
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Peningkatan mutu pendidikan tinggi merupakan prioritas strategis dalam menghadapi tantangan globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan. Berdasarkan Permendikbudristek 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, perguruan tinggi dituntut untuk menjalankan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) secara efektif untuk bidang akademik dan non akademik. Untuk bidang akademik, ditujukan untuk memastikan seluruh aspek Tridharma Perguruan Tinggi—pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat—berjalan sesuai standar yang ditetapkan. Sedangkan untuk bidang non akademik, meliputi penguatan mutu pada organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan, dan sarana prasarana.
Melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar), SPMI tidak hanya menjadi alat formalitas administratif, namun secara “substansi” ditujukan untuk pendorong transformasi institusi menuju keberlanjutan mutu.
Namun, fakta di lapangan, implementasi SPMI tidak semudah membalik telapak tangan. Justru sering kali menghadapi tantangan “leadership dan manajerial” yang kompleks. Dalam konteks ini, teori kepemimpinan dan manajerial yang disampaikan oleh Henry Mintzberg dalam The Nature of Managerial Work memberikan perspektif yang menarik. 10 peran manajer yang dikembangkan oleh Mitzberg, dapat menjadi acuan praktis dalam memperkuat efektivitas SPMI di perguruan tinggi.
Baca juga: Bagaimana Teori X dan Y Membentuk Masa Depan SPMI
Henry Mintzberg mengelompokkan pekerjaan manajerial ke dalam tiga kategori, yakni: peran interpersonal, peran informasional, dan peran pengambilan keputusan. 3 (tiga) peran ini menjelaskan bagaimana seorang manajer berinteraksi, berkomunikasi, dan mengambil keputusan (decision making).
Dalam konteks pendidikan tinggi, ketiga kategori peran ini sangat relevan untuk mengelola “kompleksitas” operasional perguruan tinggi, termasuk tantangan strategis yang dihadapi oleh perguruan tinggi, khususnya dalam penguatan SPMI.
Pada peran hubungan antar manusia (interpersonal), pimpinan (manajemen) perguruan tinggi bertindak sebagai pemimpin (leader), simbol organisasi (figurehead), dan penghubung (liaison) antara berbagai stakeholder yang ada. Peran (role) ini penting untuk membantu memastikan komitmen terhadap standar SPMI di semua level (aras) institusi.
Kategori ke dua adalah peran informasional. Peran ini memungkinkan pimpinan perguruan tinggi untuk mengumpulkan data (monitor), menganalisis informasi, dan menyebarkannya data (disseminator) kepada pihak yang membutuhkan. Peran informasional juga melingkup sebagai juru bicara (spokesperson) untuk memberi motivasi dalam pelaksanaan PPEPP.
Kategori yang ke tiga adalah peran pengambilan keputusan (decisional). Peran ini menjadi inti penting dalam pengelolaan SPMI. Pimpinan harus mampu bertindak sebagai inovator dalam tahap penetapan dan peningkatan standar SPMI, penyelesaikan masalah pada tahap evaluasi pemenuhan dan pengendalian pelaksanaan standar, serta pengelola sumber daya yang strategis pada tahap pelaksanaan standar SPMI. Dengan integrasi tiga peran ke dalam siklus PPEPP, perguruan tinggi diharapkan dapat menjalankan SPMI secara lebih fokus, terarah dan adaptif.
Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI
Pada “tahap penetapan standar SPMI” (dalam PPEPP), perguruan tinggi memerlukan pimpinan yang dapat berperan sebagai figurehead (tokoh) untuk memberikan semangat dan legitimasi formal dalam menetapkan visi dan misi organisasi. Peran sebagai tokoh yang kharismatik bertujuan memastikan bahwa standar yang dirancang sesuai dengan visi misi perguruan tinggi dan kebutuhan stakeholder. Peran figurehead diperkuat dengan peran leader, di mana pemimpin harus mampu menginspirasi sivitas akademika untuk mendukung dan mengimplementasikan kebijakan SPMI yang telah ditetapkan. Kepemimpinan yang visioner dan paham manajemen mutu, sangat penting untuk menciptakan landasan yang kuat bagi implementasi SPMI.
Baca juga: Integrasi PPEPP dan Goal Setting: Terobosan dalam Penguatan SPMI
Dalam “tahap pelaksanaan standar SPMI” (dalam PPEPP), peran pimpinan sebagai liaison menjadi sangat diperlukan. Peran ini untuk membangun network (hubungan) kerja sama yang solid dan terintegrasi, baik di internal maupun di luar institusi. Pimpinan seperti rektor, ketua atau direktur beserta jajaran manajemen lainnya harus mampu memastikan bahwa seluruh elemen organisasi aktif terlibat dalam pelaksanaan standar SPMI. Selain itu, dalam tahap pelaksanaan standar, peran sebagai resource allocator (alokasi sumber daya) menjadi sangat diperlukan. Pimpinan harus mampu mengelola sumber daya secara strategis, termasuk alokasi SDM, anggaran, dan infrastruktur, guna mencapai tujuan secara efektif dan efisien.
“Tahap evaluasi pemenuhan standar SPMI” (dalam PPEPP) membutuhkan ketelitian dalam mengumpulkan dan menganalisis data. Dalam tahap ini, walau 10 peran dari Mitzberg tetap diperlukan, peran monitor merupakan peran yang sangat diperlukan. Peran monitor membantu pimpinan untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan SPMI dengan baik. Manajemen perlu mengidentifikasi kesenjangan (gap), serta mengevaluasi kesesuaian antara implementasi dan standar SPMI yang telah ditetapkan. Informasi yang diperoleh dari proses ini, baik dari monev, assessment atau audit mutu internal, kemudian disampaikan (disosialisasikan) kepada seluruh pihak yang relevan melalui peran disseminator, sehingga hasil evaluasi dapat dipahami dan digunakan untuk tindakan korektif dan preventif.
Ketika terjadi penyimpangan (ketidaksesuaian/ KTS) dalam pelaksanaan standar SPMI, pimpinan harus aktif untuk melakukan perbaikan. Peran manajer sebagai disturbance handler, menjadi sangat diperlukan. Peran ini digunakan untuk menangani hambatan, masalah dan konflik yang muncul. “Ketangkasan” dalam peran ini memungkinkan “tahap pengendalian pelaksanaan standar SPMI” dilakukan dengan efektif, cepat dan tepat, sehingga “dampak negatif” dapat dihindari. Pimpinan perguruan tinggi (manajemen) harus memiliki kemampuan untuk mengatasi berbagai hambatan, baik yang bersifat teknis maupun strategis, demi menjaga konsistensi pelaksanaan standar SPMI.
Tahap terakhir, yaitu “tahap peningkatan standar SPMI“. Tahap ini tentu saja menuntut inovasi berkelanjutan dari manajemen (pimpinan). Peran pimpinan sebagai entrepreneur menjadi sangat diperlukan. Peran ini memberikan perspektif bagi pimpinan untuk mencari peluang baru (inovasi) yang dapat meningkatkan mutu institusi. Penting sekali untuk meninjau ulang “mission differentiation” perguruan tinggi. Peran entrepreneur, sangat diperlukan untuk membangun “misi unik dan positioning” perguruan tinggi. Contoh, inovasi untuk adopsi teknologi pembelajaran terbaru, pengembangan kurikulum yang relevan terhadap kebutuhan zaman, serta membangun kerja sama global yang strategis.
Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?
Henry Mintzberg menegaskan bahwa peran manajerial bersifat dinamis dan multidimensi, sebuah peran yang sangat relevan dalam implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Pimpinan perguruan tinggi harus mampu mengintegrasikan 10 peran manajerial secara simultan dan fleksibel untuk keberhasilan SPMI (siklus PPEPP).
Kemampuan (ability) ini menjadi kunci penting dalam menjawab tantangan kompleks SPMI yang muncul. Berbagai tantangan selalu hadir silih berganti baik dari eksternal maupun internal, seperti perubahan regulasi, tuntutan mahasiswa yang semakin beragam, serta tuntutan daya saing di tingkat global.
Keberhasilan implementasi siklus PPEPP “sangat bergantung” dari kemampuan pimpinan untuk mengadaptasi dinamika internal dan eksternal institusi perguruan tinggi. Contoh, dalam menghadapi perubahan regulasi, pimpinan harus mampu mengoptimalkan peran sebagai disseminator untuk menyampaikan (sosialisasi) kebijakan baru kepada seluruh civitas akademika secara efektif. Demikian pula peran disturbance handler, peran ini menjadi krusial saat perguruan tinggi harus menyelesaikan konflik atau hambatan yang muncul secara tidak terduga.
Dengan pendekatan yang komprehensif (holistik), pengelolaan SPMI dapat menjadi lebih relevan tidak sekadar proses formalitas-administratif belaka. Pengelolaan SPMI yang unggul memerlukan budaya mutu yang kuat yang melekat di setiap perilaku anggota organisasi. Integrasi 10 peran Mintzberg ke dalam siklus PPEPP tidak hanya memperkuat landasan manajemen, namun juga mendorong transformasi menuju institusi yang unggul dalam arti yang sebenarnya.z
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) melalui integrasi 10 peran manajer Henry Mintzberg menawarkan pendekatan yang menyeluruh dan strategis.
Dengan mengoptimalkan 10 peran Mitzberg dalam siklus PPEPP, perguruan tinggi dapat memastikan pelaksanaan yang tidak hanya terpaku pada prosedur formalitas administratif, namun juga berorientasi pada pencapaian hasil yang nyata.
Perguruan tinggi yang mampu mengadopsi ide kreatif (wawasan) dari Mintzberg, InsyaAllah akan lebih siap menghadapi tantangan masa depan. 10 Peran manajerial diatas dapat memperkuat daya saing institusi, dan berkontribusi pada peningkatan mutu pendidikan di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Dengan mengedepankan manajemen yang dinamis (multi dimensi), SPMI (siklus PPEPP) dapat menjadi katalisator transformasi, membangun budaya mutu yang terintegrasi dalam setiap aspek Tridharma Perguruan Tinggi.
Sebagai penutup, ayat suci Al-Qur’an menekankan pentingnya upaya dan kerja keras untuk membangun masa depan yang lebih baik:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11).
Ayat ini menegaskan bahwa perubahan yang positif memerlukan usaha dan tindakan nyata dari manusia, sejalan dengan esensi penguatan SPMI yang melibatkan peran aktif pimpinan dalam membangun budaya mutu yang unggul dan berkelanjutan. Stay Relevant!
Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan