
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Di banyak perguruan tinggi, mutu sering kali dipersepsi sempit sebagai urusan dokumen, borang, dan audit. Sosialisasi tentang Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) acap kali berakhir menjadi presentasi regulasi, daftar standar, atau instruksi pengisian formulir. Tak jarang, peserta rapat mutu hadir secara fisik tetapi tak benar-benar terhubung secara emosional dengan isi pesan yang disampaikan.
Faktanya, mutu bukan sekadar soal patuh terhadap aturan. Mutu adalah tentang mindset, tentang afeksi, kesadaran bersama untuk terus tumbuh, memperbaiki diri, dan menciptakan karya yang bermakna.
Sebagai sistem yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 dan diperkuat melalui Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, SPMI sejatinya bukan hanya mekanisme pengendalian. Ia adalah jantung dari upaya institusi pendidikan tinggi untuk menjalankan Tridharma dengan cara yang relevan, bermutu, dan berkelanjutan. Namun, jika mutu hanya dipahami sebagai checklist dan bukan sebagai budaya, maka ia akan kehilangan daya hidupnya.
Di sinilah storytelling berperan penting, menghidupkan standar menjadi pesan yang tidak hanya “menyentuh akal”, namun juga harus bisa “menyentuh perasaan”.
Baca juga: Lifelong Learning: Soft Skill Penting di Tengah Dinamika Zaman
Kita kerap “terjebak dalam formalitas”. Standar ditulis, tabel diisi, laporan dikumpulkan, tetapi tanpa benar-benar mengubah cara orang berpikir dan bertindak.
Jika budaya mutu hanya berputar di sekitar dokumen, maka yang tumbuh hanyalah compliance, bukan commitment.
Orang patuh karena takut ditegur, bukan karena merasa terhubung dengan makna dari mutu itu sendiri.
Psikologi pendidikan mengajarkan bahwa manusia belajar paling efektif ketika informasi disampaikan melalui konteks yang bermakna. Jean Piaget menekankan pentingnya meaningful learning di mana pengetahuan diintegrasikan dengan pengalaman. Ketika dosen, tenaga kependidikan, atau pimpinan hanya dihadapkan pada borang, angka, dan regulasi, maka yang terjadi hanyalah rote learning, sekadar menghafal tanpa memahami. Padahal, mutu yang tumbuh sehat menuntut pemahaman yang dalam, bukan sekadar hafalan.
Mutu akan lebih mudah dihayati ketika disampaikan dalam bentuk kisah, bukan hanya instruksi. Cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh lapisan emosi, menciptakan resonansi (getaran jiwa) yang lebih dalam dibanding sekadar data.
Dalam teori komunikasi, narrative persuasion menunjukkan bahwa audiens lebih mudah tergerak dan terlibat secara afektif ketika pesan dibalut dalam alur cerita yang memuat tokoh, konflik, proses, dan penyelesaian.
Bayangkan ketika seorang kepala program studi tidak hanya membaca laporan PPEPP, tetapi mendengarkan kisah bagaimana sebuah program studi lain bangkit dari akreditasi C menjadi B berkat konsistensi di setiap tahap PPEPP. Ketika PPEPP tidak hanya dipahami sebagai siklus administratif, melainkan sebagai tools untuk kaizen, proses perbaikan berkelanjutan, maka standar tidak lagi terasa kaku. Ia menjadi inspirasi. Cerita tentang bagaimana evaluasi diri yang jujur melahirkan ide-ide inovatif, tentang bagaimana audit internal menemukan titik lemah yang berhasil diperbaiki, akan jauh lebih menggerakkan daripada sekadar instruksi untuk mengisi borang.
Baja juga: Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik
Dalam dunia mutu, PPEPP adalah instrumen yang dirancang untuk memastikan bahwa setiap langkah, dari penetapan hingga peningkatan, berjalan secara sistematis dan berkelanjutan. Namun, bagaimana mungkin PPEPP bisa efektif jika hanya dipahami sebagai kewajiban tahunan?
Di sinilah storytelling memainkan peran krusial. Melalui cerita, PPEPP dapat diangkat dari sekadar prosedur menjadi bagian dari identitas kolektif sebuah institusi.
Konsep kaizen, filosofi perbaikan berkelanjutan dari Jepang, menekankan pentingnya langkah-langkah kecil yang konsisten untuk menghasilkan perubahan besar. Namun, semangat kaizen tak akan hidup jika setiap pelakunya merasa terasing dari proses itu. Storytelling menjadi cara untuk merangkul semua elemen kampus, dari dosen hingga staf administrasi, agar merasa terlibat dalam perjalanan mutu. Cerita-cerita kecil tentang keberhasilan individu atau tim dalam menyelesaikan masalah mutu bisa menjadi penguat motivasi intrinsik, seperti yang dijelaskan dalam teori self-determination oleh Deci dan Ryan. Mereka menunjukkan bahwa motivasi tumbuh subur ketika individu merasa otonom, kompeten, dan terhubung—dan narasi adalah jembatan yang menghubungkan ketiga aspek ini.
Menyusun cerita tentang mutu bukan berarti mengarang bebas. Justru, cerita yang kuat lahir dari data yang akurat.
Namun, data saja tidak cukup. Agar pesan sampai ke hati, data harus disampaikan dalam alur yang membangun koneksi. Mulailah dengan menggambarkan tantangan atau masalah yang nyata, hadirkan data yang menunjukkan situasi tersebut, lalu kaitkan dengan nilai-nilai dan misi institusi. Terakhir, beri ruang untuk ajakan bertindak—sebuah panggilan yang menegaskan peran setiap individu dalam perbaikan berkelanjutan.
Cerita yang efektif tidak selalu heroik. Justru, cerita yang paling menyentuh sering kali sederhana: tentang seorang dosen yang mengubah metode mengajarnya setelah membaca hasil tracer study; tentang staf administrasi yang menciptakan sistem baru untuk memudahkan mahasiswa mengurus dokumen akademik. Cerita-cerita seperti ini membangun harapan, menunjukkan bahwa perubahan itu mungkin, dimulai dari langkah kecil, dan bisa dilakukan siapa saja.
Baca juga: Peran Dosen yang Berkembang: Mengajar, Membimbing, dan Menginspirasi
Budaya mutu yang kokoh tidak tumbuh dari aturan yang kaku atau borang yang diisi setengah hati. Ia lahir dari keyakinan bersama, dari rasa memiliki, dari pemahaman bahwa mutu adalah tanggung jawab kita semua. Di sinilah storytelling menjadi alat transformasi—mengubah data menjadi narasi, mengubah standar menjadi inspirasi.
SPMI sebagai sistem mutu berbasis regulasi nasional memberikan kerangka yang kuat, sementara PPEPP menjadi alat untuk menjalankan perbaikan berkelanjutan. Namun, tanpa cerita yang menyentuh hati, semua itu hanya akan menjadi rutinitas administratif.
Dengan menghidupkan standar melalui cerita (storytelling), kita tidak hanya membangun budaya mutu, kita membangun komunitas pembelajar yang bergerak bersama, terinspirasi, dan terus bertumbuh. Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi