بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com
“Mutu kampus bukan urusan lembaga mutu doang. Kalau semua unit jalan bareng, SPMI hidup, akreditasi tinggal panen hasil.”
Kalau ada yang bilang urusan mutu kampus itu cuma tanggung jawab Lembaga Penjaminan Mutu (LPM), itu jelas salah kaprah. Mutu itu bukan kerjaan segelintir orang yang sibuk bikin dokumen mutu tebel-tebel, tapi kerja bareng semua unit. Akademik, administrasi, sampai layanan mahasiswa—semuanya punya peran. Masalahnya, di banyak kampus, akademik sama administrasi itu kayak dua dunia yang jarang banget akur. Akhirnya banyak ide bagus dari prodi mandek di meja birokrasi, sementara biro merasa udah kerja sesuai aturan. Yang rugi siapa? Ya mahasiswa, ya dosen, bahkan citra kampus itu sendiri.
Kalau ditarik ke teori, sebenernya udah ada jawabannya. Teori Sistem dari Ludwig von Bertalanffy misalnya, bilang organisasi itu kayak tubuh manusia, utuh jadi satu kesatuan. Coba bayangin kalau jantung kerja sendiri tanpa koordinasi sama otak—ya tamat. Sama juga di kampus: prodi butuh administrasi buat jalanin aktivitas, administrasi butuh akademik biar punya arah. Kalau dua-duanya nggak sinkron, mutu kampus jadi pingsan, sakit-sakitan.
Masalahnya, birokrasi kampus sering kelewat kaku. Teori kontingensi (Fiedler, Lawrence & Lorsch), mengingatkan kalau nggak ada resep manajemen yang cocok buat semua situasi, mesti lincah dan fleksibel. Prodi butuh alat lab buat praktikum bulan depan, tapi pengadaan baru bisa cair enam bulan lagi karena “SOP harus diikuti”. Ya jelas nggak relevan. Di sini keliatan kalau fleksibilitas itu kunci. Aturan memang penting, tapi kalau bikin kampus nggak bisa bergerak cepat, ya sama aja bunuh diri pelan-pelan. Kepuasan mahasiswa akan tergerus.
Sekarang coba ngomong soal mutu. Ada konsep Total Quality Management (TQM), yang intinya sederhana: mutu itu kerjaan semua orang (quality is everyone’s job), bukan bagian mutu doang. Kalau mutu cuma diserahkan ke satu lembaga, itu kayak nyuruh satpam sendirian ngejaga kampus. Padahal satpam nggak bisa jaga sendirian tanpa dukungan dosen, mahasiswa, pegawai, bahkan pimpinan. Semua harus waspada bareng, jaga keamanan bersama.
Robbins & Judge juga pernah bilang, banyak organisasi gagal karena silo—alias unit-unit kerja sibuk mikirin diri sendiri. Ego sektoral. Di kampus, prodi sibuk mikirin kurikulum, biro sibuk mikirin aturan, tapi visi besar kampus jalan di tempat, nggak kemana-mana. Padahal solusinya udah jelas: cross-functional teams. Artinya, kalau ada masalah, prodi, biro, dosen, mahasiswa, semua duduk bareng. Bukan saling lempar tanggung jawab, tapi cari solusi bareng.
Terus gimana caranya? SPMI (Sistem Penjaminan Mutu Internal) sebenarnya udah jadi kerangka kerja yang lumayan solid. Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 sampai Permendiktisaintek No. 39 Tahun 2025 udah mewajibkan semua kampus jalanin ini. Intinya, SPMI bukan cuma formalitas buat akreditasi, tapi sistem yang harus hidup di keseharian. Mulai dari SKL (Standar Kompetensi Lulusan), kurikulum, layanan mahasiswa, sampai standar pengelolaan, semuanya harus nyambung.
Pilar utama SPMI itu siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan. Kalau mau gampang, ini versi kampus dari filosofi Kaizen: perbaikan kecil tapi rutin. Nggak perlu nunggu lima tahun sekali pas akreditasi baru panik bongkar dokumen. Lebih sehat kalau tiap tahun, tiap semester, bahkan tiap bulan ada evaluasi kecil-kecilan. Buat gugus kendali mutu. Misalnya, survei kepuasan mahasiswa bukan cuma diarsip, tapi beneran ditindaklanjuti. Hasil evaluasi pengadaan alat bukan cuma laporan, tapi jadi dasar perbaikan prosedur biar lebih cepat.
Kampus yang udah jalanin ini biasanya nggak lagi panik pas akreditasi. Kenapa? Karena bukti udah ada, praktik udah jalan, tautan dokumen sudah tersedia, tinggal panen hasil. Dokumen akreditasi nggak perlu disusun ulang, cukup ambil dari laporan SPMI dn laporan unit kerja yang udah ada. Itu artinya, mutu internal langsung nyambung ke performa eksternal. Ini namanya terintegrasi.
Sekarang pertanyaannya: apa hikmah dari semua teori tadi? Pertama, teori sistem ngajarin kalau semua unit itu saling bergantung. Satu kesatuan yang utuh. Jadi stop mikir akademik bisa jalan sendiri, atau administrasi bisa hidup tanpa akademik. Kedua, teori kontingensi bikin kita sadar bahwa aturan perlu fleksibilitas. Jangan sampai SOP malah bikin kampus jadi kaku, nggak bisa adaptif. Ketiga, TQM ngasih pesan bahwa mutu itu tanggung jawab dan urusan semua orang. Kalau ada satu unit aja yang males gerak, sistem mutu pasti pincang.
Dari situ bisa ditarik beberapa saran inovasi. Kampus bisa bikin forum rutin lintas unit, bukan cuma rapat seremonial. Prodi, biro, dan unit layanan duduk bareng, ngobrol soal masalah nyata, cari solusi bareng. Terus, SOP bisa didesain ulang biar tetap taat aturan tapi nggak bunuh inovasi. Misalnya, bikin jalur cepat untuk kebutuhan akademik yang sifatnya mendesak. Dan jangan lupa, budaya mutu itu harus hidup. Caranya? Dengan ngajak semua orang merasa dihargai dan punya peran. Dosen merasa bahwa dokumen mutu bukan sekadar beban, biro merasa bahwa mendukung akademik itu bagian dari misi, dan mahasiswa dilibatkan sebagai stakeholder utama sekaligus evaluator.
Pada akhirnya, mutu kampus itu bukan sekadar nilai akreditasi, tapi soal bagaimana sistem di dalam bener-bener jalan. SPMI hadir bukan untuk jadi arsip di rak lemari, tapi mekanisme hidup yang bikin kampus selalu belajar. Kalau semua unit udah jalan bareng, akreditasi bukan lagi beban. Dan kalau ada yang masih mikir mutu itu urusan lembaga mutu doang (LPM), ya waktunya move on. Karena mutu itu kerja bareng—tanpa kecuali.
Stay Relevant!
Referensi
- Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
- Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2024). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
- Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
- Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Pearson/Prentice Hall.
- Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. (2025). Peraturan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Nomor 39 Tahun 2025 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Jakarta: Kemendiktisaintek.
Instagram: @mutupendidikan