
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Mutu perguruan tinggi tidak hanya ditentukan oleh visi besar rektorat atau kekuatan lembaga penjaminan mutu (Unit LPM), tetapi juga sangat bergantung pada kualitas pengelolaan di tingkat paling operasional: program studi. Prodi adalah titik temu langsung antara institusi dan mahasiswa, tempat dimana tridharma perguruan tinggi diimplementasikan secara nyata.
Sayangnya, banyak perguruan tinggi masih menghadapi masalah ketimpangan kapasitas tata kelola antarunit, terutama antara pusat (rektorat) dan unit-unit akademik bawah seperti prodi atau jurusan.
Ketimpangan ini sering kali muncul karena standar pengelolaan hanya dikuatkan di tingkat institusi, sementara prodi berjalan tanpa panduan yang cukup atau sumber daya yang memadai. Dalam Fundamentals of Management (Griffin, 2022), ditegaskan bahwa efektivitas organisasi bergantung pada konsistensi fungsi manajemen di seluruh bagian, tidak hanya di tingkat atas. Jika satu bagian lemah, maka keseluruhan sistem terganggu.
Menurut Griffin (2022), dalam perspektif sistem, organisasi terdiri dari sejumlah subsistem yang saling bergantung. Ketika satu bagian terganggu, maka bagian lain akan terdampak, dan keseluruhan kinerja organisasi dapat menurun.
Hal inilah yang menjadikan pemerataan standar pengelolaan sebagai isu yang sangat strategis dalam pengembangan mutu pendidikan tinggi.
Di banyak perguruan tinggi, standar pengelolaan kerap dipahami sebagai domain rektorat atau lembaga mutu saja. Padahal, jika ingin sistem mutu berjalan efektif dan merata, prodi sebagai ujung tombak pelaksana harus memiliki kapasitas yang sama kuatnya. Prodi tidak hanya perlu menjalankan proses belajar mengajar, tetapi juga harus memiliki kemampuan dalam perencanaan, evaluasi, dokumentasi, hingga pelaporan kinerja secara sistematis. Ketika hal-hal ini tidak diperkuat, standar mutu hanya berhenti sebagai narasi di tingkat pusat.
Dari perspektif perilaku organisasi, hal ini mencerminkan asymmetry of control—ketimpangan kekuasaan dan informasi antarunit yang menyebabkan distorsi dalam implementasi kebijakan. Robbins dan Judge (2024) menyatakan bahwa organisasi dengan distribusi kendali yang tidak seimbang cenderung mengalami demotivasi di level bawah dan over-centralization di level atas.
Prodi yang tidak dilibatkan atau tidak dikuatkan dalam sistem mutu akan merasa sistem tersebut bukan milik mereka. Inilah yang kemudian membuat standar pengelolaan tidak berjalan secara organik di semua lini.
Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 mendorong perguruan tinggi untuk mengembangkan SPMI yang kontekstual dan relevan dengan karakteristik unit-unit di dalamnya.
Ini berarti, SPMI (Sistem Penjaminan Mutu Internal) tidak boleh hanya menjadi dokumen pusat, tetapi harus hidup di setiap prodi.
Setiap unit, sekecil apapun, berhak dan wajib memiliki standar, indikator, serta mekanisme evaluasi yang selaras dengan sistem mutu institusi, namun tetap kontekstual dengan dinamika unit tersebut.
SPMI yang baik memungkinkan standar pengelolaan diterjemahkan menjadi pedoman kerja yang aplikatif bagi prodi. Misalnya, standar terkait pembelajaran, beban kerja dosen, layanan akademik, atau pelaporan capaian mahasiswa harus dijabarkan dalam bentuk SOP dan indikator yang dapat dilaksanakan di tingkat operasional. Ketika prodi punya otoritas dan pemahaman dalam merancang dan mengelola standar tersebut, maka siklus mutu akan berjalan lebih solid dan menyeluruh.
Salah satu kekuatan utama dari sistem SPMI adalah adanya siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan. Siklus ini menjadi dasar bagi praktik manajemen mutu yang berorientasi pada kaizen, atau perbaikan berkelanjutan. Namun agar PPEPP bisa dijalankan secara efektif, setiap unit harus memiliki kapasitas yang setara dalam memahami dan melaksanakan fungsi-fungsi di dalam siklus tersebut. Jika hanya lembaga mutu yang menjalankan PPEPP, maka sistem akan timpang dan tidak dapat berkembang secara menyeluruh.
Prodi yang mampu melakukan evaluasi internal, mengendalikan prosesnya, serta melakukan peningkatan berdasarkan data dan refleksi, adalah prodi yang menjadi bagian aktif dari sistem mutu.
Ini tidak terjadi secara otomatis, melainkan harus dibangun melalui pelatihan, pendampingan, dan pembagian peran yang jelas. Ketika semua unit memahami PPEPP dan menjalankannya sebagai bagian dari keseharian kerja, maka organisasi akan tumbuh sebagai entitas pembelajar—yang belajar dari setiap langkah, bukan hanya dari pusat ke bawah (top – down), tetapi juga dari bawah ke atas (bottom – up).
Standar pengelolaan yang tidak merata adalah titik lemah yang bisa menghambat pertumbuhan mutu perguruan tinggi. Tanpa penguatan kapasitas di level prodi, standar yang disusun di pusat akan sulit membumi dan tidak berdampak nyata. Prodi bukan hanya pelaksana teknis, tetapi aktor utama dalam pencapaian mutu tridharma.
SPMI memberi peluang bagi semua unit untuk menjadi bagian dari sistem mutu yang hidup, dan PPEPP adalah alat yang memungkinkan perbaikan terus-menerus jika dijalankan bersama, bukan sendiri-sendiri.
Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah prodi mampu terlibat dalam pengelolaan mutu, melainkan apakah institusi sudah memberi ruang dan dukungan agar keterlibatan itu benar-benar terjadi. Karena mutu bukan hanya dibangun oleh pusat, tapi oleh seluruh unit—serempak dan setara. Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi