بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Korupsi selalu menjadi ancaman laten yang tak hanya merugikan keuangan negara (PTN) atau Badan Penyelenggara (PTS), namun juga mencederai sistem mutu pendidikan tinggi. Dalam konteks Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), korupsi dapat menghancurkan landasan utama yang dibangun di atas prinsip transparansi, akuntabilitas dan perbaikan berkelanjutan. SPMI disusun untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi memberikan layanan bermutu untuk segenap pemangku kepentingan, namun bila tidak waspada, perilaku korupsi dapat menghancurkan prinsip-prinsip SPMI yang telah dibangun.
Penyimpangan seperti gratifikasi dalam proses PMB, korupsi waktu, penggelapan dana, nepotisme dalam rekrutmen, hingga manipulasi laporan kinerja menjadi contoh nyata yang mengancam keberhasilan SPMI.
Lebih dari sekadar pelanggaran hukum, korupsi di institusi perguruan tinggi adalah pengkhianatan terhadap komitmen SPMI untuk menyediakan pendidikan yang bermutu.
Perguruan tinggi sepatutnya harus mulai melihat ancaman ini sebagai “musuh besar” yang harus diberantas demi menjaga marwah, kredibilitas dan integritas SPMI.
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Langkah terpenting untuk mencegah perilaku korupsi adalah membangun budaya integritas di seluruh aras (level) institusi pendidikan.
Integritas harus diupayakan untuk menjadi nilai inti yang tertanam dalam setiap kebijakan, keputusan, dan tindakan. Hal ini tentu saja tidak mudah, harus dimulai dengan memberi contoh (teladan) dari level pimpinan. Ketika pimpinan (role model) mencontohkan komitmen terhadap transparansi, hal itu tentu akan menciptakan efek domino positif, bergulir di seluruh level organisasi.
Pimpinan perguruan tinggi juga wajib menginternalisasi nilai-nilai integritas dalam setiap proses pengambilan keputusan. Contoh, dalam pengelolaan dana dan rekrutmen staf akademik, proses harus dilakukan terbuka dan tranparan mengikut prosedur yang telah dibakukan. Proses ini harus dilengkapi dengan mekanisme pengendalian yang melibatkan pihak independen, seperti auditor atau satuan pengawas internal (SPI). Dengan pendekatan ini, budaya integritas tidak hanya menjadi slogan yang ada di banner, poster atau spanduk, namun telah menjadi prinsip yang terinternalisasi dalam budaya organisasi.
Baca juga: Permendikbudristek 53/2023: Mengapa ‘Budaya Mutu’ Harus Jadi Fokus Utama?
Pengawasan (control) yang efektif merupakan elemen penting dalam mencegah praktik korupsi.
Perguruan tinggi harus memiliki tim audit mutu internal (AMI) yang kritis, independen dan berdaya guna. Audit mutu internal tidak hanya berfungsi sebagai alat evaluasi, namun juga sebagai sistem peringatan dini (early warning system) untuk mendeteksi risiko dan potensi penyimpangan sebelum menjadi masalah besar.
Selain audit, penggunaan teknologi (IT) dalam pengawasan juga dapat meningkatkan transparansi. Sistem digital untuk pelaporan dan pengelolaan data memungkinkan semua pihak yang berkepentingan untuk monitoring kinerja SPMI secara real-time (waktu nyata). Dengan akses terbuka terhadap informasi yang relevan, peluang untuk melakukan penyimpangan akan dapat dihindari, dan kepercayaan terhadap SPMI akan dapat meningkat.
Baca juga: SPMI Tanpa Knowledge Management? Jurang Kegagalan!
Kesadaran (awareness) akan bahaya korupsi harus terus diingatkan di kalangan sivitas akademika.
Program workshop, pendidikan dan pelatihan di kampus-kampus juga dapat meningkatkan pemahaman staf dan mahasiswa tentang dampak buruk korupsi. Program ini juga bisa mencakup berbagai media seperti ceramah, video, atau simulasi (kasus nyata) untuk menunjukkan bagaimana korupsi mampu merusak sistem dan membahayakan reputasi perguruan tinggi.
Program pendidikan dan pelatihan juga harus mampu untuk melatih keterampilan tertentu seperti laporan dugaan penyimpangan melalui saluran yang aman. Sistem whistleblowing (pengungkapan pelanggaran) dan pelaporan anonim tidak hanya melindungi pelapor, namun juga menjadi salah satu metode efektif untuk mengidentifikasi pelanggaran yang mungkin terjadi.
Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI
Sebagai penutup, SPMI bukan sekadar alat administratif, namun wujud komitmen perguruan tinggi untuk meningkatkan mutu pendidikan secara berkelanjutan.
Setiap bentuk perilaku korupsi yang menodai SPMI akan mengikis kepercayaan (trust) publik terhadap institusi. Oleh sebab itu, menjaga integritas SPMI berarti menjaga reputasi, marwah dan masa depan perguruan tinggi.
Dengan tindakan preventif (pencegahan) yang konsisten dan komprehensif, institusi akan dapat memastikan bahwa SPMI berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Institusi yang mampu menjaga kejujuran dan akuntabilitas implementasi SPMI Insya Allah akan mencetak lulusan bermutu yang siap bersaing di tingkat internasional. Oleh karena itu jangan biarkan perilaku korupsi menghancurkan misi perguruan tinggi yang mulia ini. Stay Relevant!
Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi adalah langkah penting untuk menjaga relevansi mutu pendidikan tinggi. Siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) didesain untuk memastikan proses yang berkesinambungan dalam peningkatan mutu (kaizen). Akan tetapi, sebagaimana disampaikan Christopher Booker dalam buku Groupthink: A Study in Self Delusion, dinamika kelompok yang disfungsional, atau groupthink, sering menjadi “penghambat tersembunyi” dalam proses pengambilan keputusan.
Groupthink (pemikiran kelompok) adalah kondisi di mana kelompok lebih mengutamakan harmoni internal dibandingkan dengan mempertanyakan keputusan secara kritis.
Dalam konteks SPMI, tim gugus kendali mutu (GKM) atau pimpinan dikhawatirkan terlalu fokus pada mencapai kesepakatan / kekompakan, sehingga mengabaikan fakta-fakta atau data yang bertentangan. Hal ini menciptakan suasana yang tampaknya menyenangkan dan solid, namun sebenarnya rapuh karena kurangnya evaluasi kritis.
Booker berpendapat, ketika kelompok kerja terjebak dalam pola pikir yang sama, mereka cenderung mengabaikan pandangan kritis dan merasionalisasi keputusan-keputusan yang keliru. Dalam situasi ini, ide-ide yang berbeda yang seharusnya menjadi masukan berharga sering kali diabaikan. Akibatnya, evaluasi cenderung formalitas saja, tanpa perbaikan-perbaikan yang substansial.
Keputusan dalam kondisi groupthink, bukan hanya kurang efektif, namun berisiko memperburuk masalah yang ada. Oleh sebab itu, untuk memastikan keberhasilan SPMI, penting bagi perguruan tinggi untuk waspada fenomena groupthink dan mendorong keterbukaan terhadap perbedaan pendapat (budaya kritis).
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Salah satu dampak dari groupthink, terciptanya “harmoni palsu” dalam kelompok. Dalam konteks SPMI, harmoni semacam ini sering muncul ketika evaluasi mutu (monev atau audit mutu) dilakukan tanpa benar-benar mengidentifikasi akar permasalahan. Unit kerja mungkin hanya mencari bukti yang mendukung bahwa standar telah terpenuhi, tanpa mempertanyakan apakah bukti-bukti tersebut mencerminkan fakta di lapangan.
Ketika “harmoni palsu” dijadikan tameng untuk menjaga citra kekompakan, kritik, dan gagasan yang tak nyaman disingkirkan. Dalam situasi ini, evaluasi dan pengendalian kehilangan makna, membuat siklus PPEPP tak lebih dari formalitas tanpa substansi.
Kelompok yang terjebak dalam pola pikir “harmoni palsu” kehilangan kemampuan untuk melihat situasi dari sudut pandang lain, sulit untuk berpikir out of the box. Dalam bukunya, Booker memberikan contoh bagaimana decision yang diambil tanpa mempertimbangkan pandangan alternatif sering kali gagal menghasilkan solusi yang baik. Hal ini menghambat upaya perbaikan yang seharusnya menjadi intisari dari implemenasi SPMI.
Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier
Untuk mencegah munculnya groupthink dalam SPMI, institusi harus membangun budaya yang mendorong refleksi kritis dan menghargai perbedaan pendapat. Unit kerja dapat menghindari jebakan “harmoni palsu” bila mereka siap menghadapi fakta yang tidak sesuai dengan harapan pribadi.
Dalam siklus PPEPP, keberanian untuk “mencari akar masalah” menjadi kunci di setiap tahap, dari penetapan, pelaksanaan hingga peningkatan standar.
Ada beberapa ide untuk mencegah munculnya groupthink. Institusi dapat melibatkan pihak eksternal (seperti konsultan atau auditor eksternal) sebagai langkah praktis untuk memberikan perspektif yang objektif. Pandangan kritis dari pihak eksternal membantu memecahkan bias kelompok dan memastikan evaluasi didasarkan pada data yang relevan dan obyektif, bukan sekedar hasil konsensus internal.
Solusi lain, penting bagi unit kerja untuk memiliki pemahaman mendalam (literasi) tentang prinsip-prinsip SPMI. Ketrampilan menggunakan data dan keberanian menyampaikan pandangan yang berbeda dapat mendorong proses pengambilan keputusan yang lebih obyektif. Dengan langkah-langkah ini, SPMI tidak hanya sekedar menjadi prosedur administratif, namun alat strategis untuk menubuhkan perubahan nyata dalam organisasi.
Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?
Christopher Booker juga menyoroti bahwa groupthink sering terjadi pada organisasi dengan pola kepemimpinan yang terlalu dominan (otokratis). Dalam pelaksanaan SPMI, risiko ini muncul ketika pimpinan perguruan tinggi terlalu mendikte arah evaluasi dan pengendalian, sehingga anggota kelompok merasa enggan untuk menyuarakan ide dan pendapat yang berbeda. Akibatnya, dinamika kelompok menjadi terhambat, proses PPEPP selanjutnya hanya menjadi formalitas belaka, yang tidak menghasilkan peningkatan substansial.
Pada tahap peningkatan (dalam PPEPP), dinamika kelompok yang sehat menjadi sangat penting. Peningkatan standar SPMI memerlukan keberanian untuk mengambil keputusan berdasarkan fakta-fakta yang mungkin tidak populer.
Jika tim atau unit kerja tidak memiliki ruang untuk menyampaikan gagasan kritis, maka keputusan yang diambil cenderung hanya mempertahankan status quo saja.
Misalnya keputusan untuk peningkatan target dan indikator standar, gaya kepemimpinan partisipatif mungkin menjadi lebih relevan dengan mendorong unit kerja untuk siap menerima tantangan baru. Ancaman groupthink dapat dicegah dengan komunikasi 2 arah untuk menetapkan target dan strategi baru sesuai dengan prinsip MBO (management by objective).
Baca juga: Integrasi Konsep McKinsey 7S untuk Penguatan SPMI
Buku menarik Groupthink: A Study in Self Delusion, menegaskan bahwa groupthink adalah cerminan kegagalan produktifitas kelompok demi menyeimbangkan kebutuhan sosial dengan evaluasi kritis. Dalam konteks SPMI, ini menjadi pelajaran berharga bahwa “harmoni palsu” dapat menjadi musuh nyata yang merusak esensi penguatan SPMI. Tanpa keberanian untuk mengungkapkan fakta dan kebenaran, siklus PPEPP hanya akan menjadi formalitas-administratif belaka, yang kehilangan potensinya untuk mendorong perbaikan yang berkelanjutan (kaizen).
Untuk mencapai pendidikan tinggi yang bermutu, perguruan tinggi harus berani membangun budaya refleksi kritis yang mendorong keberagaman pandangan. Mencegah groupthink tidak hanya soal keberanian menyuarakan perbedaan, namun juga penting menciptakan SPMI yang kondusif, dan kepemimpinan yang inklusif. Dengan gagasan ini, SPMI dapat menjadi alat transformasi yang benar-benar strategis, dan bukan sekadar pemenuhan regulasi-formalitas belaka.
George Bernard Shaw seorang penulis dan dramawan pernah mengatakan, “Kemajuan tidak mungkin tanpa perubahan, dan mereka yang tidak dapat mengubah pikiran mereka tidak dapat mengubah apa pun.”
Demikian juga Pendidikan tinggi, membutuhkan keberanian untuk berubah, dimulai dari saat ini dengan keberanian berpikir berbeda. Stay Relevant!
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Ketika mengkaji mutu pendidikan tinggi, sering kali kita mendengar terminologi seperti kebijakan, standar, evaluasi, dan akreditasi. Namun, ada satu konsep fundamental yang sangat penting yaitu: budaya mutu.
Namun sangat disayangkan, dalam Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 Tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, istilah “budaya mutu” tidak muncul secara eksplisit.
Penulis tergerak untuk bertanya: Mengapa hal ini terjadi? Padahal, budaya mutu (quality culture) adalah inti dari keberlanjutan peningkatan kualitas pendidikan tinggi (kaizen).
Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 Pasal 68, memang menekankan pentingnya siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar), namun tanpa menyebut budaya mutu, kita kehilangan kesempatan untuk menanamkan prinsip bahwa budaya mutu harus menjadi DNA dari seluruh elemen sendi-sendi perguruan tinggi. Budaya mutu lebih dari sekadar prosedural; ini adalah ruh nilai-nilai (values) yang menggerakkan sivitas akademika dalam organisasi untuk secara sadar bekerja keras meningkatkan mutu pendidikan. Bila istilah budaya mutu tidak ditegaskan, penulis khawatir perguruan tinggi cenderung melihat penjaminan mutu hanya sebagai tugas administratif belaka, bukan sebagai misi transformatif.
Baca juga: Evaluasi Permendikbudristek 53/2023: Kecepatan versus Akuntabilitas
Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, khususnya Pasal 69 ayat (1) huruf b, mengamanatkan perguruan tinggi untuk mengintegrasikan implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) ke dalam manajemen perguruan tinggi. Ini adalah langkah sangat penting, namun tantangan besar masih menghadang. Banyak institusi perguruan tinggi yang melihat SPMI sebagai tanggung jawab terpisah, terbatas pada unit tertentu (unit LPM), tanpa integrasi ke dalam struktur organisasi secara holistik.
