• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Saatnya AMI Bergerak: Dari Koreksi ke Preventif

Budaya Mutu, SPMI dan Sikap Kerja

Saatnya AMI Bergerak: Dari Koreksi ke Preventif

Pendahuluan

Audit Mutu Internal (AMI) di perguruan tinggi telah menjadi instrumen penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas pendidikan. Melalui AMI, institusi akan dapat mencari peluang-peluang untuk melakukan perbaikan secara berkelanjutan (kaizen).

Namun, dalam praktiknya, dibeberapa perguruan tinggi, diduga AMI seringkali masih terjebak pada budaya “koreksi” semata, yakni perbaikan hanya sebatas pada “simtom” atau gejala saja.

Akibatnya, siklus kesalahan akan berulang, masalah yang sama akan ditemukan lagi pada saat kegiatan AMI berikutnya.

Sehingga ada ungkapan: “Lu lagi…lu lagi, itu lagi…itu lagi”. Masalah yang berulang muncul saat AMI dilakukan.

Hal ini terjadi karena tindakan koreksi yang dilakukan, sering bersifat sementara dan tidak disertai perubahan substansi dalam sistem. Ibarat menyapu lantai yang kotor, lalu dimasukkan ke bawah karpet.

Ungkapan “menyapu lantai yang kotor, lalu dimasukkan ke bawah karpet” mengandung makna metaforis bahwa individu berusaha menutupi atau menyembunyikan masalah, tidak berusaha menyelesaikan secara tuntas.

Dalam konteks organisasi, hal ini bisa merujuk pada praktik di mana sebuah masalah diatasi hanya secara “kosmetik”, tanpa tindakan yang substansi untuk memperbaikinya.

Institusi ingin terlihat baik dari luar, namun mengabaikan masalah-masalah mendasar yang memerlukan perhatian serius.

Akibatnya, masalah tersebut berpotensi muncul kembali, berulang dan terus berulang, mungkin dalam skala yang semakin besar.

Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), terutama dalam kerangka PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar), menuntut pendekatan yang lebih menyeluruh (holistik).

SPMI yang ideal bukan hanya bertujuan untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi, namun mencegah terjadinya kesalahan serupa di masa yang akan datang.

Budaya Koreksi: Mengapa Masih Dominan?

Masih kuatnya budaya koreksi, seringkali disebabkan oleh faktor internal perguruan tinggi.

Tekanan untuk memenuhi persyaratan akreditasi dan regulasi eksternal yang mendorong institusi fokus pada “perbaikan cepat” dan instan terhadap temuan-temuan audit.

Tim auditor dan unit yang diaudit cenderung “kompak” lebih mengutamakan penyelesaian langsung dibandingkan upaya untuk mencegah terulangnya masalah di masa depan.

“Habit” ini semakin mengakar ketika sistem penjaminan mutu internal hanya memprioritaskan hasil-hasil yang sifatnya jangka pendek.

Ungkapan “Quality is not an act, it is a habit” berarti mutu bukanlah sesuatu yang dilakukan sesekali atau secara spontan (act), melainkan merupakan hasil dari tindakan konsisten dan berulang (habit) yang dilakukan secara terus-menerus.

Mutu bukanlah hasil dari satu tindakan saja, namun terbentuk melalui kebiasaan yang baik, kerja keras, kerja cerdas dan disiplin yang dilakukan secara berkesinambungan.

Dengan kata lain, untuk mencapai mutu pendidikan, individu atau institusi harus menjadikan “best practice” (praktik terbaik) sebagai bagian integral dari keseharian mereka.

Perguruan tinggi lebih fokus pada pengisian laporan audit dan pemenuhan target administratif, daripada pengembangan sistem yang lebih adaptif dan mampu mengidentifikasi potensi risiko sejak dini.

Akibatnya, langkah-langkah preventif menjadi terabaikan, dan masalah-masalah yang sama kerap muncul di siklus audit berikutnya.

Dari Koreksi ke Korektif ke Preventif

SPMI yang ideal mengharuskan adanya keseimbangan antara tindakan koreksi, korektif, dan preventif. Ketiganya saling melengkapi dan memastikan bahwa sistem mutu di perguruan tinggi terus berkembang.

Namun, untuk mencapai keseimbangan ini, AMI harus berfokus pada aspek-aspek yang lebih mendasar (subtansial) dari sistem penjaminan mutu internal, terutama pada fase pengendalian dan peningkatan.

Pendekatan preventif dalam AMI tidak hanya bertujuan untuk memperbaiki kesalahan yang telah terjadi, tetapi juga mengidentifikasi potensi risiko (manajemen resiko) yang mungkin muncul dan mengambil langkah-langkah untuk mencegahnya.

Ini membutuhkan perubahan pola pikir, pola sikap dan cara kerja yang lebih proaktif serta integrasi yang lebih baik antara proses PPEPP dalam SPMI.

Berikut adalah beberapa langkah penting dalam menggerakkan AMI dari tindakan koreksii, korektif ke preventif:

  • Identifikasi Risiko: Perguruan tinggi perlu memperkuat fase evaluasi dan pengendalian dalam PPEPP, dengan melakukan identifikasi risiko secara sistematis. Risiko-risiko yang muncul dari kebijakan, proses, atau sumber daya harus diidentifikasi dan dipetakan sejak dini untuk mencegah kegagalan di masa yang akan datang.
  • Perbaikan Proses, Bukan Hanya Hasil: AMI harus mampu berfokus pada perbaikan proses, bukan hanya melihat hasil (output). Ini berarti bahwa audit harus mencakup analisis mendalam tentang bagaimana sebuah kesalahan terjadi, mengapa hal itu bisa terjadi, dan bagaimana memperbaiki sistem agar kesalahan serupa tidak muncul lagi.
  • Pengembangan Sumber Daya Manusia: Budaya pencegahan (preventif) dalam AMI harus didukung oleh pengembangan sumber daya manusia yang memadai. Tim audit dan seluruh staf perguruan tinggi harus dilatih untuk memahami pentingnya tindakan preventif dan mampu mempebaiki dalam pekerjaan sehari-hari.
  • Penggunaan Data dan Teknologi: Teknologi & analisis data harus dioptimalkan untuk memprediksi potensi masalah dan mengevaluasi kinerja secara “real-time”. Dengan memanfaatkan data-data yang akurat, perguruan tinggi dapat lebih cepat mengidentifikasi tanda-tanda awal dari kemungkinan masalah dan mengambil tindakan preventif sebelum masalah menjadi besar.
  • Penguatan Budaya Mutu: Transformasi AMI ke arah preventif hanya akan berhasil jika budaya kualitas di seluruh perguruan tinggi dikuatkan. Setiap individu dalam perguruan tinggi harus memiliki tanggung jawab terhadap kualitas, bukan hanya tim audit atau unit penjaminan mutu.

Budaya Preventif

Sejalan dengan penguatan SPMI, perguruan tinggi memiliki peran penting dalam menggerakkan perubahan. Perubahan dari budaya hanya koreksi saja, menjadi budaya korektif dan preventif.

Institusi pendidikan tinggi harus melihat AMI sebagai alat (tools) strategis yang tidak hanya memperbaiki kesalahan tetapi juga mencari nilai tambah untuk membangun masa depan yang lebih baik.

Ini berarti bahwa perguruan tinggi harus berani keluar dari “zona nyaman”, di mana audit hanya digunakan untuk kegiatan formalitas dan menutupi masalah jangka pendek.

Audit mutu internal harus mampu bertransformasi dan mampu memprioritaskan upaya pencegahan yang lebih menyeluruh (holistik).

Dengan mendorong budaya pencegahan (preventif), AMI menjadi lebih dari sekadar instrumen administratif. AMI menjadi bagian integral dari pengembangan sistem penjaminan mutu internal yang berkelanjutan dan mendukung pencapaian target standar pendidikan yang lebih luas.

Penutup

Audit Mutu Internal (AMI) yang bertransformasi dari tindakan koreksi ke korektif, korektif ke preventif adalah kunci penguatan SPMI di perguruan tinggi.

Dengan membangun budaya yang lebih proaktif, AMI bukan hanya mengatasi masalah yang sudah terjadi saja, AMI dapat dikembangkan menjadi motor penggerak “kaizen”.

Perguruan tinggi harus keluar dari siklus koreksi semata dan mulai membangun sistem yang lebih responsif, adaptif, dan inovatif, demi menjaga mutu pendidikan yang terus berkembang.

Saatnya AMI bergerak maju, dari sekadar koreksi, menjadi korektif, selanjutnya menuju budaya pencegahan, untuk masa depan pendidikan tinggi yang lebih baik. Stay Relevant!


Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, tim konsultan mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

admin

MOTTO: Senantiasa bergerak dan berempati untuk menebar manfaat bagi Mutu Pendidikan di Indonesia

    ×

    Layanan Informasi

    × Hubungi Kami