بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) menjadi pilar penting dalam menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 menegaskan bahwa siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) adalah mekanisme inti yang wajib diterapkan setiap perguruan tinggi untuk memastikan keberlanjutan mutu pendidikan. Siklus PPEPP ini tidak hanya berfungsi sebagai panduan teknis untuk peningkatan standar, namun juga sebagai kerangka kerja strategis untuk mencapai standar nasional dan melampaui ekspektasi mutu yang telah ditetapkan.
Namun, penerapan SPMI tidak cukup hanya dengan pendekatan teknokratis semata. Peran dimensi manusia (psikologi), khususnya dalam membangun budaya mutu, menjadi aspek yang sangat krusial. Salah satu pendekatan berbasis psikologi organisasi adalah konsep Pygmalion Effect. Konsep yang diperkenalkan oleh Livingston (1988) menawarkan pendekatan menarik.
“Harapan (ekspektasi) tinggi dari manajemen berfungsi sebagai pendorong strategis yang mampu mengarahkan karyawan dan pemangku kepentingan untuk mengoptimalkan potensi mereka, menghasilkan kinerja unggul yang selaras dengan visi organisasi.”
Efek ini tentu relevan bila diterapkan dalam pelaksanaan SPMI, terutama untuk mendorong motivasi dan kinerja yang berorientasi pada mutu.
Integrasi konsep Pygmalion Effect dalam implementasi SPMI membuka peluang untuk memaksimalkan potensi sumber daya manusia (SDM) di perguruan tinggi. Dengan memberikan “trust” dan harapan tinggi kepada segenap unit kerja, dosen, dan makasiswa, manajemen tidak hanya menggerakkan motivasi intrinsik mereka namun juga membangun budaya inovasi yang berkelanjutan (kaizen). Konsep ini memberikan nilai tambah signifikan bagi penerapan siklus PPEPP. SPMI tidak sekadar menjadi kewajiban administratif belaka, namun lebih dari itu dapat menjadi katalisator transformasi mutu di perguruan tinggi.
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Livingston (1988) dalam artikel “Pygmalion in Management” menyoroti bagaimana ekspektasi (harapan) tinggi pimpinan mampu secara signifikan memengaruhi inner motivation bawahan. Konsep Pigmalion Effect menjelaskan bahwa “ketika individu dipercaya memiliki potensi besar, mereka cenderung merespons dengan prestasi yang lebih baik“. Efek ini menggarisbawahi bahwa “harapan” (ekspektasi) berfungsi sebagai katalis penting dalam pengembangan individu dan organisasi.
Terkait SPMI, ekspektasi tinggi dari manajemen terhadap unit kerja, dosen, dan mahasiswa mampu membentuk budaya mutu yang lebih kuat. Ekspektasi tinggi yang diberikan, memberikan dorongan psikologis yang menggerakkan individu dan juga juga membangun rasa percaya diri dalam menghadapi tantangan-tantangan mutu pendidikan tinggi.
Baca juga: Teori 2 Faktor: Memadukan SPMI dengan Motivasi Intrinsik
Ekspektasi yang tinggi, bila diiringi dengan kebijakan yang suportif, mampu mendorong inovasi dan transformasi institusi pendidikan. Dalam situasi ini, setiap individu merasa dihormati, diberdayakan, dan termotivasi untuk berkontribusi secara maksimal dalam mewujudkan visi dan misi institusi.
Contoh misalnya, pimpinan menetapkan standar penelitian yang lebih tinggi dari SN Dikti, dengan keyakinan dan ekspektasi tinggi bahwa dosen mampu meningkatkan jumlah publikasi ilmiah di jurnal bereputasi. Untuk mendukung ekspektasi ini, manajemen menyediakan pelatihan penulisan karya ilmiah dan menyediakan insentif penelitian.
Implementasi SPMI, sebagaimana diatur dalam Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, mewajibkan setiap perguruan tinggi untuk menjalankan siklus PPEPP sebagai kerangka kerja utama.
Pada tahap penetapan standar (dalam PPEPP), Pygmalion Effect dapat digunakan untuk menetapkan indikator dan target SPMI yang “ambisius namun realistis”.
Manajemen perguruan tinggi yang “yakin dan percaya pada potensi pemangku kepentingan” akan merancang standar yang tidak hanya memenuhi SN Dikti, namun juga melampaui standar nasional sebagaimana diamanatkan dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023.
Pada tahap pelaksanaan (dalam PPEPP), pigmalion effect diimplementasikan dengan memberi kepercayaan dan tanggung jawab besar kepada unit kerja, dosen dan mahasiswa untuk melaksanakan program kerja untuk mencapai standar yang telah ditetapkan. Tentu saja kepercayaan yang diberikan harus dilengkapi dengan sumber daya (resources) yang mencukupi. Ekspektasi tinggi pimpinan terhadap kemampuan kerja mereka menciptakan suasana kerja yang menantang, di mana setiap individu merasa dihargai, diberdayakan dan didukung untuk berkontribusi maksimal.
Contoh untuk mahasiswa, perguruan tinggi memberi kepecayaan kepada mahasiswa untuk memimpin proyek inovasi pengabdian masyarakat. Ekspektasi tinggi diberikan bahwa mahasiswa mampu memberikan solusi nyata untuk proyek ini. Ekspektasi ini mendorong mahasiswa bekerja keras untuk berusaha mencapai hasil inovasi terbaik.
Tahap berikutnya adalah tahap evaluasi (dalam PPEPP). Tahap ini menjadi momen penting untuk menerapkan Pygmalion Effect melalui feedback yang membangun. Evaluasi yang dibangun adalah evaluasi yang “menekankan pada prestasi dan peluang pengembangan” (best practice, good point, temuan positif), daripada sekadar melihat pada kekurangan (ketidaksesuaian, temuan negatif). Pendekaan ini akan memperkuat kepercayaan (keyakinan) individu terhadap kemampuan mereka untuk bisa memberikan yang terbaik sesuai ekspektasi manajemen.
Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier
Pada tahap pengendalian dan peningkatan (dalam PPEPP), kekuatan Pygmalion Effect menjadi semakin nyata. Dengan motivasi dan komunikasi internal yang baik, manajemen dapat mendorong inovasi yang konsisten ke arah pencapaian visi misi institusi. Strategi ini sejalan dengan prinsip otonomi perguruan tinggi yang diatur dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023, di mana institusi memiliki keleluasaan untuk mengembangkan sistem mutu sesuai dengan mission differentiation masing-masing.
Contoh, Ketika terjadi ketidaksesuaian (KTS) dalam audit mutu internal (AMI) atau kegiatan monitoring rutin (monev), alih alih menyampaikan teguran (punishment), pimpinan memilih menggunakan “pendekatan konstruktif” dengan mengangkat potensi tim untuk memperbaiki masalah. Mereka memberikan dorongan semangat dan menawarkan sumber daya tambahan dan pelatihan untuk membantu karyawan mencapai target SPMI.
Efektivitas SPMI tidak hanya bergantung pada kelengkapan dokumen SPMI dan kepatuhan terhadap regulasi, namun juga pada dimensi psikologis seperti keyakinan kolektif terhadap potensi yang mereka miliki untuk menjadi pemenang (self-fulfilling prophecy).
Prinsip penting Pygmalion Effect mengingatkan kita bahwa ekspektasi tinggi, ketika dikomunikasikan dengan cara yang tepat serta diiringi dengan dukungan nyata, mampu mengubah mindset dan perilaku karyawan (stakeholder).
Berdasarkan Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 Pasal 69 ayat (1) butir a.4. perguruan tinggi wajib mendokumentasikan seluruh langkah PPEPP dengan menggunakan tata cara tertentu. Pendekatan berbasis Pygmalion Effect dapat menjadi elemen pendukung untuk memastikan bahwa dokumentasi ini tidak sekedar arsip administratif-formalitas belaka, namun juga sumber inspirasi bagi transformasi dan inovasi mutu pendidikan.
Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?
Mengintegrasikan Pygmalion Effect ke dalam manajemen SPMI memberikan dimensi baru untuk memperkuat keberhasilan siklus PPEPP. Metode ini menekankan pentingnya “ekspektasi tinggi” yang didukung dengan kebijakan dan “action” nyata. Ketika pemimpin perguruan tinggi, dari semua level, yakin dan percaya terhadap potensi dosen, unit kerja, dan mahasiswa, maka ini menjadi kekuatan dahsyat. seperti mitologi yunani, patung Galatea yang menjadi hidup karena dedikasi Pygmalion, individu dapat berkembang dan mencapai potensi mereka ketika dikelilingi oleh ekspektasi positif dan dukungan yang konsisten.
Baca juga: AMI: Mencegah Masalah, Bukan Memperbaiki
Saat menggali parit dalam Perang Khandaq, Rasulullah SAW melihat umatnya menghadapi kesulitan besar, baik secara fisik maupun mental. Namun, beliau tetap memberikan motivasi dan ekspektasi tinggi kepada mereka, bahkan menggambarkan masa depan Islam yang gemilang. Beliau berkata, “Kota Persia dan Romawi akan menjadi milik umat Islam.” Seperti Pigmalion effect, harapan ini tidak hanya memotivasi sahabat tetapi juga membangun keyakinan kuat untuk terus berjuang.
Di sisi lain, Islam menekankan pentingnya prasangka baik, yang secara tidak langsung berkaitan dengan Pygmalion Effect. Dalam hadis qudsi, Allah SWT berfirman:
“Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Jika ia berprasangka baik kepada-Ku, maka baginya kebaikan. Jika ia berprasangka buruk kepada-Ku, maka baginya keburukan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hal ini juga berlaku dalam hubungan antar manusia. Ketika seseorang berpikir positif terhadap orang lain dan mempercayai potensi mereka, hal tersebut dapat mendorong orang tersebut untuk memenuhi harapan tersebut. Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi