• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Kemalasan Sosial: Musuh Tersembunyi SPMI

SPMI dan Kemalasan Sosial

Kemalasan Sosial: Musuh Tersembunyi SPMI

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Bayangkan sebuah tim struktural di perguruan tinggi sedang mengerjakan tugas strategis untuk menyusun standar mutu SPMI. Dari luar, sepintas nampak anggota tim aktif berkontribusi. Namun, di balik rapat yang terlihat harmonis, ada anggota tim yang pasif, tidak memberikan kontribusi maksimal, ia berharap rekan-rekan lain akan menuntaskan sebagian besar pekerjaan. Fenomena seperti ini, dikenal dengan istilah kemalasan sosial (social loafing). Fenomena psikologi ini sering kali tidak terlihat di permukaan, namun dapat berdampak signifikan terhadap keberhasilan mutu pendidikan.

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah “tools” untuk menjamin dan meningkatkan mutu pendidikan secara terus-menerus (continuous improvement). Dengan mengoptimalkan siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar (PPEPP), perguruan tinggi diharapkan dapat membangun proses pendidikan yang memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan. Namun, potensi besar dari kerangka kerja PPEPP ini bisa terkikis jika tantangan dinamika kelompok seperti kemalasan sosial tidak bisa dikelola dengan baik.

Dalam buku psikologi berjudul Group Dynamics karya Donelson R. Forsyth diulas tentang fenomena kemalasan sosial (social loafing).

Fenomena ini sering muncul karena tanggung jawab dalam kelompok dibagi secara tidak jelas, sehingga individu merasa kontribusinya tidak penting atau tidak teridentifikasi. Dalam konteks SPMI, jika fenomena ini tidak diantisipasi, kemalasan sosial dapat menjadi ancaman besar bagi keberhasilan SPMI. Perguruan tinggi harus menyadari dan mengelola dinamika ini agar sistem mutu berjalan efektif dan efisien.

Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan

Penetapan Standar: Langkah Awal yang Rentan

Tahap penetapan standar SPMI (dalam PPEPP) adalah langkah krusial yang menentukan arah mutu pendidikan di perguruan tinggi. Namun, seperti yang disampaikan Forsyth, kemalasan sosial cenderung muncul ketika tanggung jawab yang diperlukan tidak dibagi dengan jelas. Jika standar mutu dirancang tanpa pembagian tugas yang spesifik, beberapa anggota tim mungkin mengambil sikap pasif (kemalasan sosial).

Untuk mengantisipasi persoalan ini, institusi harus memastikan bahwa setiap anggota tim memiliki peran (role) yang jelas dan target pekerjaan masing-masing harus dapat diukur dengan baik (measurable).

Baca juga: Teori 2 Faktor: Memadukan SPMI dengan Motivasi Intrinsik

Kolaborasi atau Beban Bersama?

Tahap pelaksanaan standar (dalam PPEPP) sering kali melibatkan berbagai unit di perguruan tinggi, mulai dari level universitas, fakultas hingga administrasi. Forsyth menjelaskan bahwa:

Dalam penerapan SPMI, fenomena ini dapat muncul jika unit-unit tidak memiliki sistem pelaporan yang jelas untuk menunjukkan kinerja mereka baik sebagai individu, maupun sebagai tim.

Forsyth berpendapat bahwa upaya peningkatan “norma kolektif” dan “kohesi kelompok” dapat membantu mengurangi kemalasan sosial. Untuk itu institusi harus mampu menciptakan budaya kerja di mana setiap unit memahami dampak langsung kontribusi mereka terhadap keberhasilan SPMI.

Sebagai contoh, sebuah institusi perguruan tinggi dapat menetapkan “norma kolektif” berupa kewajiban setiap unit untuk menyampaikan laporan capaian mutu secara transparan dalam forum bulanan yang melibatkan seluruh stakeholder internal. Dalam forum yang dibuat “bergengsi” ini, keberhasilan unit kerja akan diakui dan dijadikan motivasi bagi unit lain, menciptakan rasa saling mendukung yang memperkuat “kohesi kelompok”. Ketika karyawan merasa bahwa kontribusi mereka diakui, dihargai dan berdampak langsung pada pencapaian tujuan bersama, semangat kolektif ini secara efektif mengurangi kemalasan sosial dan meningkatkan komitmen terhadap pencapaian target-target SPMI.

Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI

Mengapa Evaluasi Sering Gagal?

Evaluasi pemenuhan standar SPMI, dapat dilakukan dalam berbagai cara misalnya melalui esessment, audit mutu internal maupun dengan monev. Terkait teori kemalasan sosial, difusi tanggung jawab dapat menyebabkan penurunan kinerja evaluasi. Bila anggota tim merasa bahwa tugas mereka hanya bagian kecil dari keseluruhan proses, bisa jadi mereka tidak memberikan upaya terbaik.

Salah satu solusi mengatasi hal ini, manajemen dapat menggunakan “sistem target” untuk mendorong individu yang terlibat menjadi aktif. Target yang jelas dan spesifik dapat mencegah kemalasan sosial dan meningkatkan motivasi kerja. Cara ini tidak hanya meningkatkan akuntabilitas namun memberi kontribusi nyata bagi perbaikan mutu.

Sebagai contoh, dalam kegiatan audit mutu internal (AMI) di sebuah perguruan tinggi, tim auditor dapat diberikan target spesifik yang sesuai dengan bidang atau unit yang mereka tangani, seperti mengevaluasi kurikulum, efektivitas pembelajaran, atau manajemen sarana prasarana. Hasil evaluasi masing-masing anggota harus disampaikan dalam laporan individu yang kemudian dipresentasikan dalam rapat tim auditor. Melalui cara ini, setiap auditor mengetahui bahwa kontribusi mereka tidak hanya dilihat oleh manajemen namun juga oleh rekan-rekan auditor lainnya. Pendekatan ini menciptakan rasa tanggung jawab personal sekaligus kolektif, mendorong mereka untuk memberikan prestasi terbaik dalam proses AMI.

Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits

Dari Pasif ke Proaktif

Pada tahap Pengendalian Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP), perguruan tinggi harus memastikan bahwa penyimpangan dari standar dapat segera diperbaiki melalui tindakan koreksi, korektif, dan preventif. Namun, seperti yang diuraikan dalam teori kemalasan sosial (social loafing), karyawan sering kali menghindari tanggung jawab jika mereka merasa tugas tersebut lebih cocok dilakukan oleh orang lain. Hal ini dapat memperlambat atau bahkan menggagalkan proses pengendalian pelaksanaan standar.

Menurut pendapat Forsyth, norma kelompok yang kuat dapat menjadi solusi untuk masalah ini. Institusi perlu membangun budaya “tanggung jawab kolektif” yang mendorong semua pihak untuk berperan aktif dalam proses pengendalian pelaksanaan standar. Dengan norma ini, setiap individu akan merasa memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa standar yang diterapkan tidak hanya dipatuhi tetapi juga terus diperbaiki seiring waktu. Budaya seperti ini menciptakan rasa saling percaya dan mendukung di antara anggota kelompok, sehingga secara efektif mampu mengurangi kecenderungan kemalasan sosial.

Tahap Peningkatan Standar (dalam PPEPP) merupakan langkah terakhir dalam siklus PPEPP. Tahap ini memerlukan pendekatan yang tidak hanya berorientasi pada kepatuhan tetapi juga inovasi. Untuk itu, institusi perlu menciptakan lingkungan yang memotivasi individu untuk berpikir kreatif dan inovatif. Dalam bukunya Group Dynamics, Forsyth menekankan bahwa inovasi dalam kelompok hanya dapat tercapai jika anggota tim merasa bahwa kontribusi mereka dihargai dan diakui.

Institusi dapat memfasilitasi hal ini dengan memberikan penghargaan terhadap ide-ide baru, mengadakan forum untuk mendiskusikan inovasi, dan menunjukkan bagaimana masukan individu diterjemahkan menjadi kebijakan yang lebih baik. Dengan langkah-langkah tersebut, tahap peningkatan standar tidak hanya menjadi kegiatan formalitas administratif belaka, tetapi juga berfungsi sebagai upaya strategis untuk membawa mutu pendidikan ke arah yang lebih baik.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

Penutup

SPMI adalah tools yang penting untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada bagaimana perguruan tinggi mampu mengelola “dinamika kelompok” yang terlibat dalam setiap tahap siklus PPEPP. Salah satu problem yang menonjol dalam dinamika kelompok adalah persoalan “kemalasan sosial”.

Sebagai penutup, semangat kerja sama dalam mengatasi kemalasan sosial sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya tanggung jawab kolektif. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Ma’idah: 2). Ayat ini mengingatkan bahwa setiap individu memiliki kewajiban untuk berkontribusi secara aktif dalam kebaikan bersama, termasuk dalam konteks peningkatan mutu pendidikan. Dengan menginternalisasi nilai-nilai ini, perguruan tinggi dapat membangun budaya kerja yang harmonis, bertanggung jawab, dan bermakna bagi segenap pemangku kepentingan. Stay Relevant!

Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Forsyth, D. R. (2018). Group dynamics (7th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

admin

MOTTO: Senantiasa bergerak dan berempati untuk menebar manfaat bagi Mutu Pendidikan di Indonesia