SPMI Juara

Mutu Tanpa Burnout: Sehat dan Bahagia di Kampus

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com

“Mutu kampus tak seharusnya bikin burnout. Saatnya ubah PPEPP jadi JUARA, agar mutu hadir sehat, bahagia, dan penuh makna.”

Kalau dengar kata mutu kampus, yang terbayang sering kali bukan ruang kelas yang ramai diskusi atau mahasiswa yang semangat belajar, tapi form, laporan, dan deadline audit internal. Mutu perlahan jadi sinonim dengan administrasi. Padahal, bukankah seharusnya mutu membuat kampus lebih sehat dan hidup, bukan lebih lelah? Dosen sibuk mengisi borang sampai lupa menyiapkan bahan kuliah, mahasiswa mengejar bukti kegiatan sampai kehilangan rasa nikmat belajar. Itulah yang orang sekarang sebut: burnout.

Permendikbudristek Nomor 39 Tahun 2025 hadir dengan semangat penyegaran. Di situ diperkenalkan istilah SPM Dikti sebagai kerangka besar penjaminan mutu pendidikan tinggi. Di dalamnya ada dua bagian penting: SPMI, yaitu penjaminan mutu internal yang tetap wajib dijalankan kampus, dan SPME, penjaminan mutu eksternal lewat akreditasi atau evaluasi lain. Keduanya sama penting, bila SPMI terlaksana dengan baik, maka SPME juga akan lebih mudah, tinggal panen.

Kalau dilihat sekilas, Permen ini memang tidak banyak berbeda dengan aturan sebelumnya. Sama-sama mencakup mutu akademik dan nonakademik. Bedanya, regulasi baru mendorong kampus untuk menatap standar global: akreditasi internasional, kolaborasi riset lintas negara, fleksibilitas kurikulum, pemanfaatan teknologi, sampai literasi abad 21. Dorongan ini penting, tapi sekaligus menantang. Kalau caranya hanya dengan menambah form, bukankah yang muncul lagi-lagi beban administratif? Apakah ini tidak menambah burnout?

Sistem inti mutu masih memakai lima langkah PPEPP: penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, peningkatan. Indah di atas kertas, tapi dalam praktik sering bikin jenuh. Ada dosen muda yang bilang, “Yang saya tahu tiap semester harus isi form evaluasi. Kalau telat, dianggap tidak peduli mutu.” Kaprodi di kampus negeri cerita hal serupa, lebih banyak energi habis untuk menyiapkan bukti PPEPP ketimbang memperbaiki kurikulum. Jadinya, PPEPP sering berhenti jadi prosedur formal. Mutu terlihat hidup di laporan, tapi mati di ruang kelas.

Kalau pakai kacamata psikologi, kita bisa lebih paham mengapa burnout muncul. Edward L. Deci dan Richard M. Ryan melalui Self-Determination Theory menyebut tiga hal penting bagi manusia: otonomi, rasa kompeten, dan keterhubungan. Mutu yang serba form justru merampas otonomi, membuat dosen merasa tidak berdaya, dan menjauhkan hubungan antar insan kampus. Motivasi intrinsik yang mestinya tumbuh, malah hilang.

Ada juga Job Demands–Resources Model. Burnout datang ketika tuntutan kerja lebih besar daripada sumber daya yang tersedia. Permen 39 menaikkan tuntutan: laporan makin detail, standar makin tinggi. Tapi apakah sumber daya ditambah? Bukankah sekarang malah muncul program efisiensi! Apakah ada waktu khusus bagi dosen? Apakah ada sistem digital yang memudahkan? Kalau tidak, wajar kalau stres yang muncul.

Lalu Salutogenesis dari Antonovsky mengingatkan soal sense of coherence: hidup harus bisa dipahami, bisa dikelola, dan terasa bermakna. Kalau mutu kampus penuh istilah rumit dan laporan berlapis, jelas susah dipahami. Kalau tuntutannya tinggi tanpa dukungan, jelas susah dikelola. Dan kalau tujuannya cuma “laporan selesai”, jelas tidak bermakna. Dari sinilah burnout tumbuh.

Apakah ada jalan keluar? Menurut saya kuncinya ada di penyederhanaan. Lima langkah PPEPP terlalu berbelit. Kenapa tidak dipadatkan jadi tiga langkah saja? Saya menyebutnya JUARA. Pertama, JU – Juruskan langkah: arahkan tujuan dengan jelas tanpa ribet. Buat standar yang SMART. Kedua, A – Aksikan tugas: jalankan rencana secara nyata, bukan sekadar di kertas. Pastikan jalan efektif-efisien. Ketiga, RA – Rapatkan hasil: duduk bersama, refleksi, dan perbaikan konkret.

JUARA bukan sekadar akronim, tapi semangat. Kampus bisa jadi juara bukan karena laporannya tebal, tapi karena dosennya sehat, mahasiswanya bahagia, organisasinya berkembang. Audit internal bukan lagi sidang bukti, melainkan forum belajar bersama. Mutu tidak lagi identik dengan dokumen, tapi terasa di kehidupan sehari-hari kampus.

Ada satu gagasan lain yang bisa meringankan beban: satu bukti untuk banyak standar. Daripada setiap standar punya form sendiri, kampus bisa membuat satu sistem informasi mutu. Data kegiatan mahasiswa misalnya, bisa dipakai sekaligus untuk standar akademik, kemahasiswaan, bahkan tata kelola. Inilah prinsip single source of truth. Dengan cara ini, energi dosen tidak habis menulis laporan ganda. Kaprodi tidak perlu membuat dokumen kembar. Auditor internal pun lebih mudah memeriksa.

Permen 39/2025 memberi waktu transisi dua tahun. Ini kesempatan emas. Kalau dipakai hanya untuk mengganti format laporan, kita kehilangan momentum. Tapi kalau dimanfaatkan untuk refleksi dan inovasi, mungkin inilah saatnya mutu kampus benar-benar sehat dan membahagiakan.

Pada akhirnya, mutu sejati tidak boleh diukur dari tebalnya laporan atau rapinya dokumen, tapi dari seberapa sehat dan bahagianya civitas kampus dalam menjalankan perannya. Allah sudah mengingatkan dalam QS. Al-Mulk [67]:2 bahwa hidup adalah ujian, untuk melihat siapa yang terbaik amalnya, bukan siapa yang terbanyak catatannya. Maka mutu kampus pun mestinya begitu: bukan siapa yang paling banyak form, tapi siapa yang paling tulus berusaha memperbaiki diri.

“Mutu sejati bukan jalan menuju burnout. Mutu sejati adalah jalan menuju kampus yang sehat, bahagia, dan bermakna.”

Stay Relevant!



Daftar Pustaka

  • Antonovsky, A. (1996). The salutogenic model as a theory to guide health promotion. Health Promotion International, 11(1), 11–18.
  • Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2000). The “what” and “why” of goal pursuits: Human needs and the self-determination of behavior. Psychological Inquiry, 11(4), 227–268.
  • Demerouti, E., Bakker, A. B., Nachreiner, F., & Schaufeli, W. B. (2001). The job demands–resources model of burnout. Journal of Applied Psychology, 86(3), 499–512.
  • Republik Indonesia. (2025). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2025 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Jakarta: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.




Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Scroll to Top