Sudah kita maklumi bersama, integrasi SPMI dengan manajemen perguruan tinggi adalah kunci penting untuk membangun budaya mutu yang berkelanjutan. SPMI harus menjadi satu kesatuan, bagian dari proses pengambilan keputusan, perencanaan strategis, hingga pengelolaan sumber daya manusia.
Tanpa integrasi ini, SPMI hanya akan menjadi sekumpulan dokumen formalitas yang tidak memiliki makna apa-apa. Sebaliknya, bila SPMI mampu diintegrasikan secara strategis, ia akan menjadi tool strategis untuk mencapai tujuan institusi dengan mendorong kolaborasi, kreatifitas, dan komitmen kolektif terhadap mutu pendidikan.
Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI
Melalui Surat Edaran Nomor 15 Tahun 2024, Menteri mengundang pemangku kepentingan untuk memberikan masukan, saran dan pertimbangan atas evaluasi Permendikbudristek No. 53/2023. Sebagai bagian dari pemangku kepentingan, penulis merespon Surat Edaran tersebut, dengan mengusulkan agar diksi “budaya mutu” dimunculkan secara eksplisit dalam revisi mendatang. Regulasi ini memiliki potensi penting untuk mendorong transformasi pendidikan tinggi. Apabila diksi budaya mutu tidak secara eksplisit muncul sebagai inti dari Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi (SPM Dikti) dikhawatirkan tidak menjadi fokus perhatian. Tanpa pengakuan ini, upaya penguatan SPMI berpotensi kehilangan arah, dan terjebak dalam formalitas yang dangkal.
Sekali lagi, revisi regulasi dianjurkan mencakup pernyataan eksplisit bahwa tujuan akhir dari SPMI adalah membangun budaya mutu (pola pikir, pola sikap dan pola perilaku) yang kuat di setiap perguruan tinggi.
Dengan cara ini, regulasi akan memberi fokus dan arahan yang jelas bahwa mutu bukan hanya tentang kepatuhan terhadap standar, namun juga tentang perubahan paradigma (mindset) dan perilaku. Institusi perguruan tinggi dengan budaya mutu yang unggul tidak hanya fokus pada hasil akreditasi, namun juga pada dampak keberlanjutan terhadap kepuasan mahasiswa, masyarakat, dan bangsa.
Baca juga: Pola Pikir, Sikap, dan Perilaku: Pilar Utama Budaya Mutu SPMI
Kehadiran budaya mutu di perguruan tinggi Insya Allah akan membawa perubahan paradigma yang besar. Perguruan tinggi tidak lagi mengejar angka-angka akreditasi semata, namun menjadikan budaya mutu sebagai prinsip (habit) kerja sehari-hari. Budaya mutu berarti segenap pimpinan, dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi pada mutu, tidak hanya dalam tugas formal pekerjaan, namun juga dalam perilaku dan nilai-nilai keseharian, hal ini sesuai dengan kutipan dari seorang pakar mutu bernama Edwards Deming “quality is everyone’s responsibility”.
Saat perguruan tinggi mengadopsi tuntutan regulasi budaya mutu, mereka akan berusaha membangun ekosistem yang mendukung siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar) menuju inovasi, pembelajaran berkelanjutan, dan kolaborasi.
Ini adalah paradigma yang sangat urgen untuk menghadapi tantangan globalisasi dan perkembangan teknologi (era BANI). Dengan regulasi yang tepat, budaya mutu akan menjadi tulang punggung pendidikan tinggi yang benar-benar kompetitif di tingkat nasional dan internasional.
Sesungguhnya pendidikan tinggi di Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar standar dan akreditasi. Pendidikan tinggi memerlukan panduan dan nilai-nilai yang membimbing perjalanan institusi menuju mutu pendidikan yang relevan. Budaya mutu adalah jawaban cerdas atas tuntutan ini, karena pada dasarnya mutu dibangun untuk mencapai kepuasan (customer satisfaction) untuk segenap pemangku kepentingan.
Dengan mencantumkan istilah “budaya mutu” secara eksplisit dalam regulasi, pemerintah tidak hanya memberikan arahan, namun juga menanamkan semangat kolektif untuk membangun masa depan yang lebih cerah bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 merupakan regulasi penting dalam sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Regulasi ini bertujuan baik yakni mendorong terwujudnya perguruan tinggi yang adaptif, inklusif, dan bermutu melalui penerapan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI).
Namun sejak regulasi sebelumnya yakni Permenristekdikti No, 62 tahun 2016, menurut pendapat penulis, ada ketentuan yang berisiko dan berdampak pada kecepatan pengambilan keputusan.
Kebutuhan akan kecepatan pengambilan keputusan (speed) adalah hal penting dalam implementasi SPMI, khususnya dalam menghadap era BANI (Brittle, Anxious, Non- linear, Incomprehensible) yang menuntut perguruan tinggi untuk terus berinovasi dalam upaya mencapai keunggulan kompetitif. Kebutuhan ini akan terhambat bila birokrasi dan mekanisme koordinasi dengan pemangku kepentingan internal, tidak ditata secara fleksibel, terutama dalam kaitan kerja sama dengan Senat dan Badan Penyelenggara (yayasan).
Tantangan ini semakin berat karena pemangku kepentingan internal belum tentu memiliki pemahaman yang komprensif terhadap kompleksitas SPMI. Pimpinan perguruan tinggi di satu sisi dihadapkan pada tuntutan tata kelola yang cepat dan adaptif, di sisi lain tetap harus menjaga terwujudnya asas akuntabilitas. Dalam konteks ini, evaluasi terhadap Permendikbudristek No. 53/2023 menjadi penting untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya mengedepankan asas akuntabilitas, namun regulasi ini juga mampu memberi ruang untuk tindakan responsif cepat dalam kondisi mendesak.
Baca juga: Inovasi Penjaminan Mutu: Masukan Untuk Evaluasi Permendikbudristek No. 53/2023
Kecepatan (speed) adalah elemen krusial dalam implementasi SPMI untuk merespons kebutuhan operasional perguruan tinggi, seperti akreditasi, adaptasi kurikulum, dan pelaporan data.
Tantangannya, kecepatan ini sering kali berbenturan dengan prosedur koordinasi yang memerlukan masukan Senat dan persetujuan Badan Penyelenggara (untuk PTS), sehingga memperlambat pengambilan keputusan.
Di sisi lain, asas akuntabilitas tetap menjadi landasan tata kelola yang baik. Perguruan tinggi harus mempertahankan transparansi dalam setiap kebijakan mutu untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil didasarkan pada data dan masukan yang valid. Oleh karena itu, diperlukan revisi kebijakan yang mampu menyeimbangkan kedua pilar ini (kecepatan dan akuntabilitas) tanpa mengorbankan salah satunya.
Baca juga: Lima Prinsip SPMI: Fondasi Kokoh Menuju Keunggulan Institusi
Pasal 69 ayat (2) dari Permendikbudristek No. 53/2023 saat ini mewajibkan pemimpin perguruan tinggi untuk menetapkan SPMI setelah mendapat masukan Senat dan persetujuan Badan Penyelenggara atau Yayasan (untuk PTS). Sementara itu, tuntutan pengelolaan SPMI sering kali bersifat dinamis, memerlukan tindakan responsif yang cepat untuk menangkap peluang-peluang yang ada. Hal tersebut akan sulit dicapai bila adaptasi SPMI harus selalu berkoordinasi dengan Senat dan Badan Penyelenggara.
Terkait kebijakan diatas, menurut pendapat penulis, diperlukan revisi terhadap Pasal 69 ayat (2) dengan menekankan pentingnya fleksibilitas dalam kondisi mendesak tanpa mengurangi asas akuntabilitas.
Pemimpin perguruan tinggi menetapkan SPMI setelah:
Revisi ini memberi ruang fleksibilitas yang diperlukan institusi untuk mengambil tindakan cepat tanpa mengesampingkan akuntabilitas. Pelaporan wajib dalam jangka waktu tertentu memastikan bahwa kebijakan sementara tetap terpantau dan dapat disesuaikan bila diperlukan revisi ulang.
Baca juga: Kemalasan Sosial: Musuh Tersembunyi SPMI
Mekanisme evaluasi tahunan merupakan siklus manajemen yang perlu dikembangkan. Evaluasi SPMI tahunan menjadi solusi penting untuk menyelaraskan kebutuhan kecepatan dan kebutuhan koordinasi dengan Pemangku Kepentingan.
Evaluasi tahunan berfungsi sebagai forum untuk mengumpulkan masukan dari Senat dan Badan Penyelenggara (yayasan) dan juga berfungsi untuk memastikan siklus SPMI berjalan sesuai dengan kerangka PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan).
Selain manfaat diatas, evaluasi tahunan juga memberikan peluang untuk mengintegrasikan data pada Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD-Dikti). Dengan menggunakan data yang akurat, pengambilan keputusan dapat menjadi lebih relevan, sehingga meningkatkan mutu kebijakan yang diambil.
Baca juga: SPMI Berbasis Pengetahuan: Aset Utama Perguruan Tinggi
Penggunaan persetujuan elektronik adalah solusi strategis untuk mengatasi tantangan koordinasi yang cenderung lambat.
Dengan digitalisasi, proses persetujuan dapat dilakukan secara daring tanpa perlu mengadakan pertemuan fisik, dengan cara ini tentu menghemat waktu dan sumber daya.
Persetujuan elektronik juga berdampak pada meningkatkan transparansi. Setiap persetujuan atau penolakan dapat tersimpan dan terdokumentasi dengan baik. Hal ini mendorong mekanisme akuntabilitas yang lebih kuat, meskipun dalam situasi yang menuntuk kecepatan dan fleksibilitas yang tinggi.
Revisi Pasal 69 ayat (2) dengan pendekatan yang lebih fleksibel dan responsif akan memberikan dampak positif bagi keberlanjutan mutu pendidikan di Indonesia. Dengan adanya mekanisme kebijakan sementara, perguruan tinggi akan dapat merespons kebutuhan mendesak tanpa harus menunggu proses yang lama.
Di sisi lain, integrasi evaluasi tahunan diharapkan akan dapat memastikan bahwa kebijakan SPMI tetap relevan dengan kebutuhan aktual dan mendapat dukungan dari segenap pemangku kepentingan. Dengan demikian, usulan revisi ini akan mampu menciptakan keseimbangan antara kecepatan dan akuntabilitas.
Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI
Evaluasi Permendikbudristek No. 53/2023 memberikan peluang untuk perbaikan tata kelola SPMI di perguruan tinggi.
Revisi Pasal 69 ayat (2) menjadi solusi kunci untuk menjawab kebutuhan kecepatan dan akuntabilitas, melalui fleksibilitas kebijakan sementara, mekanisme evaluasi tahunan, dan digitalisasi persetujuan.
Melalui metode ini, perguruan tinggi Insya Allah dapat meningkatkan efisiensi tata kelola tanpa mengorbankan asas, prinsip mutu dan transparansi. Stay Relevant!
Baca juga: Misi SPMI: Menjadikan Kualitas sebagai DNA Perguruan Tinggi
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Penjaminan mutu pendidikan tinggi di Indonesia merupakan salah satu pilar penting untuk memastikan bahwa sistem pendidikan tinggi menghasilkan lulusan yang kompeten dan relevan dengan kebutuhan global.
Permendikbudristek No. 53/2023 merupakan regulasi Pemerintah dan landasan hukum bagi pelaksanaan penjaminan mutu melalui Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dan Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME). Namun, implementasi di lapangan tidak semudah membalik telapak tangan.
Kebijakan diatas kerap kali dihadapkan berbagai tantangan, termasuk keterbatasan fleksibilitas dan tingginya beban administratif bagi pelaksana perguruan tinggi.
Melalui Surat Edaran Nomor 15 Tahun 2024, Menteri mengundang pemangku kepentingan untuk memberikan masukan, saran dan pertimbangan atas evaluasi Permendikbudristek No. 53/2023. Artikel ini bertujuan untuk memberikan masukan dan usulan konkret guna meningkatkan efektivitas kebijakan penjaminan mutu pendidikan tinggi. Masukan ini fokus pada upaya perbaikan fleksibilitas, relevansi, dan inovasi yang dibutuhkan perguruan tinggi untuk bersaing secara global.
Baca juga: Usulan Revisi Permendikbudristek No 53/2023: Otonomi dan Fleksibiltas Penjaminan Mutu
Permendikbudristek No. 53/2023 memiliki potensi untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip penjaminan mutu berbasis Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti). Kebijakan ini memberikan kerangka kerja yang jelas untuk perguruan tinggi dalam melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Standar Dikti yang ditetapkan dirancang untuk memastikan keselarasan mutu pendidikan tinggi di tingkat nasional.
Permendikbudristek No. 53/2023 juga mendorong dan memberikan peluang bagi perguruan tinggi untuk melampaui SN Dikti melalui pengembangan Standar Dikti yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi. Kebijakan ini menjadi penting karena memastikan semua perguruan tinggi, baik PTN maupun PTS, memiliki pedoman yang sama untuk meningkatkan mutu pendidikan mereka.
Namun demikian, pendekatan seragam yang ditetapkan dalam Permendikbudristek No. 53/2023 pasal 68 terkait kewajiban PPEPP (penetapan, pelaksanaan , evaluasi, pengendalian dan peningkatan standar), menurut hemat penulis, berpotensi menjadi hambatan bagi perguruan tinggi dengan mengembangkan SPMI mereka.
Kebingungan terhadap konsep PPEPP dan administrasi yang berat untuk memenuhi lima komponen PPEPP sering kali menyita sumber daya yang seharusnya dapat dialokasikan untuk pengembangan mutu melalui inovasi dan eksperimen lainnya. Kurangnya ruang fleksibilitas dapat mempersulit perguruan tinggi untuk menyesuaikan metode penjaminan mutu mereka dengan visi dan misi unik (mission diferentiation) masing-masing.
Salah satu cara untuk meningkatkan efektivitas (dan efisiensi) penjaminan mutu adalah dengan mengalihkan fokus dari proses administratif ke hasil nyata yang ingin dicapai.
Evaluasi berbasis hasil memungkinkan perguruan tinggi untuk mencapai target standar mutu mereka tanpa harus terikat pada metode atau cara-cara tertentu.
Contoh, perguruan tinggi dapat menggunakan indikator keberhasilan seperti tingkat kepuasan mahasiswa, daya serap lulusan di dunia kerja, atau inovasi penelitian. Pendekatan ini memberikan ruang bagi perguruan tinggi untuk bereksperimen dengan cara atau metode manajemen mutu lain tanpa harus terikat menerapkan “PPEPP” versi pemerintah, contoh seperti memakai PDCA (Plan-Do-Check-Act), Lean- Agile Management, metode balance scorecard, atau metode QMS lain seperti ISO 21000.
Kebebasan memilih sistem manajemen mutu tentu sangat relevan dengan semangat otonomi perguruan tinggi yang diamanahkan UU no 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Perguruan tinggi dapat memilih sistem mutu yang sesuai dengan kemampuan, potensi dan kebutuhan mereka. Pendekatan kebijakan “berbasis hasil” mendorong perguruan tinggi untuk fokus pada hasil nyata (substantif) dari sistem penjaminan mutu (QMS) yang mereka pilih secara mandiri.
Setiap perguruan tinggi memiliki karakteristik dan misi unik (mission differentition) yang berbeda, baik dari segi sumber daya, lokasi geografis, maupun fokus keilmuan. Oleh sebab itu, kebijakan penjaminan mutu perlu memberikan keleluasaan kepada perguruan tinggi untuk menyesuaikan implementasinya dengan konteks lokal. Perguruan tinggi dapat bebas mengadopsi metode alternatif yang mereka anggap paling cocok, misal seperti Six Sigma, MBO (management by objective) atau model lainnya. Perguruan tinggi dapat berinovasi dengan modifikasi PPEPP menjadi cukup 3 langkah saja (lebih mudah diingat): Penetapan, Pelaksanaan dan Evaluasi saja (dimana tahap Penetapan dan Peningkatan sudah dimasukkan dalam indikator proses Evaluasi). Institusi juga dapat berinovasi dengan berbagai kombinasi dan pilihan kearifan lokal untuk memenuhi komponen PPEPP. Penyesuaian ini, memungkinkan institusi untuk tetap fokus pada hasil (capaian standar) tanpa harus terbebani oleh proses administratif yang diseragamkan.
Baca juga: Inkrementalisme dalam SPMI: Realistis atau Jalan di Tempat?
Pemerintah dapat memberikan insentif berupa pendanaan tambahan bagi perguruan tinggi yang berhasil mengembangkan model inovasi dalam penjaminan mutu.
Misalnya, perguruan tinggi yang mengadopsi teknologi digital dan AI untuk meningkatkan efisiensi sistem manajemen mutu dapat menerima hibah untuk memperluas implementasi tersebut. Hal ini tidak hanya mendorong inovasi namun juga menciptakan model praktik baik (best practice) yang dapat diadopsi oleh institusi lain.
Lebih lanjut, Kementerian dapat memfasilitasi pilot project untuk menguji pendekatan baru dalam penjaminan mutu. Program ini memungkinkan perguruan tinggi untuk mencoba metode baru tanpa harus menghadapi risiko besar, (sambil tetap terjaga untuk memenuhi kewajiban standar nasional).
Selain dukungan finansial, pemerintah dapat memberikan penghargaan (reward & recognition) kepada institusi yang berhasil mencapai prestasi luar biasa dalam inovasi pengembangan sistem manajemen mutu pendidikan.
Penghargaan ini dapat berupa hadiah atau akreditasi khusus, publikasi hasil pencapaian, atau status “excellence” yang meningkatkan reputasi institusi di tingkat nasional maupun internasional. Hal ini tentu dapat meningkatkan semangat / motivasi dosen dan karyawan. Mereka akan bersungguh-sungguh mengejar hal-hal yang substantif bukan sekedar formalitas administratif belaka.
Baca juga: SPMI dalam Perspektif Easton: Pendidikan Tinggi di Persimpangan Jalan?
Untuk evaluasi Kebijakan SPMI pada Permendikbudristek No. 53/2023, berikut 5 poin masukan sebagai bahan pertimbangan:
Baca juga: Menakar Keberhasilan SPMI: Efektifkah Siklus PPEPP?
Evaluasi Permendikbudristek No. 53/2023 merupakan langkah krusial untuk membangun kebijakan penjaminan mutu yang lebih fleksibel, adaptif, dan relevan dengan kebutuhan pendidikan tinggi di Indonesia.
Dengan memberikan ruang bagi perguruan tinggi untuk berinovasi dan menyesuaikan metode mereka, kebijakan ini dapat meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan.
Pendekatan berbasis hasil, dukungan teknologi, dan insentif inovasi akan memastikan bahwa kebijakan penjaminan mutu tidak hanya menjadi alat kontrol semata, namun juga pendorong transformasi dalam pendidikan tinggi. Dengan demikian, Insya Allah pendidikan tinggi di Indonesia akan lebih siap menghadapi tantangan global sambil tetap relevan dengan tuntutan dan harapan stakeholder lokal. Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Dunia pendidikan tinggi masa kini (era BANI) dihadapkan pada tuntutan yang terus berkembang. Transformasi digital, kebutuhan akan fleksibilitas pembelajaran, dan relevansi kurikulum dengan dunia kerja adalah tantangan yang harus segera disikapi. Universitas tidak lagi hanya menjadi lembaga pembelajaran, namun harus bisa menjadi pusat inovasi yang selaras dengan dinamika global.
Salah satu tantangan terbesar adalah memastikan bahwa fasilitas dan infrastruktur kampus (sarana prasarana) mampu mendukung proses pembelajaran di era BANI.
Dengan digitalisasi yang semakin meluas, universitas harus mampu mengintegrasikan teknologi ke dalam setiap aspek operasionalnya, termasuk sarana dan prasarana. Langkah ini penting agar universitas mampu menghadirkan pengalaman belajar yang relevan dan unggul untuk para mahasiswa.
Kebijakan ini sejalan dengan Pasal 48, 49, dan 50 Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, yang mengatur standar sarana prasarana untuk pendidikan tinggi. Institusi yang ingin unggul harus memanfaatkan kebijakan ini sebagai acuan untuk melakukan transformasi secara komprehensif.
Teknologi informasi termasuk AI, kini menjadi fondasi penting dalam membangun sarana dan prasarana pendidikan. Sesuai dengan Pasal 49, perguruan tinggi wajib menerapkan tata kelola teknologi informasi yang andal dan transparan. Ini mencakup pengelolaan data akademik dan non akademik, penyediaan platform digital untuk pembelajaran, hingga perlindungan data mahasiswa.
Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi
Salah satu langkah inovatif adalah membangun LMS (Learning Management System) yang andal dan terintegrasi. LMS memungkinkan mahasiswa dan dosen untuk mengakses materi pembelajaran kapan saja dan di mana saja (asinkronus). Fitur seperti forum diskusi, evaluasi daring (quiz), dan pelacakan progres kemajuan belajar mahasiswa adalah elemen penting untuk mendukung proses pembelajaran yang inklusif dan adaptif.
Selain itu, penguatan infrastruktur digital seperti Wi-Fi, laboratorium virtual, dan ruang kelas digital akan dapat memberikan pengalaman belajar yang mendalam.
Kombinasi antara teknologi dan infrastruktur fisik akan membawa universitas menuju era baru pembelajaran yang modern.
Pasal 50 memberi arahan tentang pentingnya sumber pembelajaran terbuka (open educational resources) dalam mendukung pendidikan tinggi.
Universitas harus mendorong dosen untuk menciptakan bahan ajar digital yang dapat diakses oleh mahasiswa dan bahkan masyarakat luas (publik). Dengan lisensi terbuka seperti Creative Commons, sumber pembelajaran tersebut dapat digunakan, dimodifikasi, dan disebarluaskan.
