
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Pernah nggak kamu ngerasa dokumen-dokumen kampus itu seperti lukisan mahal — indah, rapi, tapi sayangnya cuma dipajang? Nah, Kebijakan SPMI sering jadi salah satu “lukisan” itu. Bagus banget kalau dibaca… tapi kenyataannya jarang disentuh, apalagi dipahami.
Padahal dokumen ini bukan sekadar formalitas. Di balik lembar-lembar itu, tersimpan arah, semangat, dan strategi bagaimana mutu di kampus ini harus dikelola. Jadi, yuk kita ngobrol bareng, santai saja, tentang seperti apa isi ideal Kebijakan SPMI, dan bagaimana kita bisa jujur membandingkannya dengan praktik nyata di lapangan.
Sesuai pedoman nasional, isi Kebijakan SPMI seharusnya nggak main-main. Dokumen ini mencakup:
Kalau dokumen ini disusun dan dipahami dengan baik, dia bisa jadi peta perjalanan mutu kampus. Tapi… apakah di kampusmu begitu?
Baca juga: SPMI dan Dunia Kerja: Sudahkah Kampus Dengarkan Industri?
Banyak kampus punya Kebijakan SPMI yang sangat ideal di atas kertas — lengkap dengan prinsip-prinsip luhur dan tabel siklus PPEPP yang cantik. Tapi sayangnya, implementasi di lapangan kadang masih seperti nasi goreng tanpa nasi: kelihatan lengkap, tapi nggak terasa inti utamanya.
Misalnya, dokumen bilang “setiap standar harus dievaluasi secara berkala”, tapi di lapangan, evaluasinya baru dilakukan kalau ada jadwal akreditasi. Atau: “pengelolaan mutu dilakukan partisipatif”, tapi dosen dan mahasiswa belum tahu isi standar yang sedang dijalankan.
Siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) seringkali ditulis indah di dokumen. Tapi dalam praktiknya, hanya PP (Penetapan & Pelaksanaan) yang “agak” aktif, sisanya? Kadang lupa, kadang numpang lewat.
Padahal, menurut Edward Sallis dalam buku Total Quality Management in Education, kualitas itu harus dibangun lewat partisipasi semua pihak dan siklus perbaikan terus-menerus. Ia menyebut ini sebagai “continuous improvement embedded into culture”.
PPEPP bukan sekadar flowchart, tapi cara berpikir dan budaya kerja. Dan itu butuh waktu, komitmen, dan ketulusan semua pihak — bukan hanya LPM.
Baca juga: SPMI Tanpa Teknologi Digital? Bersiaplah Hadapi Kegagalan!
Kalau kita ingin mutu kampus benar-benar hidup, maka Kebijakan SPMI harus dibaca, dipahami, dan dijalankan oleh semua lini — bukan hanya segelintir orang. Kebijakan itu bukan hanya milik pimpinan atau LPM, tapi milik kita semua. Karena mutu adalah tanggung jawab kolektif.
W. Edwards Deming menyampaikan pesan yang sangat penting “Quality is everyone’s responsibility,”
Coba bayangkan: bagaimana kalau setiap dosen mengajar berdasarkan standar yang ia pahami? Bagaimana kalau setiap tenaga kependidikan melayani mahasiswa dengan semangat PPEPP? Dan bagaimana kalau mahasiswa ikut terlibat dalam monitoring mutu? Wah, kampus kita bukan cuma akan bagus di akreditasi, tapi juga relevan, adaptif, dan membanggakan setiap hari.
Baca juga: SPMI Gagal Total? Jangan Salahkan Sistem, Perbaiki Komunikasi!
Artikel ini bukan buat menggurui, tapi jadi ajakan ringan untuk kita introspeksi bareng. Idealnya seperti apa, realitasnya seperti apa — itu penting kita refleksikan. Karena mutu nggak bisa dipesan instan. Ia lahir dari proses panjang, kolaboratif, dan terus diperbaiki.
Jadi… sudahkah kamu baca Kebijakan SPMI kampusmu hari ini? Kalau belum, nggak apa-apa. Hari ini bisa jadi awal. Yuk, kita hidupkan semangat PPEPP bukan sebagai slogan, tapi sebagai gaya hidup kampus bermutu. Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi