Dalam rangka penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi, audit mutu internal (AMI) memiliki peran yang sangat krusial.
AMI bukan hanya sekadar alat (tools) untuk mengevaluasi kepatuhan terhadap standar SPMI yang telah ditetapkan, tetapi juga merupakan instrumen penting untuk mendorong peningkatan berkelanjutan (kaizen).
Namun, dalam praktiknya, terdapat hal menarik yang sering menjadi dipertanyakan: mengapa auditor AMI sering dibenci oleh sebagian pihak (auditee) di perguruan tinggi?
Bagaimana menyikapi hal ini?
Penguatan SPMI di perguruan tinggi menuntut adanya siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar). Dalam konsep TQM, siklus ini mirip dengan PDCA yang dipopulerkan oleh Edwards Deming.
Dalam siklus PPEPP, evaluasi dan pengendalian memegang peranan kunci. Di sinilah AMI menjadi titik krusialnya. Selain AMI ada juga aktivitas pelngkap lainnya seperti monev, penilaian (assessment) dan lain sebagainya.
Auditor AMI, sebagai pihak yang melakukan penilaian (assessment) terhadap berbagai kegiatan yang berlangsung di institusi, memiliki peran untuk memastikan bahwa mutu tetap terpenuhi, terjaga dan terlampaui.
Auditor juga harus memastikan, adanya peluang-peluang perbaikan yang diidentifikasi.
Tanpa AMI yang tertib, kuat dan objektif, implementasi SPMI akan kehilangan arah. Tidak ada mekanisme fungsi kontrol (pengendalian) yang memadai untuk memastikan standar SPMI tercapai dan ditingkatkan.
Baca juga: Kritisi AMI: di Balik Gegagalan Mutu Perguruan Tinggi
Sayangnya, di banyak institusi, auditor AMI lebih sering dipersepsi sebagai tim “pemburu kesalahan”, atau tim pencari kesalahan.
Sikap ini muncul, bisa jadi karena auditor “terlalu fokus” pada upaya menemukan kelemahan dan kekurangan dalam sistem yang sedang berjalan.
Ini tercermin dalam sikap auditor yang cenderung mencari-cari kesalahan dan kurang peduli pada aspek positif dari unit kerja yang diaudit.
AMI sering kali hanya dipersepsi sebagai kewajiban administratif, dan hasilnya lebih banyak berisi temuan negatif yang memicu resistensi dari pihak yang diaudit (auditee).
Auditor yang hanya menyoroti kesalahan unit kerja, tanpa peduli dengan prestasi dan karya best practice dari unit kerja, akan dianggap sebagai penghambat, bukan sebagai mitra yang membangun.
Pendekatan (mindset) auditor yang berorientasi pada kesalahan ini tidak jarang menimbulkan gesekan-gesekan dan ketidaknyamanan. Sering kali auditor ini menimbulkan ketakutan di kalangan staf, tim unit kerja dan dosen. Bila ini berlanjut, gak bahaya ta?
Namun, ada pula jenis auditor yang “disayang”, yaitu mereka yang melihat audit sebagai kesempatan untuk menggali peluang dan potensi positif.
Auditor jenis ini tidak fokus mencari kesalahan, melainkan fokus pada keberhasilan dan praktik baik yang dilakukan unit kerja.
Hal baik (best practice) yang dihasilkan unit kerja akan diapresiasi, diumumkan dan dirayakan.
Auditor jenis ini lebih berperan sebagai “mitra strategis” yang membantu perguruan tinggi menemukan area-area yang sudah berjalan baik dan mendorong untuk ditingkatkan lebih baik lagi.
Temuan positif (positive findings) yang diangkat oleh auditor ini membuat mereka dipandang sebagai agen perubahan (change agent) yang mendukung dan mendampingi perkembangan perguruan tinggi.
Auditor jenis ini tidak menimbulkan rasa takut, tidak menimbulkan rasa benci, namun justru sebaliknya dianggap mampu menciptakan suasana kolaboratif, auditee merasa dihormati dan dihargai hasil kerjanya.
Agar auditor AMI dapat berubah dari sosok individu yang dibenci menjadi disayang, bagaimana caranya?
Berikut ada beberapa perubahan mindset/ paradigma yang perlu dilakukan.
Pertama, auditor harus mampu menempatkan dirinya sebagai “agen perubahan” yang fokus pada temuan positif, dan upaya-upaya peningkatan, bukan sekadar mencari-cari kesalahan.
Auditor harus berlatih menjadi komunikator yang efektif. Smart dan trampil umpan balik yang konstruktif.
Auditor harus menjadi motivator, membangun semangat perbaikan di antara dosen, staf dan manajemen perguruan tinggi.
Kedua, auditor perlu terus belajar, memperkaya wawasan dan keterampilan (skills) mereka. Auditor perlu melakukan benchmarking melihat praktik-praktik baik di kampus-kampus lain.
Auditor yang ingin disayang, harus dapat memberikan masukan-masukan, rekomendasi yang lebih relevan dan berbasis pada pengalaman-pengalaman terbaik.
Untuk renungan bersama, auditor AMI sesungguhnya bisa menjadi sosok yang dibenci atau disayang, tergantung pada mindset yang mereka yakini.
Bila auditor hanya fokus pada mencari-cari kesalahan dan kelemahan, tentu mereka akan dibenci dan peluang untuk kolaboratif menjadi semakin kecil.
Auditor bisa juga menjadi disayang jika mampu merubah mindset mereka. Auditor yang fokus mengidentifikasi temuan-temuan positif dan berperan dalam mendorong peningkatan berkelanjutan (kaizen).
Dalam konteks penguatan SPMI, auditor AMI perlu menjalankan tanggung jawab mereka dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan berorientasi pada perbaikan mutu yang berkelanjutan.
Hanya dengan cara ini, auditor AMI akan dicintai, disayangi dan dihargai. Auditor akan menjadi mitra strategis untuk perguruan tinggi yang unggul. Stay Relevant and Stay Agile!
Oleh Bagus Suminar, Dosen UHW Perbanas Surabaya
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi