Etika vs Efisiensi: Perdebatan Panas Penggunaan AI dalam Penelitian

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Tim Soft Skills mutupendidikan.com

Rapi di layar tak cukup. Hasil AI harus bisa dilacak, direplikasi, dan dipertanggungjawabkan sebelum sampai ke jurnal.

Laboratorium sudah lama sepi, tetapi layar laptop belum juga padam. Dalam hitungan detik, model bahasa sanggup menyisir ratusan artikel, meringkas argumen, bahkan menyodorkan langkah analisis. Di sinilah perdebatan sesungguhnya dimulai: kapan kecepatan itu membantu, dan kapan ia menabrak garis etika yang membuat sains layak dipercaya? Banyak peneliti tidak anti terhadap alat; mereka hanya butuh rel yang jelas supaya cara cepat tidak menggerus cara benar.

Rel itu bisa kita pinjam dari “CUDOS”. Ini bukan nama aplikasi, melainkan norma klasik sains. Dasarnya diletakkan sosiolog Robert K. Merton pada 1940-an dan dibukukan pada 1973, lalu diringkas dalam akronim CUDOS oleh John Ziman agar mudah diingat. Intinya empat hal: communalism (ilmu milik bersama, sehingga data, kode, dan metode dibuka secukupnya agar bisa diuji), universalism (menilai bukti, bukan siapa penulisnya atau seberapa mulus teksnya), disinterestedness (jujur dan bebas kepentingan sempit—pemakaian AI diakui apa adanya), serta organized skepticism (menguji klaim secara sistematis hingga replikabel). Dengan kerangka ini, efisiensi tetap berada di rel etika: cepat boleh, transparan dan bisa diaudit harus.

Namun efisiensi selalu menggoda untuk melompat. Di sini kritik Timnit Gebru (Peneliti etika AI) relevan sebagai pengingat. Ia mengatakan bahwa “kecerdasan” yang kita nikmati berdiri di atas data dan tenaga manusia yang sering tak terlihat, membawa bias historis dan insentif industri yang tak selalu sejalan dengan kepentingan ilmiah. Karena itu, transparansi dan akuntabilitas bukan hiasan, melainkan fondasi. Jika riset bertumpu pada alat, jejak alatnya mesti bisa ditelusuri: model apa, versi berapa, dipakai di tahap mana, dan seberapa besar ia memengaruhi keputusan. Tanpa itu, kita hanya menumpuk kerapian tanpa jaminan kebenaran.

Kritik lain datang dari Emily M. Bender (Linguis komputasional) tentang bahaya kefasihan. Model bahasa bisa terdengar sangat pintar, padahal pada dasarnya ia memprediksi kata berikutnya. Di sinilah risiko “burung beo stokastik”: teks yang tampak meyakinkan tetapi miskin pemahaman, sitasi yang rapi tetapi palsu, logika yang mulus tetapi melompat.

Oleh karena itu, rekomendasi yang keluar dari layar harus diadu dengan literatur primer, angka di cek ulang, dan alamat sitasi diperiksa. Kerapian bukan bukti; yang menentukan tetap cek-silang dan uji ulang. Organized skepticism yang diajarkan CUDOS persis bekerja di sini: kita tidak menolak alat, tetapi menolak menyerah pada kefasihan yang tidak diuji. Sekali lagi tetap harus cek-silang dan uji ulang.

Onno W. Purbo, pakar TIK Indonesia, menyuarakan pemanfaatan AI yang memberdayakan, bukan menumbuhkan ketergantungan: jaga privasi, hindari mengunggah data sensitif ke layanan publik, pilih alat yang mendukung kontrol versi dan pengaturan akses, dan bangun literasi sebagai pagar pertama. Banyak hal bisa dilakukan on-premise atau lewat solusi yang menghormati etika data; kita hanya perlu sedikit lebih telaten di awal agar tidak menyesal belakangan.

Semua ini akan tinggal jargon kalau tidak segera action. Di meja penelitian, jawabannya sederhana dan praktis: tetapkan rel sejak awal: tugas apa yang boleh dibantu AI, sejauh mana, dan siapa yang bertanggung jawab memeriksa hasilnya. Catat pemakaian alat dengan jujur—dari prompt penting hingga versi model dan tahap penggunaannya—lalu lekatkan catatan itu pada paket data dan kode. Sebelum naskah dikirim, lakukan pembacaan sejawat internal yang betul-betul menguji: rujukan diverifikasi, angka dihitung ulang, klaim dibatasi pada yang disokong bukti. Untuk riset yang melibatkan manusia atau data sensitif, persetujuan etik tidak bisa dinegosiasikan; efisiensi bukan alasan untuk melonggarkan standar. Inilah cara membuat communalism dan organized skepticism hidup sebagai praktik lapangan, bukan slogan.

