Satu Teman yang Mengubah Segalanya

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Satu Teman yang Mengubah Segalanya

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen UHW Perbanas Surabaya

Kadang, yang dibutuhkan mahasiswa asing bukan sistem yang megah—tapi satu teman yang bilang: “Kalau kamu bingung, aku bisa bantu.”

Ada hal yang sering luput, jarang dibahas di ruang-ruang rapat pimpinan kampus, meski slide demi slide telah berganti, visi demi misi telah dibaca ulang. Di tengah kesibukan membahas strategi internasionalisasi, akreditasi, dan kerja sama antar institusi, satu pertanyaan sederhana jarang terdengar:
Bagaimana rasanya datang sendirian ke tempat yang tak dikenal, dan tak tahu siapa yang akan menyambut?

Mahasiswa asing, yang datang dari ribuan kilometer, tidak datang hanya dengan membawa paspor dan semangat belajar. Mereka datang dengan cemas, dengan peta kampus yang belum tuntas terbaca, dengan bahasa yang masih goyah di lidah. Mereka berdiri di aula registrasi, menatap wajah-wajah asing, dan bertanya dalam hati: Apakah di ruang ini ada yang akan peduli padaku?”

Tidak semua dari mereka datang dari keluarga diplomat atau keluarga orang-orang mampu. Banyak yang berasal dari kota-kota kecil yang bahkan tak masuk peta pelajaran geografi. Mereka tidak mencari kampus dengan menara tinggi dan laboratorium tercanggih di dunia. Mereka mencari tempat yang aman, terjangkau, dan manusiawi.

Namun, kampus sering lupa. Lupa bahwa hal pertama yang dibutuhkan seseorang di tanah asing bukan brosur bahasa Inggris. Bukan aplikasi mobile dengan peta digital. Tapi satu wajah manusia yang menyambut. Satu teman yang berkata ramah, “Don’t worry bro, Kalau kamu bingung, aku bisa bantu.”

Buddy Programme

Kehadiran mahasiswa internasional bukan sekadar angka dalam laporan tahunan. Mereka datang membawa need and want, harapan dan kecemasan, ingin tumbuh di tanah yang asing. Banyak hal yang mereka ingin pelajari. Tapi tak semua kampus sadar bahwa belajar tak selalu dimulai dari ruang kuliah. Kadang, ia dimulai dari kantin. Dari lapangan bola atau ruang perpustakaan. Dari pertemuan kecil. Dari rasa bahwa “saya diperhatikan dan diterima di sini.”

Umeå University di Swedia memberi contoh tentang hal ini. Mereka menjalankan sebuah program sederhana bernama Buddy Programme—program yang mempertemukan mahasiswa lokal dan mahasiswa internasional dalam kelompok kecil yang berbagi cerita, berbagi tawa, berbagi pengalaman.

Dalam jurnal yang ditulis oleh Per A. Nilsson, ditemukan bahwa mahasiswa internasional yang mengikuti program ini merasa lebih terhubung, lebih nyaman, dan lebih betah. Mereka tak hanya belajar bahasa, tapi juga belajar bahwa mereka tidak sendirian. Hanya dari kegiatan sesederhana fika—kopi sore khas Swedia—mereka menemukan secure base yang membuat hari-hari pertama tidak terasa sunyi.

Bukan Struktur, Tapi Kehadiran

John Bowlby menyebutnya secure base—tempat emosional yang membuat manusia berani menjelajah dunia. Di masa kecil, itu mungkin orang tua. Di universitas asing, secure base itu bisa hadir dari satu teman yang menunjukkan arah ke ruang kelas atau sekadar menemani beli pulsa atau kartu SIM.

Nilsson mencatat bahwa tingkat kepuasan terhadap aktivitas sosial di kampus meningkat konsisten sejak program buddy berjalan. Dalam survei selama delapan tahun, Umeå University masuk dalam peringkat tertinggi secara global dalam hal kepuasan mahasiswa asing terhadap kegiatan sosialnya.

Tapi ini bukan soal anggaran. Ini soal niat. Mahasiswa yang menjadi “buddy” bukanlah pegawai. Mereka mahasiswa biasa, yang dilatih sebentar untuk menjadi teman pertama. Bukan tutor. Bukan pengawas. Tapi teman, ya hanya sebagai teman. Teman yang memberi perhatian.

Dan di situlah kekuatan sebenarnya. Karena keterikatan tidak dibangun oleh struktur, tapi oleh niat yang hangat. Satu ajakan makan siang atau main bola basket bisa lebih berkesan daripada sambutan resmi dari dekan. Satu obrolan ringan bisa lebih melekat daripada seribu kata dalam brosur internasional.

Kampus yang Menyambut

Banyak kampus berlomba menjadi “go global”—dengan papan nama internasional, kerjasama dan MOU lintas negara, bahkan logo keren. Tapi apakah kita cukup lokal—dalam arti keramahtamahan dan kedekatan—untuk membuat orang asing merasa nyaman diterima?

Di Indonesia, banyak kampus kecil merasa belum siap karena tidak punya kantor internasional megah. Tapi Umeå University membuktikan bahwa yang dibutuhkan bukan kemegahan, tapi komitmen pada keterhubungan manusiawi.

Kampus bisa memulai dari hal paling kecil: satu kelompok student buddy. Satu mahasiswa lokal dipasangkan dengan satu mahasiswa asing. Mereka saling mengenal, saling belajar, saling suppot. Dari situ tumbuh budaya menyapa, budaya mendampingi, budaya peduli.

Dan dari situlah kualitas sesungguhnya lahir. Bukan hanya dalam bentuk standar SPMI, tapi dalam bentuk sikap harian: siapa yang menyapa duluan, siapa yang menemani, siapa yang hadir saat yang lain butuh bantuan.

Kita sering mengira mahasiswa asing datang demi gelar dan prestasi. Tapi sering kali, yang mereka cari bukan semata ilmu—melainkan sapaan hangat yang menenangkan hati. Mereka tak selalu butuh solusi, cukup ada yang menemani. Dan kadang, satu teman—cukup satu—bisa menjadi alasan mereka bertahan, bukan hanya dengan tekad, tapi dengan senyum yang tulus.

Tali Silaturahim

Dalam ajaran Islam, silaturahim bukan sekadar ajakan untuk saling mengunjungi, tapi jalan pembuka rahmat, pembuka rezeki dan perpanjangan usia. Ia adalah jembatan emas yang menghubungkan hati, menghapus sepi, dan memperkuat ikatan kemanusiaan.

Dalam konteks mahasiswa asing, silaturahim berarti membuka diri untuk hadir menyambut, dan menghubungkan hati yang jauh. Ketika kampus membangun budaya hadir, menyapa dan menemani, sejatinya mereka sedang menanam nilai silaturahim—sebuah amal yang berdampak tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat.

Ketika seorang mahasiswa internasional disambut bukan hanya sebagai tamu, tapi sebagai saudara, di situlah nilai silaturahim hadir dalam bentuk yang paling bermakna. Kampus yang ramah. Kampus yang menyambut bukan hanya menjalankan SOP atau strategi internasionalisasi, tapi juga menghidupkan sunnah Nabi: menjalin kasih di antara yang belum saling kenal. Dan bisa jadi, dari satu jabat tangan tulus itu, tumbuhlah ikatan yang lebih kuat daripada sekadar kerja sama akademik—yakni persaudaraan yang diberkahi.

Standar SPMI

Terakhir, agar tradisi Buddy Programme tidak sekadar hangat di awal lalu pudar perlahan, kampus perlu menanamkannya ke dalam sistem mutu yang berkelanjutan—yakni melalui standar SPMI (Sistem Penjaminan Mutu Internal). Tapi jangan biarkan standar itu hanya jadi formalitas, tabel dan target angka. Biarlah ia tumbuh dari budaya menyambut, dari nilai silaturahim yang menjadi napas. Tetapkan indikator yang SMART (specific, measurable, attainable, relevant dan timed) —berapa kelompok terbentuk, berapa mahasiswa asing yang terlibat. Tapi jangan lupakan hal yang sulit diukur: apakah ada yang merasa ditemani? apakah ada yang akhirnya tersenyum karena tidak merasa sendiri? Jika itu bisa dirawat dalam sistem, maka kampus tak hanya membangun program, tapi InsyaAllah membangun peradaban.

Stay Relevant!


Referensi:

  • Chong, P. Y., Kam, A., & Tham, S. Y. (2024). Factors influencing international students’ perceived value and satisfaction at private universities in Malaysia. Tuning Journal for Higher Education, 11(2), 189–217. https://doi.org/10.18543/tjhe-11(2)-2024pp189-217
  • Nilsson, P. A. (2019). The buddy programme: Integration and social support for international students. Journal of Comparative and International Higher Education, 11, 36–43. https://ssrn.com/abstract=3747316
  • Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Scroll to Top