SPMI dan curhat stakeholder

SPMI Itu Bukan Arsip, Tapi Sistem yang Harus Bisa Dengerin Curhat

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com

“SPMI jangan cuma jadi arsip akreditasi. Ia harus hidup, siap dengerin curhat stakeholder, dan bikin kampus beneran mau berubah.”

Kadang kampus itu suka terlalu sibuk sama urusan kertas dan rapat sampai lupa sama hal yang paling sederhana: berempati dan mendengarkan. Semua sibuk bikin dokumen visi misi, strategi jangka panjang, indikator kinerja, dan laporan setebal bantal. Tapi pernah nggak berhenti sejenak dan mikir, “Eh, sebenarnya mahasiswa kita gimana sih rasanya kuliah di sini?” atau “Dosen kita betah nggak dengan sistem yang ribet ini?” Banyak perguruan tinggi yang akhirnya hidup di ruang gema, cuma denger suara sendiri, padahal stakeholder di luar sana sudah teriak-teriak minta didengar.

Lucunya, konsep “feedback” itu kan udah lama banget jadi teori dasar di organisasi. Robbins dan Judge sampai bilang, organisasi yang rajin nyerap umpan balik biasanya lebih unggul, lincah dan adaptif. Jadi kalau kampus merasa stuck, ya jangan-jangan karena jarang dengerin orang lain. Mahasiswa, dosen, alumni, tenaga kependidikan, sampai mitra industri itu kan bukan sekadar pelengkap brosur akreditasi. Mereka cermin hidup. Kadang nyebelin sih, karena mereka jujur banget. Tapi justru dari sana kelihatan wajah asli kita, wajah kampus kita, bukan versi editan buat pamer.

Masalahnya, banyak institusi ngerasa udah benar, sudah “menerima masukan”, padahal prakteknya cuma sebatas nyebar survei tahunan. Alat kuesionernya juga monoton, tiap tahun sama. Udah gitu, hasilnya diarsipkan rapi, ditaruh di lemari besi, selesai. Stakeholder cuma jadi responden pasif, bukan mitra. Padahal survei itu baru pintu masuk. Yang bikin umpan balik itu hidup dan berdampak ya tindak lanjutnya. Kalau mahasiswa ngeluh soal sistem perkuliahan daring yang sering error, tapi kampus cuek, ya sama aja bohong. Itu kayak temen curhat yang cuma dijawab “oh gitu ya, baiklah” tanpa pernah ngasih solusi.

Permendiktisaintek Nomor 39 Tahun 2025 sebenarnya udah nyodorin clue jelas banget. Regulasi ini mendorong perguruan tinggi untuk memastikan Sistem Penjaminan Mutu Internal alias SPMI bukan cuma formalitas buat akreditasi. Intinya, SPMI harus jadi tools yang relevan dengan kebutuhan nyata stakeholder. Jadi kalau ada mahasiswa yang bilang kurikulum terlalu teoritis, monoton dan nggak nyambung ke dunia kerja, itu bukan sekadar keluhan. Itu sinyal yang harus masuk ke siklus PPEPP: penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan peningkatan. Dengan begitu, SPMI nggak mati suri, bukan jadi arsip saja, tapi beneran jadi mekanisme refleksi.

Coba bayangin kayak gini: ada alumni yang cerita kalau di dunia kerja sekarang butuh skill analisis big data, tapi kampusnya masih sibuk ngajarin teori-teori doang. Kalau SPMI jalan, cerita alumni itu langsung masuk ke forum evaluasi kurikulum. Dosen diajak diskusi, industri dilibatkan, mahasiswa dikasih ruang diskusi dan tanya jawab. Akhirnya lahirlah mata kuliah baru atau project based learning yang lebih nyambung ke lapangan. Itu baru namanya kampus keren, yang berani belajar dari stakeholder, bukan jalan sendiri kayak superhero kesepian.

SPMI yang sehat itu ibarat “telinga besar” yang selalu siap dengerin curhat. Nggak cuma mendengar, tapi juga merespons. Jadi ketika mahasiswa bilang “Pak, kelas daring sering error,” responsnya bukan “ya sudah sabar aja” tapi “oke siap, kita upgrade sistem, kita dokumentasikan, masuk ke catatan evaluasi.” Dari situ nanti ada pengendalian, lalu peningkatan isi standar SPMI. Jadi siklus PPEPP bukan teori di atas kertas, tapi jalan hidup sehari-hari.

Kampus yang cuek sama suara stakeholder itu ibarat orang sombong yang menolak bercermin. Merasa wajahnya sudah oke padahal ada noda besar di pipi. Stakeholder itu memang kadang bawel suka komplain, tapi bawelnya sering menyelamatkan. Dalam filosofi kaizen, perbaikan itu bukan nunggu krisis, tapi kebiasaan kecil yang terus-menerus. Dan kebiasaan itu salah satunya ya rajin dengerin orang lain. Jangan tunggu mahasiswa demo, bakar-bakar baru gerak.

Memang benar, melibatkan stakeholder itu capek. Butuh waktu, energi, dan kadang bikin keputusan jadi ribet. Tapi justru di situ letak kekuatannya. Keputusan yang lahir dari dialog biasanya lebih legit, lebih diterima, dan lebih tahan banting. Kalau cuma dari ruang rapat pimpinan, biasanya cepat tapi rapuh. Hari ini diputuskan opsi A, besok dihantam kritik publik langsung goyah.

Regulasi baru, sebenarnya bikin semua jadi makin jelas. Permendiktisaintek 39/2025 mewajibkan kampus untuk nggak berhenti di dokumen. Ada tuntutan nyata supaya SPMI jadi sistem yang responsif. Jadi kalau kampus masih senang nyimpan survei di laci, itu artinya bukan cuma ketinggalan zaman, tapi juga melanggar regulasi dn melanggar prinsip mutu. Bahasa gampangnya: jangan nunggu ditegur dulu baru berubah.

Ujung-ujungnya, semua balik lagi ke mindset. Apakah kampus mau hidup dalam ruang gema, merasa semua fine-fine saja? Atau mau buka jendela, biarin angin segar kritik masuk, meskipun bikin agak dingin dan nggak nyaman? SPMI itu alat, tapi yang bikin hidup atau mati itu komitmen orang-orang pelaksananya.

Jadi kalau ada yang masih mikir SPMI itu sekadar formalitas atau arsip buat akreditasi, mungkin sudah saatnya ubah cara pandang. SPMI itu harusnya kayak telinga yang sensitif, kayak sahabat yang siap nerima curhat, dan kayak catatan harian yang dipakai buat belajar dari kesalahan. Mutu kampus nggak dibangun di balik tumpukan dokumen tebal, tapi hasil dialog jujur dengan mereka yang kita layani. Dan percakapan itu nggak boleh berhenti di narasi dan wacana. Harus ada aksi nyata, harus ada perubahan, harus ada perbaikan. Karena pada akhirnya, kampus yang benar-benar maju adalah kampus yang tahu cara mendengar, bukan yang paling keras bicara. Stay Relevant!



Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Scroll to Top