Lembaga harus hadir, bukan sekadar memberi himbauan. Standar penggunaan AI perlu masuk ke SPMI (sistem penjaminan mutu internal) dan dijalankan lewat siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, Peningkatan—agar tidak berhenti di poster. Dengan cara ini, peneliti tidak berjalan sendirian; yang cepat tetap bisa berdampingan dengan yang benar. Dokumen resmi Kemendikbudristek (Permen 53 tahun 2023) memandatkan PPEPP sebagai kerangka kerja mutu, dan banyak kampus telah menurunkannya ke SOP dan pedoman operasional.

Agar selaras lintas ekosistem publikasi, pedoman internasional memberi garis yang tegas. COPE, Komite Etika Publikasi yang berpusat di Inggris, menegaskan AI tidak bisa menjadi penulis karena tak dapat memikul tanggung jawab; setiap penggunaan AI harus diungkap secara jelas. ICMJE, editor jurnal medis internasional, memperbarui rekomendasi pada 2024, mewajibkan pengungkapan penggunaan AI di naskah dan menekankan akuntabilitas penulis manusia. NIH, lembaga riset biomedis Amerika, melarang penggunaan generative AI dalam proses peer review untuk menjaga kerahasiaan dan integritas penilaian. Prinsip-prinsip ini sejalan dengan CUDOS: jujur pada peran alat, nilai bukti, dan uji klaim secara sistematis.

Pada titik ini, etika bukan lawan efisiensi; ia penuntun. Ketika log penggunaan AI tersimpan bersama data dan kode, ketika verifikasi menjadi kebiasaan, dan ketika klaim ditata seturut bukti, kecepatan justru sangat membantu, membebaskan waktu peneliti untuk berpikir lebih dalam. Artikel yang rapi di layar berubah menjadi temuan yang bisa ditelusuri, diulang, dan diaudit. Kepercayaan publik pada sains tidak dibangun oleh kalimat yang manis, melainkan oleh proses yang siap untuk diperiksa.

Kita juga tidak boleh kehilangan dimensi batin dari kerja ilmiah. Imam Al-Ghazali, ulama dan pemikir abad ke-11/12, mengingatkan bahwa belajar bermula dari niat yang jernih dan adab yang dijaga. Di ruang riset berbantuan AI, nasihat itu terasa sangat modern: alat dipakai untuk menolong, bukan untuk merekayasa; proses dijaga agar ilmu menjadi manfaat, bukan sekadar tampilan. Ketika niat diarahkan pada kebenaran, peneliti cenderung menuliskan peran AI apa adanya, menahan diri dari klaim berlebihan, dan membuka cukup detail agar orang lain bisa menguji.

Di ujung semua alat dan metode, kita kembali pada peringatan Al-Qur’an, Surat Al-Isra (17) ayat 36: “Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya; sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati—semuanya akan diminta pertanggungjawabannya.” Inilah kompas yang tegas untuk laboratorium modern: kecepatan boleh, tetapi klaim harus lahir dari pengetahuan yang diuji; rujukan diperiksa, data ditimbang, jejak kerja dicatat. Akuntabilitas ilmiah bukan pelengkap, melainkan syarat sahnya sebuah kebenaran.

Maka etika dan efisiensi bukan dua kubu yang saling berseberangan. Dengan rel CUDOS dan pagar kebijakan SPMI yang jelas, kita memilih cepat yang jujur, teliti yang terang, dan hasil yang bisa dipertanggungjawabkan. Biarlah teknologi menjadi lampu yang menerangi langkah-langkah penelitian, sementara hati yang bersih dan nalar yang jernih menjaga arah; sebab ilmu yang disertai kejujuran menuntun untuk bergerak, dan ilmu yang disertai takwa menjaga kita tetap di rel kebenaran.

Stay Relevant!

Disclosure:

  • Artikel ini disunting dengan bantuan alat AI untuk perapian bahasa; verifikasi fakta dan tanggung jawab isi dilakukan penulis.
  • Ilustrasi dibuat dengan bantuan alat AI berlisensi; ide, kurasi, dan finalisasi oleh penulis/editor.

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Scroll to Top