بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com
“Lulusan siap kerja itu bukan kebetulan. Kuncinya ada di SKL yang hidup, bukan sekadar nempel di dokumen akreditasi.”
Setiap kampus pasti pede bilang kalau lulusannya unggul, top markotop. Brosur, media sosial, sampai pidato wisuda penuh dengan klaim “siap kerja”, “berdaya saing global”, dan jargon keren lainnya. Tapi realitanya baru kelihatan ketika lulusan itu beneran terjun ke lapangan. Ada yang langsung kepake kerja, ada yang bingung mau ngapain, bahkan ada juga yang keliatan pintar waktu kuliah tapi bingung pas diminta ngasih solusi di dunia nyata. Nah, di balik kualitas lulusan ini, ada satu hal penting yang sering kelewat: Standar Kompetensi Lulusan, alias SKL.
Masalahnya, banyak kampus masih nganggep SKL itu kayak lampiran wajib di dokumen SPMI (sistem penjaminan mutu internal) dan akreditasi. Disusun rapi, dicetak bagus, lalu disimpan di lemari arsip—tapi jarang banget dipikirin sebagai arah strategis. Padahal kalau mau jujur, SKL itu ibarat DNA. Dia yang nentuin karakter lulusan, bukan sekadar syarat administratif. Permendiktisaintek No. 39 Tahun 2025 juga udah menegaskan: SKL nggak boleh cuma nempel di kertas, tapi harus hidup, relevan, dan bahkan siap bersaing di dunia global.
Kalau ditarik ke teori pendidikan, ada tiga kacamata penting biar SKL nggak jadi jargon kosong. Pertama, Outcome-Based Education (OBE). Intinya simpel: jangan lagi fokus ke “dosen ngajarin apa”, tapi “mahasiswa bisa apa” setelah lulus. Kalau kampus masih sibuk mikirin materi kuliah tanpa nyambungin ke hasil akhirnya, ya wajar kalau lulusan kagok di dunia kerja. SKL harus ditulis sebagai hasil nyata: bisa komunikasi, bisa bikin solusi A,B dan C, bisa adaptasi, bukan sekadar “menguasai teori X”.
Kedua, ada Bloom’s Taxonomy. SKL yang bagus harus nyentuh tiga ranah sekaligus: otak, sikap, dan keterampilan. Lulusan bukan cuma tahu teori di kepala (kognisi), tapi juga punya integritas, bisa kerja tim (afeksi), dan punya skill praktis (psikomotorik). Kalau cuma pintar ngomong tapi nggak bisa kerja, ya percuma. Sebaliknya, kalau jago praktek tapi mentalnya lemah, ya gampang goyah. Jadi SKL harus bisa nge-blend ketiganya biar lulusannya utuh.
Ketiga, teori Experiential Learning ala Kolb. Belajar paling nempel itu lewat ngalamin langsung, paktik langsung. Itu kenapa regulasi baru ngasih ruang buat RPL (rekognisi pembelajaran lampau) dan micro-credential. Artinya pengalaman kerja, magang, ikut projek, sampai kursus online bisa diakui sebagai bagian dari SKL. Jadi mahasiswa nggak cuma “kuliah doang”, tapi beneran ditempa lewat pengalaman yang relevan.
Nah, dari tiga teori itu, kita bisa narik hikmah sekaligus bikin inovasi. Pertama, kampus harus mulai desain kurikulum berbasis portofolio. Jadi selain transkrip nilai, mahasiswa punya bukti nyata capaian: artikel ilmiah, prototype produk, karya inovatif, atau rekam jejak magang. Kedua, kegiatan di luar kelas jangan dianggap ekstra tapi masuk hitungan SKL. UKM, organisasi, sampai projek sosial bisa dihitung sebagai bagian dari karakter lulusan. Ketiga, penilaian jangan lagi dominan ujian tulis, tapi lebih ke performance task: presentasi solusi, kerja tim, pameran karya, atau pitch ide.
Kalau mau lebih maju, kampus juga bisa bikin kurikulum modular. Jadi mahasiswa bisa ngambil mata kuliah lintas prodi atau sertifikasi tambahan biar SKL mereka makin relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Dan jangan lupa, semua ini harus dibungkus dalam standar SPMI yang hidup. Evaluasi rutin, audit mutu, dan siklus PPEPP jadi pengingat terus-menerus supaya SKL nggak mandek, ada proses perbaikan terus menerus (kaizen)
Apakah gampang? Jelas nggak gampang. Banyak kampus pasti akan bilang ini rumit, nambah beban administrasi. Tapi sebenarnya kalau dipikir, justru lebih simpel. Kalau SKL benar-benar dijalankan lewat SPMI, akreditasi jadi jauh lebih ringan. Bukti udah ada, praktik sudah jalan, tinggal panen hasil.
Pada akhirnya, rahasia kampus unggul bukan ada di seberapa mewah gedungnya atau seberapa banyak prodi yang dipunya. Rahasianya ada di seberapa serius kampus itu ngerjain SKL. Kalau SKL cuma copy-paste dari kampus lain, hasilnya juga standar-standar aja. Tapi kalau SKL lahir dari visi, misi, dan mimpi kampus sendiri, dia bisa jadi kompas yang bikin lulusannya beda dari yang lain.
Karena mutu pendidikan bukan diukur dari apa yang diklaim di brosur, tapi dari siapa yang dilahirkan. Dan SKL adalah janji dan komitmen kampus pada masyarakat: “Ini loh, tipe lulusan yang kami hasilkan.” Jadi wajar kalau regulasi baru minta SKL benar-benar hidup. Karena kalau SKL itu efektif, lulusannya pun akan punya karakter yang hidup—siap kerja, siap berkarya, dan siap bersaing di dunia yang terus berubah.
Stay Relevant!
Instagram: @mutupendidikan