijakan SPMI sebenarnya punya fungsi yang sangat manusiawi: memandu kita agar kampus tumbuh sehat, terarah, dan berkelanjutan.
Dalam dokumen ini seharusnya tercantum hal-hal mendasar dan strategis seperti:
Semua poin ini bukan sekadar formalitas, melainkan semacam “DNA mutu” dari sebuah perguruan tinggi. Kalau isinya dipahami dan dijalankan bersama, mutu bukan lagi proyek — tapi kebiasaan.
Baca juga: Antara Ideal dan Realitas: Apa Isi Kebijakan SPMI Kampusmu?
Cukup banyak kampus yang masih menganggap mutu itu “urusan LPM”. Seolah LPM-lah satu-satunya yang wajib tahu isi Kebijakan SPMI, dan unit lain tinggal “ngikut aja”. Padahal, mana mungkin kampus bisa bermutu kalau yang bernapas cuma satu unit?
Kalau kita mau kualitas benar-benar terasa di ruang kelas, di pelayanan administrasi, di laboratorium, hingga di kegiatan mahasiswa — maka semua unit harus bernapas bersama dalam semangat mutu. Kebijakan SPMI harus jadi dokumen milik bersama, bukan sekadar milik tim mutu.
Baca juga: Kebijakan SPMI: Blueprint Masa Depan Kampus yang Sering Diabaikan
Kalau Kebijakan SPMI itu nafas, maka siklus PPEPP adalah iramanya.
Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan. Lima tahap ini menjaga agar kita nggak cuma stagnan, tapi terus bergerak dan bertumbuh.
Menurut Edward Sallis dalam teori Total Quality Management in Education, mutu bukanlah hasil akhir, tapi proses yang terus-menerus, melibatkan semua orang, dan menjadi bagian dari budaya kerja. PPEPP itu bukan prosedur mati, tapi cerminan kampus yang selalu ingin jadi lebih baik — setiap hari, bukan hanya saat akreditasi.
Baca juga: Revisi Dokumen Strategis Kampus: Mana yang Harus Diperbarui Lebih Dulu?
Kalau kita baca dengan hati, Kebijakan SPMI itu bukan cuma dokumen teknis. Ia bicara tentang visi dan harapan jangka panjang institusi: kampus yang terpercaya, pembelajaran yang bermakna, layanan yang manusiawi, dan lulusan yang siap menghadapi dunia nyata.
Dengan memahami isinya, kita jadi tahu peran kita di ekosistem mutu kampus. Dosen tahu kenapa harus refleksi pembelajaran. Tendik sadar pentingnya respon cepat pada mahasiswa. Mahasiswa tahu bahwa hak dan kewajibannya dijaga oleh sistem mutu yang serius dan berpihak.
Baca juga: Statuta Sudah Usang? Inilah Cara Cerdas Memulai Transformasi Perguruan Tinggi dari Akar
Kalau mutu adalah kehidupan, maka Kebijakan SPMI adalah nafas yang harus dijaga bersama-sama. Mari kita baca kembali dokumen itu, bukan karena kewajiban, tapi karena kita peduli. Peduli agar kampus ini tidak hanya berjalan, tapi melangkah maju dengan sadar, terarah, dan penuh semangat peningkatan.
Mutu itu hidup kalau kita menghidupkannya. Dan PPEPP adalah denyutnya. Yuk, mulai hari ini kita bernapas bersama — dalam semangat SPMI yang lebih inklusif, reflektif, dan terus bertumbuh. Stay Relevant!
Baca juga: Kesalahan Klasik: Mutu Diserahkan ke LPM Tanpa Keterlibatan Manajemen Puncak
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan