Turbulensi kampus bukan soal jumlah mahasiswa semata. Bahaya sesungguhnya ada saat kita masih terjebak logika kemarin.
Kalau kita lihat data resmi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, terlihat bahwa jumlah mahasiswa di perguruan tinggi swasta mengalami penurunan sekitar 90 ribu orang—atau sekitar 2 persen—dari 2023 ke 2024, sementara kampus negeri justru tumbuh pesat, mencapai hampir 3,9 juta mahasiswa. Angka ini bukan sekadar statistik, tapi alarm keras bahwa pola lama tidak lagi memadai. Walaupun kampus negeri tidak kesulitan menarik mahasiswa baru, mereka juga tidak boleh lengah. Penyakit yesterday’s logic bisa menular ke siapa saja, bahkan yang sekarang terlihat aman.
Masalah ini makin rumit karena kondisi ekonomi kita juga sedang tidak baik-baik saja. Banyak orang tua mahasiswa mengalami penurunan daya beli, bahkan ada yang akhirnya tidak lagi mampu menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi. Fenomena ini nyata, terasa di banyak keluarga. Bagi kampus swasta, beban semakin berat karena selain bersaing dengan PTN, mereka juga harus menghadapi kenyataan bahwa segmen calon mahasiswa yang dulu bisa membayar penuh kini menurun jumlahnya.
Peter Drucker sejak lama sudah mengingatkan: “The greatest danger in times of turbulence is not the turbulence itself, but to act with yesterday’s logic.”
Bahaya terbesar di masa penuh gejolak bukan turbulensinya, melainkan kalau kita tetap nekat memakai logika lama. Kondisi ekonomi yang sulit ini justru menegaskan pentingnya meninggalkan cara pikir lama dalam mengelola perguruan tinggi.
Mari kita coba pikir bersama, bagaimana menyiasati fenomena ini. Ada tiga lensa teori yang bisa membantu kita mencari jalan: Growth Mindset, Dynamic Capabilities, dan Transformational Leadership.
Pertama, Growth Mindset. Di tengah kondisi ekonomi sulit, fixed mindset bisa membuat kampus berpikir: “Kalau mahasiswa tidak sanggup bayar, ya biarkan saja, itu di luar kuasa kita.” Padahal dengan growth mindset, kampus bisa mencari cara kreatif agar pendidikan tetap bisa dijangkau. Misalnya, menawarkan skema pembayaran fleksibel, beasiswa berbasis kebutuhan, atau kemitraan dengan pemerintah daerah dan lembaga filantropi. Kampus juga bisa mendorong mahasiswa bekerja paruh waktu dengan dukungan program kampus, bukan membiarkan mereka berjuang sendiri. Dengan growth mindset, kampus percaya bahwa tantangan ekonomi bukan alasan berhenti, melainkan peluang untuk menemukan solusi baru yang lebih inklusif.
Kedua, Dynamic Capabilities (Teece, Pisano, dan Shuen). Teori ini bicara tentang kemampuan organisasi untuk sense, seize, dan transform. Dalam situasi sekarang, kampus harus sense kondisi ekonomi masyarakat: banyak keluarga yang memang kesulitan biaya. Dari sini, kampus bisa seize peluang dengan menyesuaikan produk pendidikannya—misalnya membuat program studi singkat, kursus sertifikasi, atau kuliah hybrid yang lebih hemat biaya transportasi. Lalu, kampus perlu transform: menata ulang struktur dan sumber daya agar program ini bisa berjalan berkelanjutan. Contohnya, memperkuat kolaborasi dengan industri agar mahasiswa mendapat dukungan finansial lewat magang berbayar, atau mengembangkan endowment fund yang benar-benar dikelola secara profesional. Dengan dynamic capabilities, kampus bukan hanya bertahan, tapi beradaptasi aktif terhadap realitas ekonomi.
Ketiga, Transformational Leadership. Semua gagasan di atas hanya bisa jalan kalau ada pemimpin yang berani menginspirasi dan menggerakkan. Pemimpin kampus perlu turun langsung, mendengar cerita mahasiswa, memahami keresahan orang tua, dan menjawabnya dengan langkah nyata. Transformational leader bisa mengajak seluruh civitas: dosen, staf, alumni, bahkan mitra industri, untuk bergotong royong mencari solusi. Dengan kepemimpinan yang menginspirasi, semua orang merasa punya peran dalam menjaga agar pendidikan tinggi tetap bisa diakses meski ekonomi sedang sulit.
Selain itu, kita juga tidak boleh melupakan peran Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Di banyak kampus, SPMI sering dipersepsikan hanya sebagai dokumen administratif, padahal sebenarnya ia bisa menjadi alat penting untuk mendukung penguatan dunia kampus. SPMI yang adaptif dan fleksibel dapat menjadi ruang inovasi: ia bukan sekadar menjaga standar, tapi juga membuka jalan bagi kampus untuk mencoba cara-cara baru tanpa takut kehilangan mutu. Ketika SPMI dikembangkan sebagai sistem yang hidup—mendorong eksperimen, evaluasi cepat, dan perbaikan berkelanjutan—maka mutu akademik tidak hanya terjaga, tapi justru semakin relevan dengan kebutuhan zaman.
Kita juga perlu mencatat suara dari pemerintah. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Khairul Munadi, menegaskan bahwa “Program Penguatan Perguruan Tinggi Swasta tahun ini menjadi momen penting bagi kampus-kampus swasta untuk melakukan lompatan besar dalam transformasi digital.” Pernyataan ini menegaskan bahwa pemerintah mendorong PTS agar tidak sekadar bertahan, tetapi bertransformasi dalam mutu, tata kelola, dan akses pendidikan tinggi. (mataerdigital.com) Dukungan ini tentu harus dijawab dengan keseriusan kampus dalam menemukan cara baru agar tetap relevan dan inklusif.
Jadi, kondisi saat ini memang penuh turbulensi: mahasiswa berkurang, ekonomi keluarga menurun, dan persaingan makin keras. Tapi kalau kita jujur, ini bukan akhir cerita. Justru inilah undangan untuk meninggalkan logika kemarin. Kampus yang berani menumbuhkan mindset baru, punya kemampuan adaptasi dinamis, menegakkan sistem mutu internal yang mendukung inovasi, dan dipimpin secara inspiratif akan mampu mengubah tantangan ekonomi menjadi kesempatan membangun solidaritas dan kreativitas.
Kita mungkin tidak bisa langsung memperbaiki kondisi ekonomi seluruh negeri. Tapi kita bisa memastikan kampus kita hadir sebagai bagian dari solusi—membuka jalan agar pendidikan tetap bisa diakses, relevan, dan bermakna. Dan kalau itu bisa kita lakukan, turbulensi ini kelak akan dikenang bukan sebagai masa krisis, melainkan sebagai titik balik yang membuat dunia kampus kita semakin kuat.