PPEPP dan Storytelling

Storytelling: Kunci Transformasi Budaya Mutu

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Mengapa banyak upaya penjaminan mutu di perguruan tinggi berakhir hanya sebagai tumpukan dokumen? Mengapa rapat-rapat mutu sering kali menjadi rutinitas administratif tanpa gairah perubahan? Jawabannya bisa jadi terletak bukan pada sistem, bukan pada instrumen, melainkan pada sesuatu yang lebih mendasar: mindset. Pikiran yang meyakini bahwa mutu adalah urusan “tim SPMI saja” akan menghasilkan budaya kerja yang pasif dan minimalis. Sebaliknya, mindset yang percaya bahwa mutu adalah tanggung jawab bersama akan melahirkan komitmen kolektif untuk terus belajar dan memperbaiki diri.

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) yang diatur dalam Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 sesungguhnya telah menyediakan kerangka yang kuat untuk menjaga dan meningkatkan mutu perguruan tinggi. Melalui siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan—institusi didorong untuk tidak berhenti pada kepatuhan, tetapi terus bergerak menuju perbaikan berkelanjutan. Namun, sebagus apa pun sistem yang dirancang, ia akan menjadi kosong jika tidak didukung oleh mindset yang tepat.

Mindset Adalah Titik Awal

Perubahan besar selalu dimulai dari cara berpikir. Dalam teori psikologi pendidikan, khususnya pendekatan constructivism, dijelaskan bahwa pembelajaran yang bermakna hanya terjadi jika individu membangun sendiri pemahamannya melalui pengalaman dan refleksi. Hal ini sejalan dengan teori Carol Dweck tentang growth mindset, bahwa individu atau organisasi yang percaya bahwa kemampuan bisa dikembangkan akan lebih terbuka pada kritik, lebih siap menghadapi tantangan, dan lebih bersemangat melakukan perbaikan.

Sayangnya, di banyak perguruan tinggi, mutu masih sering dipandang sebagai “beban administrasi.” Kewajiban mengisi borang, melengkapi dokumen, dan menyiapkan audit dianggap sebagai pekerjaan tambahan yang mengganggu aktivitas utama. Pola pikir seperti ini membuat SPMI berjalan setengah hati, tanpa semangat perbaikan yang sejati. Jika mindset ini tidak diubah, siklus PPEPP hanya akan menjadi checklist, bukan motor penggerak transformasi. Oleh karena itu, mengubah cara berpikir adalah langkah pertama sekaligus yang paling krusial untuk menjadikan mutu sebagai budaya, bukan sekadar kewajiban.

Baca juga: Storytelling: Agar Data SPMI Lebih Menginspirasi

Cerita yang Menggerakkan

Manusia bukan hanya makhluk rasional, tetapi juga makhluk naratif. Kita lebih mudah memahami, mengingat, dan tergerak oleh cerita dibandingkan oleh angka atau instruksi. Ini ditegaskan oleh teori komunikasi narrative paradigm yang dikembangkan oleh Walter Fisher: manusia secara alami menilai kebenaran melalui narasi, bukan sekadar logika formal. Dalam konteks budaya mutu, ini berarti bahwa perubahan mindset lebih efektif jika disampaikan lewat kisah nyata tentang proses, perjuangan, dan keberhasilan, bukan hanya lewat prosedur dan regulasi.

Bayangkan dua cara menyampaikan pesan tentang pentingnya evaluasi diri dalam PPEPP. Cara pertama: “Evaluasi diri wajib dilakukan setiap tahun sebagai bagian dari SPMI.” Cara kedua: “Tiga tahun lalu, sebuah program studi di kampus kita hampir kehilangan akreditasinya. Tapi berkat evaluasi yang jujur dan komitmen bersama untuk berbenah, program itu bukan hanya bertahan, tapi juga berhasil meraih predikat unggul. Semua berawal dari keberanian untuk bertanya: sudah sejauh mana kita memenuhi janji kita kepada mahasiswa?” Kisah seperti ini jauh lebih mengena, karena menyentuh sisi emosional dan menghubungkan tindakan dengan makna yang lebih dalam.

