
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Dalam banyak institusi, terutama di perguruan tinggi, mutu sering dipahami sebagai serangkaian prosedur administratif seperti pengisian borang akreditasi, audit internal, dan laporan tahunan. Namun, persepsi semacam ini hanya menjadikan mutu sebagai kepatuhan pasif terhadap regulasi, bukan sebagai budaya organisasi yang mendorong peningkatan nyata menuju layanan excellence.
Pendekatan kepemimpinan transformasional, yang diperkenalkan oleh James MacGregor Burns (1978) dan dikembangkan lebih lanjut oleh Bass & Avolio (1994), menawarkan cara pandang yang lebih efektif dalam membangun sistem mutu. Pemimpin transformasional tidak hanya memastikan kepatuhan terhadap standar (compliance), tetapi juga “menginspirasi” perubahan, “menanamkan visi” mutu dalam organisasi, serta mendorong seluruh civitas akademika untuk terlibat dalam peningkatan berkelanjutan.
Baca juga: SPMI di Era AI: Apakah Gaya Kepemimpinan Anda Siap Beradaptasi?
Pemimpin transformasional adalah “role model“ dalam organisasi. Dalam konteks Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), pemimpin harus menunjukkan komitmen kuat terhadap mutu, baik dalam kebijakan strategis maupun dalam praktik sehari-hari.
Jika seorang rektor atau dekan hanya melihat mutu sebagai beban administratif yang harus diurus oleh LPM, maka staf dan dosen akan “meniru”, memiliki pola pikir yang sama.
Sebaliknya, jika pemimpin secara aktif terlibat dalam peningkatan mutu akademik, penelitian, dan pelayanan kepada mahasiswa, maka mutu akan menjadi prioritas di seluruh institusi. Kepemimpinan transformasional menuntut pemimpin untuk menjadi “contoh nyata” (walk the talk) dalam penerapan budaya mutu, bukan hanya sekadar mengawasi implementasi prosedur administrasi.
Pemimpin transformasional tidak hanya bekerja dengan angka dan dokumen, tetapi menginspirasi perubahan dengan visi yang jelas. Dalam konteks SPMI pendidikan, visi ini bisa berupa menjadi kampus unggulan, meningkatkan relevansi lulusan dengan industri, atau membangun sistem pembelajaran yang inovatif.
Ketika pemimpin mampu mengkomunikasikan visi ini dengan penuh semangat dan keyakinan, maka seluruh anggota organisasi akan merasa termotivasi dan terlibat dalam proses peningkatan standar SPMI. Sebaliknya, jika mutu hanya dipahami sebagai tugas administratif, maka akan sulit untuk membangun antusiasme dan motivasi dalam implementasinya.
Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI
ISO 9001:2008 sebelumnya mewajibkan organisasi memiliki Management Representative (MR) yang bertanggung jawab terhadap sistem mutu. Namun, pada ISO 9001:2015, persyaratan ini dihapus. Mengapa?
Alasan utama perubahan ini adalah untuk memastikan bahwa tanggung jawab mutu tidak hanya berada di tangan segelintir orang atau satu unit (seperti LPM), tetapi menjadi bagian dari kepemimpinan organisasi secara keseluruhan. Dengan kata lain, ISO 9001:2015 menuntut penerapan kepemimpinan transformasional dalam sistem mutu, di mana pimpinan tertinggi harus terlibat secara langsung dalam membangun, mengarahkan, dan mengevaluasi sistem mutu di organisasi mereka.
Dalam konteks pendidikan tinggi, ini berarti SPMI bukan hanya tugas LPM, tetapi tanggung jawab rektor, dekan, kepala program studi, dosen, dan seluruh tenaga kependidikan.
Jika institusi hanya mengandalkan satu unit untuk mengelola SPMI tanpa keterlibatan pimpinan, maka sistem mutu tidak akan berjalan efektif dan hanya menjadi formalitas.
Baca juga: SPMI dan Teori Kepemimpinan Manajerial Grid
Tidak dapat disangkal bahwa administrasi yang kuat sangat penting dalam sistem mutu. Standar akreditasi, regulasi pemerintah, dan evaluasi internal tetap dibutuhkan untuk memastikan bahwa perguruan tinggi berjalan sesuai aturan. Namun:
Administrasi yang baik tidak akan berdampak besar jika tidak didukung oleh kepemimpinan yang mampu mendorong inovasi dan perbaikan berkelanjutan.
Misalnya, banyak perguruan tinggi telah menerapkan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) berdasarkan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti). Namun, dalam praktiknya, sering kali implementasi ini tidak benar-benar meningkatkan mutu pembelajaran karena hanya dijalankan sebagai prosedur administratif. Tanpa kepemimpinan yang aktif dalam penerapan dan evaluasi, sistem ini hanya akan berjalan sebagai rutinitas tanpa dampak nyata terhadap mutu akademik dan non akademik.
Agar mutu tidak hanya menjadi urusan administratif, berikut beberapa tips strategi berdasarkan kepemimpinan transformasional yang dapat diterapkan dalam SPMI perguruan tinggi:
Dengan menerapkan strategi ini, sistem mutu tidak hanya akan berjalan sebagai kepatuhan administratif, tetapi benar-benar menciptakan lingkungan akademik yang unggul, inovatif, dan kompetitif.
Baca juga: SPMI dan Teori Kepemimpinan Edwin Ghiselli
Kesalahan terbesar dalam SPMI adalah menganggapnya sebagai pekerjaan administratif semata. Padahal, mutu adalah hasil dari kepemimpinan yang mampu menginspirasi, memberdayakan, dan mendorong perubahan berkelanjutan.
Pelajaran dari ISO 9001:2015 menunjukkan bahwa mutu tidak bisa hanya diserahkan kepada satu unit seperti LPM / UPM / PJM, tetapi harus menjadi bagian dari strategi kepemimpinan organisasi. Dengan mengadopsi kepemimpinan transformasional, institusi pendidikan dapat membangun SPMI yang tidak hanya sekadar patuh terhadap regulasi, tetapi juga menghasilkan perubahan nyata dalam mutu layanan akademik dan non akademik. Stay Relevant!
“Mutu bukanlah dokumen, bukan hanya laporan. Mutu adalah kepemimpinan yang menggerakkan organisasi menuju keunggulan“
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi