
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Saat ini, kampus tak lagi hanya berarti gedung-gedung beton dengan ruang kelas dan papan tulis. Sejak pandemi COVID-19 memaksa migrasi besar-besaran ke ranah digital, pembelajaran daring telah menjadi bagian tetap dari lanskap pendidikan tinggi di Indonesia dan dunia. Namun perubahan bentuk ini membawa serta tantangan yang tak sedikit. Banyak mahasiswa merasakan kesepian, kebosanan, bahkan kehilangan semangat ketika perkuliahan berlangsung di balik layar monitor.
Maka muncullah pertanyaan besar bagi institusi pendidikan: bagaimana memastikan bahwa kampus virtual tetap mampu menumbuhkan motivasi nyata?
Jawabannya terletak pada inovasi dan kesadaran bahwa pembelajaran bukan hanya soal transfer informasi, tetapi juga pengalaman manusiawi yang utuh. Teori psikologi pendidikan dari Carl Rogers menekankan pentingnya student-centered learning, di mana hubungan emosional, empati, dan perasaan aman sangat berpengaruh terhadap keterlibatan belajar. Dalam konteks daring, tantangan ini makin kompleks karena interaksi sosial menjadi minim. Oleh karena itu, perguruan tinggi harus secara aktif merancang sistem dan strategi untuk menjaga agar api semangat belajar tetap menyala, bahkan dalam ruang-ruang digital.
Baca juga: Kuliah Online tapi Kesepian: Minim Interaksi Sosial?
Salah satu pendekatan yang mulai terbukti efektif dalam mendongkrak motivasi belajar mahasiswa daring adalah program mentoring virtual.
Alih-alih hanya mengandalkan dosen sebagai satu-satunya figur akademik, beberapa perguruan tinggi di Indonesia dan luar negeri mulai mengembangkan model peer mentoring—di mana mahasiswa senior membimbing mahasiswa baru, tidak hanya dalam aspek akademik, tetapi juga psikososial. Ini selaras dengan konsep social learning theory dari Albert Bandura, yang menyatakan bahwa manusia belajar melalui pengamatan dan interaksi dengan model sosial di sekitarnya.
Beberapa perguruan tinggi di Indonesia mulai mengembangkan model mentoring virtual dalam orientasi akademik mahasiswa baru, sebagai upaya meningkatkan keterlibatan dan adaptasi di era pembelajaran daring. Para mentor dilatih tidak hanya dalam hal materi, tetapi juga keterampilan komunikasi empatik dan pendampingan yang inklusif. Dampaknya terasa nyata: mahasiswa lebih cepat beradaptasi, lebih percaya diri, dan merasa tidak sendirian dalam menghadapi tantangan kuliah daring. Dengan bimbingan yang konsisten, motivasi pun tumbuh sebagai hasil dari relasi yang suportif dan bermakna.
Baca juga: Zoom di Kampus: Pembelajaran Digital yang Berdampak?
Tidak semua pembelajaran harus serius dalam bentuk yang kaku. Konsep game-based learning semakin populer karena mampu memadukan aspek kognitif dan afektif dalam satu paket yang menyenangkan.
Jean Piaget dalam teori perkembangan kognitifnya menyebut bahwa aktivitas belajar yang melibatkan eksplorasi dan problem solving mampu meningkatkan daya serap dan retensi. Dalam konteks dewasa muda, seperti mahasiswa, pendekatan ini tetap relevan terutama bila dikombinasikan dengan elemen tantangan dan penghargaan.
Beberapa kampus saat ini telah merancang LMS dengan fitur gamifikasi: mahasiswa mendapatkan “badge”, “level up”, dan bahkan leaderboard saat menyelesaikan tugas, mengikuti diskusi, atau aktif di forum. Alih-alih tugas terasa sebagai beban, mahasiswa merasakannya sebagai pencapaian. Efek psikologisnya signifikan: ada rasa kompetensi dan kontrol atas proses belajar mereka sendiri—dua faktor yang sangat ditekankan oleh teori self-determination dari Deci & Ryan (1985) dalam memicu motivasi intrinsik.
Baca juga: Diktisaintek Berdampak: Mimpi Baru Pendidikan Tinggi, Siapkah Kampus Kita?
Kehadiran komunitas belajar online bukan sekadar tambahan, melainkan kebutuhan esensial.
Dalam pendidikan tatap muka, interaksi sosial terjadi secara organik—di kantin, perpustakaan, atau sekadar mengobrol usai kelas. Dalam pembelajaran daring, ruang-ruang itu harus diciptakan secara sengaja. Komunitas digital yang kuat berfungsi sebagai social presence, yakni kehadiran sosial yang mengurangi rasa terasing dan meningkatkan rasa memiliki terhadap proses belajar, seperti dijelaskan oleh Garrison dalam Community of Inquiry Framework.
Beberapa universitas menciptakan “ruang nongkrong virtual” melalui Discord, Telegram, atau kanal LMS yang dikhususkan untuk diskusi non-akademik. Bahkan ada yang melibatkan alumni dan dosen dalam diskusi ringan tentang dunia kerja, tips beasiswa, hingga masalah keseharian. Aktivitas semacam ini memperkuat jaringan sosial antar mahasiswa dan menumbuhkan atmosfer belajar yang lebih hidup dan suportif. Ketika mahasiswa merasa menjadi bagian dari komunitas yang peduli, motivasi mereka untuk bertahan dan berkembang dalam sistem daring pun meningkat secara signifikan.
Baca juga: Storytelling: Agar Data SPMI Lebih Bermakna dan Menginspirasi
Untuk memastikan bahwa inovasi-inovasi pembelajaran tersebut berjalan tidak hanya sebagai eksperimen sesaat, perguruan tinggi perlu menempatkannya dalam kerangka penjaminan mutu yang terstruktur.
Di sinilah peran SPMI (Sistem Penjaminan Mutu Internal) menjadi sangat penting. Sesuai amanat Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, SPMI adalah sistem strategis yang memberi ruang bagi perguruan tinggi untuk mengembangkan inovasi mutu secara otonom dan adaptif. Dalam konteks pembelajaran daring, SPMI memungkinkan evaluasi yang menyeluruh terhadap pengalaman mahasiswa, dari aspek teknis, pedagogis, hingga psikososial.
Lebih dari sekadar sistem administratif, SPMI bekerja melalui pendekatan PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan). Ini bukan hanya siklus formal, melainkan tools kaizen—alat untuk perbaikan berkelanjutan. Misalnya, setelah menetapkan kebijakan mentoring daring, kampus bisa mengevaluasi dampaknya terhadap keterlibatan mahasiswa, mengendalikan konsistensi pelaksanaannya melalui standar layanan, lalu melakukan peningkatan berbasis masukan mahasiswa dan dosen. Dengan PPEPP, inovasi digital bukan sekadar tren, tapi menjadi budaya mutu yang terukur dan berkelanjutan.
Baca juga: Peran Dosen yang Berkembang: Mengajar, Membimbing, dan Menginspirasi
Di tengah derasnya arus digitalisasi pendidikan, motivasi belajar mahasiswa bukanlah hal yang bisa dianggap remeh. Teknologi boleh canggih, sistem boleh terpadu, tetapi jika mahasiswa kehilangan nyawa dalam proses belajar—yaitu rasa ingin tahu, keterlibatan, dan semangat—maka semua inovasi akan terasa hampa. Untungnya, berbagai perguruan tinggi mulai menunjukkan bahwa kampus virtual tidak harus dingin dan kering.
Dengan mentoring, gamifikasi, komunitas daring, dan sistem mutu seperti SPMI yang mengawal lewat PPEPP, pembelajaran online bisa tetap manusiawi dan menyenangkan.
Masa depan pendidikan bukan hanya soal digitalisasi, tapi tentang bagaimana teknologi digunakan untuk menyentuh sisi paling esensial dari proses belajar: keterhubungan antar manusia. Dan di sanalah, motivasi sejati mahasiswa akan tumbuh dan bertahan. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan