بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com
“OBE sudah jadi aturan, tapi sering mandek di kertas. PR besar kampus: bagaimana CPL yang ditulis bisa benar-benar hidup di kehidupan mahasiswa?”
Seorang mahasiswa pernah nyeletuk di kantin kampus, “CPL itu jenis makanan apa ya? Kok dosen sering sebut tapi kita nggak pernah ngerasain.” Semua tertawa, tapi di balik candaan itu tersimpan kritik serius. Di banyak kampus, capaian pembelajaran lulusan (CPL) ditulis indah di dokumen: kritis, analitis, komunikatif, inovatif, soft skills. Namun ketika ditanya, mahasiswa bingung di mana outcome itu muncul dalam keseharian kuliah mereka.
Itulah problem utama kita hari ini. Outcome-Based Education (OBE) sudah diwajibkan sejak Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 dan kini muncul regulasi terbaru Permen 39 Tahun 2025. Regulasi jelas: kurikulum harus berorientasi pada hasil (outcome), bukan sekadar proses. Lulusan harus mampu menunjukkan kompetensi tertentu, tidak hanya membawa ijazah. Masalahnya, antara aturan regulasi dan praktik di kampus, sering ada jurang lebar.
William Spady, yang dikenal sebagai tokoh OBE, sudah lama mengingatkan. Pendidikan berbasis capaian berdiri di atas empat prinsip penting: fokus yang jelas pada outcome (Clarity of Focus), rancangan dari tujuan akhir (Designing Back from the End), harapan tinggi untuk semua (High Expectations), dan kesempatan beragam agar mahasiswa bisa mencapainya (Expanded Opportunity). Indah di teori dan konsep, tapi di banyak kampus outcome hanya berhenti di borang. CPL tertulis rapi, namun kelas masih didominasi ceramah, mahasiswa catat, ujian tulis pilihan ganda, selesai.
John Biggs menambahkan lewat ide penting yaitu constructive alignment. Menurutnya, CPL, aktivitas pembelajaran, dan asesmen harus selaras (alignment). Di Indonesia, alignment ini sering retak. CPL sudah ada, tapi aktivitas belajar tidak berubah, masih pakai cara lama, asesmen pun tak jauh dari ujian pilihan ganda. Akibatnya, mahasiswa tidak pernah benar-benar merasakan capaian yang dijanjikan. Dokumen bicara satu hal, kehidupan kampus bicara hal lain.
David Kolb lewat teori experiential learning mempertegas bahwa belajar sejati lahir dari siklus pengalaman, proses mempraktikkan langsung: mencoba, merefleksi, merumuskan konsep, lalu menguji ulang. Kalau OBE dijalankan dengan serius, mahasiswa seharusnya belajar lewat proyek (project based learning), penelitian terapan, atau kerja sosial di masyarakat. Sayangnya, banyak mahasiswa yang hanya “mencicipi teori” tanpa pengalaman nyata.
Banyak orang di kampus sudah hafal siklus lima langkah PPEPP: penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan peningkatan. Di atas kertas, alurnya rapi. Tapi di lapangan, lima langkah ini sering terasa terlalu panjang, terlalu administratif. Dosen sibuk menyiapkan form evaluasi, kaprodi tenggelam mencari bukti, auditor lebih banyak memeriksa kelengkapan dokumen daripada mendampingi refleksi. Hasilnya, energi habis di kertas, bukan di pembelajaran.
Karena itu, proses penyederhanaan sistem SPMI perlu selalu dipikirkan. Misalnya siklus PPEPP. Bila 5 langkah PPEPP dirasa terlalu panjang, perlu ada modifikasi di internal perguruan tinggi. Penulis mengusulkan modifikasi 5 langkah menjadi 3 langkah: JUARA (JU-A-RA). “Juruskan langkah” berarti menetapkan strategi dengan jelas, targetnya SMART dan indikatornya sahih. Aksikan tugas berarti melaksanakan standar dengan nyata, bukan sekadar menyalin dokumen. “Rapatkan hasil” berarti evaluasi, pengendalian, dan peningkatan disatukan dalam forum refleksi kolektif. Dengan akronim “JUARA”, siklus mutu tidak hilang substansinya, tapi prakteknya lebih ringan, hanya tiga langkah, mudah diingat, lebih praktis, dan lebih fokus ke hal yang benar-benar penting.
Masalahnya tidak hanya di ruang kelas, tetapi juga di pintu awal mutu: Standar SPMI. Dokumen isi standar yang seharusnya jadi dasar “Aksikan tugas” sering dirumuskan kabur, targetnya umum, indikatornya administratif. Padahal, standar adalah hasil “Juruskah langkah”—jurus pertama yang krusial dari siklus “JUARA”. Kalau langkah awal ini masih buram, wajar kalau praktiknya ikut kehilangan arah.
Perbaikannya sederhana tapi mendasar. Isi standar SPMI harus punya target yang jelas dan indikator yang terukur. Jangan hanya menulis “ada layanan perpustakaan”, tetapi tetapkan bahwa “85% mahasiswa puas terhadap layanan perpustakaan tiap tahun.” Dengan begitu, standar tidak lagi berhenti pada kertas, melainkan menuntut pengalaman yang benar-benar dirasakan mahasiswa. Tentu itu tidak mudah, perlu kerja keras dan kerja cerdas.
Hal yang sama berlaku untuk standar nonakademik. Misalnya sarana prasarana. Banyak kampus menulis di laporan bahwa mereka “mendukung mahasiswa difabel”, tetapi realitas di lapangan berkata lain. Ada mahasiswa yang masih harus minta tolong digendong melewati tangga, atau tidak bisa mengakses materi kuliah karena file digitalnya tidak ramah pembaca layar. Jika standar SPMI hanya menyebut “tersedia fasilitas difabel”, tanpa indikator dan target yang SMART, masalah ini akan terus berulang.
Komitmen dan perbaikannya perlu lebih berani. Misalnya, kampus bisa menetapkan target bahwa semua ruang kelas baru wajib aksesibel mulai 2026, atau memastikan semua materi kuliah digital bisa dibaca dengan pembaca layar. Indikatornya pun jelas: berapa persen fasilitas benar-benar digunakan dengan nyaman oleh mahasiswa difabel, bukan sekadar punya standar SPMI. Dengan standar seperti ini, kampus bukan hanya patuh regulasi, tetapi menutup jarak antara dokumen dan kehidupan nyata.
Jika standar akademik dan nonakademik sama-sama diperbaiki dan terus ditingkatkan (kaizen), CPL yang tertulis di kurikulum akan lebih mudah nyambung dengan kehidupan sehari-hari mahasiswa. Dosen tidak lagi sibuk berburu tanda tangan atau bukti foto, melainkan fokus memastikan pembelajaran hidup di kelas dan di lapangan. Auditor internal pun bisa berubah peran—bukan polisi pencari salah, melainkan memberi rekomendasi dan finding (temuan) yang membangun, memberi masukan agar dosen dan prodi bisa sungguh-sungguh berkembang.
Digitalisasi bisa jadi penopang penting yang sangat strategis. Dashboard, big data, bahkan AI bisa dipakai untuk memantau ketercapaian CPL dan efektivitas pembelajaran. Tapi perlu diingat, teknologi hanyalah tools, hanya alat. Kalau data diisi asal-asalan, hasilnya tetap kosong. Yang menentukan arah tetap manusianya: dosen, mahasiswa, dan pimpinan kampus.
Hikmahnya sederhana. Mutu sejati lahir dari keseharian, bukan dari dokumen, bukan dari gebyar seremonial prosesi wisuda. CPL hanya sah disebut outcome kalau benar-benar mewarnai hidup mahasiswa—di kelas, di laboratorium, di organisasi, hingga di masyarakat. PR besar kampus kita bukan sekadar menyalin regulasi ke dalam borang, tetapi berani menjembatani dokumen menjadi kisah nyata. Kalau itu bisa dilakukan, maka OBE tidak lagi terdengar seperti jargon asing yang jatuh dari langit, melainkan terasa sebagai pengalaman nyata yang membekas di hati mahasiswa, seumur hidup.
Stay Relevant!
Daftar Pustaka
- Biggs, J. (1996). Enhancing teaching through constructive alignment. Higher Education, 32(3), 347–364.
- Kolb, D. A. (1984). Experiential learning: Experience as the source of learning and development. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
- Spady, W. G. (1994). Outcome-based education: Critical issues and answers. Arlington, VA: American Association of School Administrators.
- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2025). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2025 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Jakarta: Kemendikbudristek.
Instagram: @mutupendidikan