Menginspirasi Perubahan Perilaku

Mindset yang tepat akan melahirkan perilaku yang tepat. Namun, perubahan perilaku tidak bisa dipaksa dari luar. Ia harus tumbuh dari dalam, dari keyakinan dan kesadaran pribadi. Di sinilah storytelling berperan sebagai katalis. Melalui cerita, individu di dalam organisasi melihat refleksi diri, merasakan kedekatan dengan isu yang diangkat, dan terdorong untuk menjadi bagian dari solusi. Cerita menjadi cermin yang mengajak setiap orang bertanya: di mana posisi saya dalam perjalanan mutu ini? Apa kontribusi saya?

Budaya mutu yang hidup adalah budaya yang penuh inisiatif, di mana dosen, tenaga kependidikan, dan pimpinan merasa bertanggung jawab atas kualitas proses dan hasil. Perilaku aktif ini tidak muncul dari instruksi, tetapi dari inspirasi. Ketika auditor internal misalnya, bukan sekadar memeriksa kesesuaian dokumen, tetapi juga mampu berbagi cerita tentang bagaimana audit sebelumnya membantu sebuah unit menemukan kekuatannya dan mengembangkan inovasi baru, maka audit menjadi ruang belajar, bukan ruang pemeriksaan. PPEPP pun tidak lagi dipandang sebagai beban, melainkan sebagai sarana untuk bertumbuh.

Baca juga: Mengapa Budaya Mutu Butuh Storytelling?

Belajar Lewat Cerita

Pelatihan bagi auditor dan pengelola SPMI sering kali terjebak pada transfer informasi—membahas regulasi, standar, dan teknik audit—tanpa menyentuh sisi motivasional. Padahal, untuk menumbuhkan budaya mutu, pelatihan perlu menyasar mindset, bukan hanya skillset. Pendekatan story-based learning bisa menjadi jawaban atas tantangan ini. Dengan mengemas materi pelatihan dalam bentuk kisah nyata, studi kasus, atau simulasi berbasis skenario, peserta akan lebih mudah mengaitkan teori dengan praktik, dan yang terpenting, membangun pemahaman yang lebih bermakna.

Teori experiential learning dari David Kolb menegaskan bahwa pengalaman konkret, refleksi, konseptualisasi, dan eksperimen aktif adalah siklus belajar yang efektif. Dalam pelatihan SPMI, ini bisa diterjemahkan dengan menghadirkan pengalaman-pengalaman audit yang bermakna, kisah sukses maupun kegagalan, lalu mengajak peserta merefleksi dan merumuskan cara bertindak yang lebih baik di masa depan. Cerita menjadi sarana untuk belajar dari kenyataan, bukan sekadar dari slide presentasi.

Baca juga: Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik

Penutup

Membangun budaya mutu bukan soal menambah regulasi atau memperbanyak borang. Ia soal mengubah cara pandang, menyalakan semangat, dan merawat keyakinan bahwa mutu adalah bagian dari jati diri institusi. SPMI dengan PPEPP sebagai alat perbaikan berkelanjutan telah memberi kita kerangka kerja yang kuat, tetapi kerangka itu perlu diisi dengan jiwa, dengan semangat yang tumbuh dari kesadaran bersama.

Storytelling adalah cara untuk menumbuhkan kesadaran itu. Lewat cerita, mutu berhenti menjadi sekadar prosedur. Ia menjadi perjalanan bersama yang dihidupi, dirasakan, dan dijalani dengan sepenuh hati. Karena pada akhirnya, perubahan yang paling tahan lama bukan yang dipaksa dari luar, melainkan yang tumbuh dari dalam—dari mindset yang percaya bahwa selalu ada ruang untuk menjadi lebih baik.

Baca juga: Lulus Kuliah, Tapi Nggak Siap Kerja? Mungkin Standar Kompetensinya Bermasalah!

Referensi

  1. Bruner, J. S. (1960). The process of education. Cambridge, MA: Harvard University Press.
  2. Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic motivation and self-determination in human behavior. New York: Plenum Press.
  3. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  4. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  5. Goetsch, D. L., & Davis, S. B. (2014). Quality management for organizational excellence: Introduction to total quality (7th ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson.
  6. Kim, W. C., & Mauborgne, R. (2005). Blue ocean strategy: How to create uncontested market space and make the competition irrelevant. Harvard Business School Press.
  7. OpenAI. (2025). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  8. Ornstein, A.C. & Hunkins, F.P. (2018). Curriculum: Foundations, Principles, and Issues. Pearson.
  9. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  10. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2024). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  11. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  12. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Scroll to Top