• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Pemborosan Tersembunyi: Musuh Besar SPMI

Pemborosan Tersembunyi

Pemborosan Tersembunyi: Musuh Besar SPMI

Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi merupakan langkah strategis yang sangat penting untuk memastikan bahwa mutu pendidikan senantiasa terjaga dan terus ditingkatkan (continuous improvement).

Ketentuan SPMI terbaru diatur dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023 Penjaminan Mutu PT, mulai pasal 67 sampai pasal 70.

SPMI berfungsi sebagai alat (tools management) untuk mengelola, mengukur, dan memperbaiki proses-proses yang terjadi di dalam lembaga pendidikan, dari penetapan standar hingga evaluasi dan peningkatan mutu.

Namun, dalam pelaksanaannya, salah satu tantangan (problems) terbesar adalah mengidentifikasi dan mengatasi “pemborosan” atau inefisiensi yang sering kali “tersembunyi” (tidak terlihat) dalam sistem dan proses-proses yang ada di perguruan tinggi.

Di sinilah relevansi ide dan pemikiran Shigeo Shingo, yang terkenal dengan kutipannya, “The most dangerous kind of waste is the waste we do not recognize,” menjadi sangat penting.

Pemborosan Tersembunyi di Berbagai Level

Dalam konteks perguruan tinggi, “pemborosan tersembunyi” dapat terjadi di berbagai level dan dalam berbagai bentuk.

Misalnya, dalam proses administrasi, terdapat banyak waktu yang terbuang untuk hal-hal yang tidak produktif, seperti birokrasi yang terlalu panjang, penggunaan sumber daya yang tidak optimal, atau kurangnya pemanfaatan teknologi untuk mempercepat proses.

Pemborosan seperti ini sering kali tidak terlihat karena sudah menjadi bagian dari “rutinitas” harian, sehingga dianggap sebagai sesuatu yang wajar.

Namun, jika pemborosan tersebut dibiarkan, ia akan menjadi penghambat utama dalam upaya perguruan tinggi untuk mencapai keunggulan mutu.

Pemborosan tersembunyi juga bisa muncul dalam bentuk potensi yang tidak tergali dengan baik, baik dari tenaga pengajar maupun mahasiswa.

Misalnya, dosen-dosen yang memiliki kemampuan penelitian tinggi mungkin tidak dimanfaatkan secara optimal karena terjebak dalam tugas administratif yang sebenarnya bisa disederhanakan melalui digitalisasi atau pengalihan tugas.

Begitu pula dengan mahasiswa yang memiliki bakat atau minat khusus, yang tidak diberdayakan sepenuhnya karena kurangnya program pendukung atau lingkungan yang mendukung pengembangan potensi mereka.

Pemborosan ini sangat berbahaya karena tidak hanya merugikan institusi dalam jangka panjang, tetapi juga merusak tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu untuk mengembangkan manusia seutuhnya.

Berikut adalah contoh 10 pemborosan tersembunyi di perguruan tinggi:

  1. Dosen mengerjakan tugas administratif yang bisa dialihkan ke staf khusus.
  2. Penggunaan ruangan yang tidak optimal, seperti kelas kosong atau ruang yang tidak sesuai kapasitas.
  3. Waktu terbuang dalam proses administrasi manual yang bisa disederhanakan dengan digitalisasi.
  4. Pertemuan yang tidak produktif dan terlalu sering, tanpa hasil yang jelas.
  5. Proses pengambilan keputusan yang lambat karena birokrasi yang berlapis-lapis.
  6. Pengabaian potensi mahasiswa karena minimnya pembimbingan yang personal.
  7. Kurikulum yang tidak relevan atau terlalu padat sehingga menghambat kreativitas mahasiswa.
  8. Sumber daya teknologi yang tidak dimanfaatkan secara maksimal dalam pengajaran.
  9. Ketidakselarasan antara pelatihan dosen dan kebutuhan pengajaran terkini.
  10. Pengumpulan dan analisis data mutu yang lambat karena tidak terintegrasi secara digital.

Penguatan SPMI

Penguatan SPMI di perguruan tinggi harus dimulai dengan pengenalan dan pengakuan terhadap pemborosan ini.

Tahapan PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar) memberikan kerangka kerja yang ideal untuk memulai proses ini.

Pada tahap evaluasi, penting bagi perguruan tinggi untuk tidak hanya melihat hasil akhir, tetapi juga menggali lebih dalam untuk menemukan inefisiensi yang mungkin terjadi di setiap tahap proses.

Evaluasi ini tidak hanya mencakup pengukuran kinerja berdasarkan standar yang telah ditetapkan, tetapi juga harus mencakup identifikasi pemborosan, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi.

Untuk mengatasi pemborosan yang tidak disadari, diperlukan perubahan paradigma dalam cara perguruan tinggi melihat sistem dan prosesnya.

Pemborosan yang tidak diakui atau tidak diperhatikan sering kali terjadi karena kurangnya pemahaman akan hubungan antara proses dan hasil.

Shingo menekankan bahwa mengabaikan inefisiensi yang tersembunyi adalah ancaman serius, karena hal tersebut menimbulkan kebiasaan untuk menerima “status quo”, alih-alih berupaya melakukan perbaikan terus-menerus.

Oleh karena itu, penguatan SPMI bukan hanya soal menetapkan standar mutu yang tinggi, tetapi juga tentang menciptakan budaya mutu di mana seluruh civitas akademika—dosen, mahasiswa, dan tenaga administrasi—secara aktif terlibat dalam proses pengenalan, pengukuran, dan penghapusan pemborosan tersembunyi.

Salah satu cara untuk mengatasi pemborosan ini adalah dengan menggunakan pendekatan berbasis data.

Dalam dunia pendidikan, data sering kali tidak dimanfaatkan secara maksimal untuk menganalisis inefisiensi yang terjadi.

Dengan penerapan sistem informasi yang terintegrasi, perguruan tinggi dapat secara otomatis memantau dan menganalisis kinerja proses, mengidentifikasi area yang memerlukan peningkatan, dan dengan cepat mengambil tindakan perbaikan.

Digitalisasi proses administratif, misalnya, dapat mengurangi waktu yang terbuang dalam pengumpulan dan analisis data manual, sehingga staf dan dosen bisa fokus pada tugas utama mereka, yaitu pengajaran dan penelitian.

Lebih jauh, pendekatan Lean Management, yang sangat dipengaruhi oleh Shingo, juga relevan dalam konteks penguatan SPMI.

Prinsip Lean yang berfokus pada pengurangan pemborosan dan peningkatan efisiensi dapat diterapkan pada hampir semua proses dalam perguruan tinggi.

Misalnya, dalam pengelolaan kurikulum, pendekatan ini dapat digunakan untuk memangkas proses yang tidak menambah nilai bagi mahasiswa dan menggantinya dengan kegiatan yang lebih bermakna, seperti pengajaran berbasis proyek (project based learning) atau pembelajaran kolaboratif.

Dalam proses evaluasi mutu, Lean dapat membantu perguruan tinggi untuk lebih cepat menemukan masalah yang menghambat pencapaian standar mutu dan menyederhanakan prosedur evaluasi itu sendiri.

Pada akhirnya, penguatan SPMI di perguruan tinggi tidak hanya bergantung pada pengembangan standar yang ketat, tetapi juga pada kemampuan untuk terus menerus menggali, mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan yang tidak disadari.

Kutipan Shigeo Shingo mengingatkan kita bahwa inefisiensi yang paling berbahaya adalah yang tidak kita sadari, karena tanpa pengakuan, tidak ada langkah perbaikan yang bisa diambil.

Oleh karena itu, untuk mencapai peningkatan mutu yang berkelanjutan (kaizen), perguruan tinggi harus berani instropeksi, menggali lebih dalam, mengevaluasi diri secara kritis, dan harus tidak pernah puas atas capaian-capaian yang telah diperoleh. Stay Relevant!


Oleh: Bagus Suminar. Dosen UHW Perbanas Surabaya dan Direktur Mutu Pendidikan.

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

admin

MOTTO: Senantiasa bergerak dan berempati untuk menebar manfaat bagi Mutu Pendidikan di Indonesia

×

Layanan Informasi

× Hubungi Kami