Pendahuluan
Perjalanan akreditasi perguruan tinggi di Indonesia sedang memasuki babak baru. Bukan sekadar perubahan teknis, tapi sebuah lompatan paradigma. Kalau dulu akreditasi dikenal dengan borang tebal, checklist tak berujung, dan rasa cemas menjelang visitasi asesor, kini hadir pendekatan yang lebih bernapas: berbasis outcome dan refleksi diri. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 menjadi penanda era baru ini—era di mana mutu tidak lagi dinilai dari tumpukan dokumen, tapi dari dampak nyata yang dihasilkan oleh institusi pendidikan tinggi.
Ini bukan sekadar penggantian aturan, melainkan panggilan untuk memperbarui cara berpikir. Akreditasi bukan tujuan akhir, tapi alat untuk menakar kemajuan. Dalam dunia baru ini, bukan hanya asesor yang menilai kampus, tapi kampus juga menilai dirinya sendiri: sejauh mana ia tumbuh, berkontribusi, dan konsisten memperbaiki diri. Yuk, kita gali lebih dalam apa sebenarnya makna dari instrumen baru ini.
Hasil Lebih Penting dari Jumlah
Selama bertahun-tahun, akreditasi sering kali terjebak dalam hitung-hitungan. Berapa jumlah doktor? Seberapa luas laboratorium? Seberapa tebal dokumen evaluasi diri? Semua itu penting, tentu saja. Tapi kini, sorotan utamanya bergeser: seberapa besar dampak lulusan di dunia nyata? Apa kontribusi riset terhadap masyarakat? Apakah program studi menjawab kebutuhan zaman?
Instrumen baru mendorong kampus untuk melihat ke luar, bukan hanya ke dalam. Mutu tidak lagi dimaknai sebagai kelengkapan input, melainkan sebagai daya ubah—daya yang membawa manfaat nyata bagi mahasiswa dan masyarakat. Di sinilah letak tantangannya: berani jujur, terbuka, dan bertumbuh.
Refleksi Diri sebagai Budaya
Salah satu semangat paling segar dari akreditasi versi baru adalah refleksi. Bukan refleksi formalitas di dokumen LED, tapi refleksi mendalam yang dilakukan secara berkala dalam sistem mutu internal kampus. Pertanyaannya sederhana: apa yang sudah kita capai, dan apa yang masih jadi PR?
Proses ini melahirkan budaya baru di kampus: terbiasa melihat diri sendiri secara jujur dan obyektif. Dari sini, muncul kesadaran untuk tidak hanya mempertahankan apa yang sudah ada, tapi juga memikirkan apa yang bisa ditingkatkan. Refleksi ini bukan hanya milik pimpinan atau LPM, tapi menjadi kebiasaan seluruh civitas akademika. Di sinilah kualitas sesungguhnya tumbuh.
SPMI Jadi Tulang Punggung
Dalam lanskap baru ini, SPMI bukan lagi figuran. Ia adalah aktor utama. Sistem Penjaminan Mutu Internal yang dulu mungkin hanya dianggap sebagai kewajiban administratif, kini justru menjadi alat utama dalam merawat kualitas kampus dari hari ke hari. SPMI menjadi pondasi dalam menilai, mengembangkan, dan menjaga mutu secara berkelanjutan.
Dengan SPMI, kampus bisa menetapkan standar mutu yang relevan dengan visi dan karakternya sendiri. Standar ini tidak harus seragam, tapi harus bermakna dan bisa dipertanggungjawabkan. Selama melebihi standar nasional, kampus diberi ruang untuk berkreasi dan bertumbuh. Inilah bentuk otonomi yang sehat, sekaligus strategi untuk tetap adaptif di tengah perubahan cepat dunia pendidikan tinggi.
PPEPP: Mesin Perbaikan Tanpa Henti
Kalau mutu itu perjalanan, maka PPEPP adalah mesinnya. Siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan bukan sekadar prosedur, tapi cara hidup. Dalam semangat kaizen—filosofi perbaikan terus-menerus—PPEPP menjadi alat kerja yang membuat kampus terus belajar, berbenah, dan naik kelas.
Instrumen baru tidak menuntut kesempurnaan instan. Yang penting, ada niat dan sistem untuk terus memperbaiki diri. Lewat PPEPP, kampus diajak tidak hanya mempertahankan standar, tapi juga menantangnya: bisakah kita lebih baik dari kemarin? Dalam jangka panjang, ini akan menciptakan budaya mutu yang hidup, bukan yang dibuat-buat.
Akreditasi sebagai Cermin
Era baru akreditasi mengajak kampus untuk bercermin, bukan berkamuflase. Di masa lalu, tidak jarang kampus mendandani data menjelang akreditasi, seolah-olah semua tampak sempurna. Tapi instrumen berbasis refleksi diri tidak bisa ditipu. Ia mengandalkan kejujuran dan keberanian melihat kekurangan, untuk kemudian tumbuh dari sana.
Dengan begitu, akreditasi tak lagi jadi beban tahunan, tapi jadi momen evaluasi yang bermakna. Ia menjadi sarana mengukur progres institusi, bukan sekadar memenuhi syarat. Kampus yang jujur dalam menilai dirinya sendiri akan jauh lebih siap menghadapi tantangan eksternal dan bersaing secara sehat.
Penutup
Perubahan memang sering datang membawa kekhawatiran. Tapi kalau dilihat dari kacamata yang tepat, perubahan juga bisa menjadi peluang. Era baru akreditasi bukan tentang memperumit, tapi menyederhanakan untuk memaknai. Ia hadir bukan untuk menambah pekerjaan, tapi untuk menyelaraskan antara yang kita kerjakan dan yang kita yakini bermutu.
Di era ini, SPMI bukan hanya kewajiban, tapi sahabat sehari-hari. PPEPP bukan sekadar siklus, tapi filosofi tumbuh. Dan akreditasi bukan lagi penilaian dari luar, tapi cermin pertumbuhan dari dalam. Jadi, mari kita sambut era ini dengan semangat terbuka. Karena mutu yang sesungguhnya bukan dicapai sekali jadi, tapi dibangun setiap hari, dengan niat dan refleksi yang tulus.


