SPMI dan curhat stakeholder 2

Kalau SPMI Hidup, Akreditasi Tinggal Panen

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com

“Kalau SPMI jalan tiap hari, akreditasi nggak lagi drama lima tahunan. Tinggal panen hasil, bukan bikin dokumen dadakan.”

Bayangin punya sawah ladang luas, tapi dirawatnya cuma pas mau panen. Rumput liar dibiarkan, pupuk jarang ditabur, air kadang ngalir kadang nggak. Begitu waktunya panen, semua panik, sibuk panggil buruh, ngasih pupuk kilat, nyiram besar-besaran, berharap hasilnya tetap bagus. Rasanya mustahil, kan? Nah, begitulah kira-kira kondisi banyak kampus waktu menghadapi akreditasi.

Di luar sana, Sistem Penjaminan Mutu Internal alias SPMI jalan tiap hari, minimal di atas kertas. Tapi begitu masa akreditasi datang, tiba-tiba semua sibuk kayak mau lomba lari. Dokumen dipoles ulang, bukti diproduksi mendadak, rapat darurat digelar. Padahal logikanya sederhana: kalau SPMI hidup, akreditasi tinggal panen. Apa yang dikerjakan sehari-hari otomatis jadi bukti kualitas, ada laporannya, ada tautannya. Tapi kenyataan di beberapa kampus, SPMI dan akreditasi masih dianggap dua dunia yang nggak pernah nyambung.

Masalah klasiknya, akreditasi sering diperlakukan kayak ujian besar lima tahunan. Padahal, aturan terbaru sudah mulai geser paradigma itu. Dengan Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 ditambah regulasi baru, Permendiktisaintek No. 39 Tahun 2025, akreditasi nggak lagi sekadar stempel lima tahun sekali. Kalau kampus sudah dapat peringkat Baik Sekali atau Unggul, status itu bisa berlaku lebih lama, bahkan tanpa batas, selama SPMI-nya benar-benar jalan. Jadi intinya jelas: yang bikin akreditasi aman bukan dokumen dadakan, sistem kebut semalam, tapi sistem mutu internal yang konsisten.

Cuma masalahnya, banyak institusi masih terjebak mindset kepatuhan. Fokusnya ngejar target indikator, bukannya refleksi. Akreditasi jadi urusan nyocokin form, bukan kesempatan buat belajar. SPMI sendiri sering dianggap beban birokratis: standar ada, siklus PPEPP tertulis, tapi di lapangan cuma jalan seadanya. Jadi begitu asesor datang, bingung semua. Yang ditanya soal praktik, jawabannya balik ke dokumen, ruwet sendiri. Di titik ini, mutu lebih mirip kosmetik ketimbang kenyataan.

Kalau kita ngikutin logika organisasi, sebenarnya gampang. Robbins dan Judge bilang, organisasi sehat itu butuh alignment antara budaya dan sistem. Kalau akreditasi cuma dianggap proyek seremonial, sementara SPMI diperlakukan kayak arsip, ya jelas nggak pernah nyatu, tidak terintegrasi. Keliatannya rapi, tapi kosong. Nah, regulasi terbaru sebenarnya lagi nyuruh kita buat berhenti main-main. Permendiktisaintek No. 39/2025 menekankan kampus harus punya sistem mutu yang responsif sama stakeholder, bukan sekadar formalitas. Artinya, kalau ada mahasiswa ngeluh soal kuliah daring yang berantakan, atau alumni ngomong kurikulum kurang nyambung sama dunia kerja, itu bukan catatan pinggiran. Itu harus masuk ke agenda SPMI, didokumentasi, dievaluasi, lalu jadi bahan peningkatan.

Di sinilah siklus PPEPP jadi penting. Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan. Kalau siklus ini dijalankan bener, hasilnya langsung jadi “pupuk” buat mutu sekaligus “bukti” buat akreditasi. Misalnya, kampus bikin standar layanan akademik → dilaksanakan sehari-hari → dievaluasi lewat survei mahasiswa → ditemukan masalah → dikendalikan dengan perbaikan sistem → lalu ditingkatkan jadi layanan yang lebih baik. Semua tahap itu kalau dicatat rapi, tinggal disodorkan ke asesor. Jadi bukti alami, asli bukan dokumen kilat.

Sayangnya, di banyak tempat, PPEPP berhenti di evaluasi. Ada catatan, tapi tindak lanjutnya lemah. Ada perbaikan, ada korektif tapi nggak pernah ditulis. Akhirnya pas butuh bukti, semua bingung, semua kalang kabut. Padahal kalau konsisten dari awal, akreditasi tinggal ambil hasilnya. Ini yang saya maksud tadi: kalau sawah dirawat tiap hari, panen itu tinggal menikmati.

Konsep kaizen alias perbaikan terus-menerus juga nyambung banget di sini. Kaizen itu bukan nunggu krisis baru bergerak, tapi kebiasaan kecil yang konsisten. Kalau tiap semester ada rapat refleksi, tiap tahun ada audit mutu internal yang ditindaklanjuti, tiap kebijakan baru langsung dievaluasi dampaknya, otomatis mutu kampus tumbuh, naik setahap demi setahap. Akreditasi jadinya cuma formalitas buat ngasih cap resmi, bukan beban besar.

Jadi, kampus harus berani ubah pertanyaan. Bukan lagi, “Apa yang harus kita siapkan buat akreditasi?” tapi “Seberapa serius kita jalanin SPMI tiap hari?” Kalau jawabannya SPMI memang hidup, maka akreditasi tinggal panen. Kalau SPMI cuma formalitas, akan jadi arsip, ya siap-siap tiap kali ada akreditasi harus kerja lembur, bikin dokumen kilat, dan stres berjamaah.

Mutu itu bukan ditulis di laporan, tapi dirasain mahasiswa di kelas, dosen di kampus, alumni di dunia kerja, dan mitra industri dalam kerjasama. Akreditasi hanya datang buat ngecek apakah kualitas itu beneran ada. Jadi kalau kampus masih sibuk panik menjelang visitasi, mungkin waktunya introspeksi: jangan-jangan ladang mutu kita cuma dicat hijau pas mau difoto, bukan dirawat beneran setiap hari.

Stay Relevant!




Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Scroll to Top