Langkah strategis lain adalah menjalin kerja sama kemitraan dengan platform global seperti edX, Coursera, atau Khan Academy untuk menyediakan akses ke kursus-kursus online yang mereka sediakan. Hal ini tidak hanya meningkatkan aksesibilitas namun juga memperkaya kurikulum dengan perspektif global.
Repositori digital lokal juga dapat menjadi solusi. Dengan mendata, mengumpulkan dan mengelola sumber pembelajaran yang relevan, universitas dapat menjadi pusat sumber daya yang bermanfaat tidak hanya bagi mahasiswa, namun juga dosen dan karyawan tendik. Pemanfaatan ini tidak hanya mendukung pencapaian tujuan kurikulum namun juga memperluas dampak pendidikan ke segenap stakeholder.
Baca juga: Pola Pikir, Sikap, dan Perilaku: Pilar Utama Budaya Mutu SPMI
Mengacu Pasal 48, universitas juga perlu menyediakan fasilitas yang tidak hanya memenuhi namun juga melampaui standar minimum.
Ini mencakup penyediaan ruang pembelajaran yang inovatif, seperti coworking spaces, maker spaces, dan laboratorium riset multidisiplin yang relevan dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri (DUDI).
Fasilitas ini juga harus inklusif. Penyediaan akses bagi mahasiswa berkebutuhan khusus (seperti pengguna kursi roda) adalah salah satu prioritas yang harus diwujudkan. Selain itu, pendekatan ramah lingkungan dalam pengelolaan fasilitas, seperti instalasi listrik tenaga surya, pengelolaan daur ulang limbah, dan taman hijau kampus, dapat menjadi nilai tambah yang menarik bagi mahasiswa dan mitra industri.
Investasi berkelanjutan dalam infrastruktur adalah kunci. Universitas harus memprioritaskan anggaran yang cukup untuk pembangunan dan pemeliharaan fasilitas yang mendukung visi dan misinya. Fasilitas yang unggul akan menciptakan pengalaman belajar yang berkualitas tinggi, memperkuat daya saing kampus, dan menarik lebih banyak mahasiswa berbakat.
Baca juga: SPMI Berbasis Pengetahuan: Aset Utama Perguruan Tinggi
“Menyediakan akses” tidak selalu berarti perguruan tinggi harus memiliki (membeli) semua sarana dan prasarana secara langsung.
Sebaliknya, hak akses dapat diberikan melalui berbagai cara, seperti menjalin kerja sama dengan institusi lain, menyewa fasilitas, atau meminjam dari mitra yang memiliki sumber daya lebih besar. Misalnya, laboratorium riset yang mahal dapat diakses melalui kolaborasi dengan pusat penelitian nasional atau perusahaan industri.
Dengan kemajuan AI dan teknologi informasi, perguruan tinggi juga dapat memanfaatkan layanan berbasis digital untuk menyediakan akses ke fasilitas pembelajaran. Contohnya adalah perangkat lunak berbasis cloud, laboratorium virtual, atau repositori penelitian daring. Pendekatan ini tidak hanya efisien secara biaya, namun juga memastikan fleksibilitas dan adaptabilitas untuk memenuhi tuntutan pembelajaran yang terus berkembang.
Baca juga: Kemalasan Sosial: Musuh Tersembunyi SPMI
Untuk mewujudkan visi misi perguruan tinggi yang unggul, sarana dan prasarana harus menjadi prioritas strategis. Langkah inovatif yang berorientasi pada masa depan, seperti digitalisasi pembelajaran, penguatan sumber pembelajaran terbuka, dan pengelolaan infrastruktur yang adaptif, adalah jalan yang harus ditempuh.
Universitas yang proaktif dalam menghadapi tantangan era BANI akan mampu menjadi pelopor dalam menciptakan pendidikan tinggi yang relevan, unggul, dan berkelanjutan. Transformasi sarana dan prasarana tidak hanya menjawab kebutuhan masa kini, namun juga mempersiapkan masa depan pendidikan yang lebih cerah untuk mahasiswa, dosen, dan segenap stakeholder. Stay Relevant!
Visi tinggi melesat di cakrawala,
Sarana dibangun, prasarana menyapa.
Digitalisasi mengalir, ilmu tak bertepi,
Membuka masa depan penuh harmoni.
Universitas proaktif, pelopor zaman,
Menjawab tantangan dalam kecepatan.
Era BANI dijadikan peluang, mimpi dikejar,
Untuk pembelajar, dunia terang bersinar.
Baca juga: Transformasi SPMI: Komunikasi Internal sebagai Game-Changer
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Dokumen Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) berdasarkan regulasi merupakan elemen penting bagi perguruan tinggi di Indonesia dalam menjaga mutu pendidikan. Namun terkadang, jumlah item dokumen yang begitu banyak ragamnya, seperti kebijakan, dokumen PPEPP, Standar, SOP dan lain sebagainya, sering kali menjadi tantangan tersendiri. Pengguna dokumen, mulai dari pimpinan, dosen, , hingga staf karyawan, sering merasa “tersesat” dalam “rimba” dokumen yang tidak tersusun sistematis. Hal ini dapat menyebabkan frustrasi, hilangnya efisiensi, dan keputusan yang tidak akurat.
Portal SPMI terpadu diusulkan sebagai solusi alternatif untuk menyederhanakan akses terhadap dokumen. Dengan teknologi berbasis digital, portal ini memungkinkan semua dokumen tersaji secara sistematis dan mudah ditemukan oleh user (pengguna). Tidak hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan, portal SPMI terpadu yang dirancang dengan baik, dapat menjadi alat navigasi yang intuitif, memastikan seluruh dokumen dapat ditemukan dalam hitungan detik.
Baca juga: Penguatan SPMI dengan 10 Peran Manajer ala Mintzberg
Kunci utama agar dokumen mudah ditelusuri adalah menyusun struktur katalog yang logis. Pengelompokan dokumen berdasarkan kategori utama seperti kebijakan, pedoman PPEPP, Standar, SOP, dan formulir sangat membantu pengguna dalam memahami di mana mereka dapat menemukan informasi yang dibutuhkan. Setiap kategori sebaiknya dipecah lagi menjadi beberapa subkategori sesuai dengan bidang, fakultas atau unit kerja terkait.
Lebih lanjut, setiap dokumen harus diberi nama dokumen atau kode deskriptif. Misalnya, SOP yang berkaitan dengan evaluasi standar dapat diberi judul “SOP-EV-2025-01: Evaluasi Pemenuhan Standar Pendidikan.” Dengan nama yang jelas dan terstruktur, pengguna tidak hanya menghemat waktu, namun juga dapat dengan mudah mengenali fungsi dokumen hanya dari membaca judul saja.
Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi
Portal SPMI yang efektif dan efisien, harus berbasis digital dengan fitur search (pencarian) canggih. Dengan teknologi berbasis cloud, dokumen akan dapat diakses dengan mudah dari mana saja dan kapan saja. Sistem pencarian berbasis keyword (kata kunci) mempermudah pengguna menemukan dokumen tertentu hanya dengan mengetik beberapa keyword terkait. Hal ini jelas sangat mengurangi waktu pencarian bila dibandingkan dengan metode manual.
Fitur pencarian lanjutan, seperti filter berdasarkan kategori dokumen, tanggal revisi, atau pihak yang bertanggung jawab, juga menjadi nilai tambah. Pengguna tidak perlu lagi menelusuri dokumen satu per satu, cukup gunakan filter untuk mendapatkan hasil yang relevan dalam hitungan detik. Teknologi ini juga dapat di setting agar dokumen terbaru selalu muncul dalam hasil pencarian.
Baca juga: Pola Pikir, Sikap, dan Perilaku: Pilar Utama Budaya Mutu SPMI
Diagram alur atau peta proses adalah alat yang sangat berguna untuk memandu pengguna menavigasi dokumen atau perangkat SPMI. Peta proses dapat menunjukkan hubungan antara kebijakan, pedoman PPEPP, Standar, SOP, dan formulir. Misalnya, pengguna dapat memahami bahwa Kebijakan SPMI mengarahkan pada pedoman PPEPP, yang kemudian terhubung dengan Standar, SOP, Formulir dan seterusnya.
Dengan menambahkan hyperlink langsung (tautan yang bisa di klik) ke dokumen dalam peta proses, pengguna dapat mengakses dokumen yang relevan tanpa harus kembali ke menu utama. Pendekatan visual ini (infografis) tidak hanya mempercepat navigasi namun juga membantu pengguna memahami “big picture” konteks setiap dokumen dalam keseluruhan sistem SPMI.
Baca juga: SPMI Berbasis Pengetahuan: Aset Utama Perguruan Tinggi
Agar memudahkan pencarian, setiap dokumen SPMI di portal harus dilengkapi dengan metadata yang jelas dan konsisten. Metadata ini mencakup informasi seperti kategori dokumen, tanggal revisi terakhir, pihak yang bertanggung jawab, dan deskripsi singkat. Labelisasi dokumen juga sangat penting, seperti menandai dokumen dengan tag tertentu seperti “Pendidikan”, “Penelitian,” “Evaluasi,” atau “Pengabdian.”
Dengan metadata dan labelisasi yang jelas dan konsisten, pengguna dapat dengan mudah memfilter dan mengurutkan dokumen sesuai dengan pencarian pengguna. Cara ini membantu dan memastikan bahwa dokumen tersaji dengan rapi dan relevan, bahkan, tidak menjadi masalah, ketika jumlah dokumen terus bertambah banyak seiring berjalannya waktu.
Baca juga: Kemalasan Sosial: Musuh Tersembunyi SPMI
Sebaik apa pun portal SPMI dibuat, pengguna tetap memerlukan pelatihan dan dukungan teknis. Pelatihan (workshop) harus mencakup cara memakai fitur portal, mencari dokumen, dan memahami struktur katalog. Selain itu, perlu juga menyediakan video/ buku tutorial atau panduan teknis berbasis FAQ. Panduan ini akan sangat membantu, bagi pengguna yang baru pertama kali mengakses portal.
Dukungan teknis juga menjadi aspek penting. Sistem live chat, whatsapp atau email bantuan memastikan bahwa setiap kendala pengguna dapat segera ditangani. Dengan dukungan yang responsif, pengguna merasa lebih nyaman dalam menggunakan portal, sehingga memaksimalkan manfaatnya.
Baca juga: Transformasi SPMI: Komunikasi Internal sebagai Game-Changer
Portal SPMI Terpadu, harus terus diperbarui dan dievaluasi secara berkala. Feedback dari pengguna menjadi kunci untuk mengetahui apa yang perlu diperbaiki atau disempurnakan. Contoh, jika banyak pengguna mengeluh kesulitan dalam menemukan dokumen tertentu, itu menjadi indikator perlunya penyempurnaan struktur katalog, tampilan visual atau fitur pencarian.
Selain itu, inovasi dan pengembangan portal SPMI terpadu dapat mencakup penambahan fitur baru, seperti notifikasi dokumen yang telah diperbarui atau integrasi dengan sistem informasi lainnya. Pendekatan ini memastikan bahwa portal SPMI tetap update, relevan dan mampu mengikuti kebutuhan perguruan tinggi yang terus berkembang.
Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI
Portal SPMI terpadu bukan hanya alat manajemen dokumen, namun juga bentuk investasi strategis untuk memastikan tercapainya mutu pendidikan tinggi. Dengan langkah-langkah yang sistematis, dari struktur katalog hingga evaluasi berkala, institusi akan dapat menyediakan akses yang mudah, efisien, dan ramah pengguna. Hasil yang diharapkan adalah peningkatan kinerja, penghematan waktu, dan yang terpenting, pelaksanaan SPMI yang lebih efektif di semua lini (unit kerja). Portal SPMI Terpadu, yang dirancang dengan baik bukan hanya membantu pengguna “keluar dari rimba dokumen,” tetapi juga membawa perguruan tinggi menuju budaya mutu yang berkelanjutan. Stay Relevant!
Baca juga: SPMI Tanpa Knowledge Management? Jurang Kegagalan!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah tool penting dalam pengelolaan mutu institusi perguruan tinggi. Melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar), SPMI dikembangkan untuk memastikan kesinambungan mutu dan kemampuan institusi dalam merespons kebutuhan pemangku kepentingan yang terus berubah. Siklus ini, kemudian menjadi fondasi bagi perguruan tinggi untuk menjalankan misi unik (mission differentiation) secara efektif dan efisien.
Keberhasilan SPMI tentu tidak mudah, banyak faktor yang saling mempengaruhi. SPMI tidak hanya bertumpu pada aturan regulasi dan prosedur teknis semata, namun juga sangat dipengaruhi oleh perilaku anggota organisasinya (psikologi manajerial).
Teori X dan Y yang dikembangkan oleh Douglas McGregor memberi framework yang relevan untuk penguatan SPMI. Teori X dan Y menggambarkan bagaimana asumsi tentang perilaku manusia dapat mempengaruhi banyak hal dalam elemen organisasi, seperti motivasi, pengambilan keputusan, gaya kepemimpinan, dan penciptaan budaya mutu yang berkelanjutan. Buku Mc Gregor berjudul The Human Side of Enterprise, dianggap sebagai salah satu karya klasik, referensi penting dalam literatur ilmu psikologi dan manajemen.
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
McGregor memperkenalkan dua asumsi tentang motivasi manusia, yaitu: Teori X dan Teori Y.
Teori X berasumsi pegawai sebagai pribadi yang cenderung malas, memerlukan kontrol ketat, dan hanya termotivasi oleh ancaman atau insentif.
Sebaliknya, Teori Y berasumsi manusia sebagai pribadi yang kreatif, bertanggung jawab, dan secara natural termotivasi untuk mencapai target jika diberikan lingkungan yang suportif.
Dalam konteks pengelolaan manajemen mutu di perguruan tinggi, teori X dan Y menawarkan perspektif yang menarik. Implementasi SPMI dan PPEPP, yang sering menggunakan pendekatan bottom-up atau top-down, dapat memanfaatkan kombinasi Teori X dan Y untuk memotivasi dan mengelola SDM perguruan tinggi.
Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!
Pada tahap penetapan standar (dalam siklus PPEPP), terkadang institusi memerlukan pedoman dan kontrol yang jelas untuk membangun kerangka kerja yang terstruktur. Dalam konteks ini, pendekatan berbasis Teori X sering kali lebih cocok, terutama ketika standar baru harus ditetapkan. Misalnya, dalam menetapkan standar kompetensi lulusan, perguruan tinggi perlu menetapkan kriteria yang spesifik, seperti kemampuan analitis, keterampilan teknis, atau penguasaan teknologi terkini sesuai kebutuhan industri. Pendekaan top-down, lebih cocok, dimana pimpinan (manajemen) menetapkan standar yang tegas dan menantang (challenge) sesuai dengan “misi unik” (mission differentiation) perguruan tinggi.
Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?
Kontrol ketat dan tegas dapat membantu memastikan bahwa semua unit memahami target dan indikator yang ditetapkan. Contoh, dalam penetapan standar kompetensi lulusan, pengawasan ketat dapat berupa pengembangan prosedur yang detail, pelatihan manajemen strategik untuk menyusun mission differentiation menjadi sangat urgen.
Pimpinan dapat fokus untuk membangun misi unik organisasi dan menetapkan dokumen standar yang visioner. Bila manajemen menetapkan bahwa lulusan program teknik harus memiliki sertifikasi keahlian tertentu, maka perguruan tinggi dapat menerapkan target dan indikator kebijakan sertifikasi, yang implementasinya wajib diawasi secara berkala oleh UPPS / fakultas.
Pendekatan Teori X juga berguna dalam menghadapi penolakan (resistensi) terhadap munculnya standar baru yang dirasa cukup memberatkan. Contoh, bila ada pihak yang kurang berkenan pada isi standar kompetensi lulusan, manajemen dapat menggunakan kebijakan tegas, seperti kewajiban memasukkan capaian pembelajaran sesuai standar dalam setiap kurikulum. Walau ada resistensi di awal, langkah ini membantu memastikan bahwa proses penetapan standar dapat berjalan sesuai visi-misi dan renstra. Sebaliknya, bila menerapkan pendekatan bottom-up (dalam penetapan standar SPMI), ada kekhawatiran, bawahan akan menyusun target yang rendah, mudah dicapai dan bahkan tidak relevan.
Setelah standar SPMI ditetapkan (langkah awal), tahap berikutnya adalah tahap pelaksanaan (dalam siklus PPEPP). Tahap ini memerlukan semangat dan keterlibatan aktif dari semua anggota organisasi (sivitas akademika). Penerapan Teori Y, dipandang lebih cocok pada tahap ini karena mendorong motivasi, partisipasi dan tanggung jawab bersama. Misal, dalam pelaksanaan standar proses pembelajaran, tim dosen dapat dilibatkan dalam menyusun metode pengajaran yang inovatif, sementara mahasiswa diberikan ruang untuk memberikan feedback terkait bentuk dan format perkuliahan. Sumbang saran dari mahasiswa dapat dilakukan dalam berbagai media seperti forum diskusi, kotak saran atau sesi feedback bulanan.
Contoh lain, saat evaluasi pelaksanaan standar SPMI, misal evaluasi pelaksanaan standar proses pembelajaran, manajemen dan auditor dapat menggunakan prinsip Teori Y (pendekatan yang partisipatif). Institusi dapat mengadakan sesi evaluasi (monev, audit atau tinjauan manajemen) bersama dosen dan mahasiswa untuk mengevaluasi sejauh mana efektivitas proses pembelajaran yang sudah berjalan atau sedang berlangsung. Survei kepuasan mahasiswa terhadap metode pembelajaran berbasis proyek, misalnya, dapat digunakan untuk mengidentifikasi area-area mana saja yang perlu diperbaiki (tindakan korektif dan preventif).
Pendekatan teori Y membantu menumbuhkan rasa memiliki terhadap standar SPMI, baik dosen, tendik maupun mahasiswa. Ketika semua pihak merasa dihargai, semangat untuk bekerja sama menjadi optimal dan hasil evaluasi menjadi lebih relevan dan akurat, yang pada akhirnya membantu institusi untuk melakukan pengukuran standar dengan baik.
Baca juga: Teori 2 Faktor: Memadukan SPMI dengan Motivasi Intrinsik
Tahap pengendalian (dalam siklus PPEPP) sangat krusial untuk memastikan bahwa pelaksanaan standar SPMI sudah sesuai dengan yang telah ditetapkan. Dengan menerapkan prinsip Teori Y, pimpinan dapat melibatkan unit-unit kerja, seperti fakultas, UPPS dan program studi, untuk “secara mandiri” memantau pencapaian target kinerja masing-masing. Program studi dapat diberikan tanggung jawab untuk memeriksa apakah standar kurikulum telah memenuhi capaian pembelajaran yang dipersyaratkan. Pendekatan Teori Y ini mendorong iklim “rasa kepemilikan” terhadap capaian mutu kurikulum di masing-masing program studi.
Tahap peningkatan standar (dalam PPEPP) dapat menggunakan asumsi teori Y (situasional). Asumsi Teori Y dapat dipilih untuk mendorong kreativitas dan inovasi dari semua pihak. Misal, dosen dapat dilibatkan dalam pengembangan standar baru untuk mata kuliah yang relevan dengan tren perkembangan industri. di sisi lain mahasiswa juga dapat memberikan ide dan saran melalui wawancara, survei atau diskusi mengenai relevansi isi standar kurikulum bagi mahasiswa.
Pemakaian asumsi Teori Y juga dapat menumbuhkan kolaborasi yang kuat antar unit kerja maupun stakeholder lainnya. Peningkatan mutu tidak hanya menjadi tanggung jawab manajemen, namun melibatkan semua elemen dalam institusi. Dengan pendekatan ini, harapannya perguruan tinggi dapat membangun kurikulum yang lebih adaptif, relevan, dan sesuai dengan tuntutan perubahan zaman.
Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI
Pendekatan Teori X dalam tahap peningkatan standar (dalam PPEPP) dapat juga menjadi relevan. Dalam situasi tertentu, kadang kala ketegasan dan perubahan signifikan diperlukan. Hal ini memerlukan kepatuhan awal yang ketat.
Teori X, yang fokus pada kontrol, pengawasan, dan arahan langsung, cocok sekali digunakan untuk memastikan bahwa seluruh elemen dalam organisasi memahami urgensi dan pentingnya peningkatan standar. Tahapan ini sering kali membutuhkan disiplin tinggi untuk menghindari penyimpangan dari target yang telah ditetapkan.
Contoh, dalam peningkatan standar keluaran (output) penelitian di perguruan tinggi, kebijakan yang mewajibkan dosen mempublikasikan artikel di jurnal internasional bereputasi dapat diterapkan dengan kontrol ketat. Manajemen dapat membuat target spesifik, seperti jumlah publikasi minimal per tahun, dan melakukan pemantauan secara ketat terhadap capaian individu maupun unit kerja. Dengan demikian, peran kontrol dan kepatuhan menjadi krusial untuk memastikan bahwa target standar keluaran penelitian dapat dicapai dalam waktu yang ditetapkan, disinilah asumsi teori X dapat digunakan.
Pendekatan Teori X juga dapat dipakai dalam situasi di mana penolakan (resistensi) anggota organisasi cukup tinggi. Bila dosen atau staf menunjukkan tanda tanda kurang inisiatif tentang peningkatan standar, maka, perintah (instruksi), arahan langsung dan regulasi yang tegas diharapkan dapat mengatasi hambatan ini. Walau demikian, pendekatan Teori X sebaiknya tidak digunakan secara terus menerus, sesekali saja untuk membangun pondasi yang kuat sebelum beralih ke metode yang lebih fleksibel dan partisipatif. Teori X dapat digunakan sebagai alat kepatuhan awal sebelum membangun “budaya mutu” untuk peningkatan standar yang lebih mandiri dan partisipatif.
Baca juga: SPMI Berbasis Pengetahuan: Aset Utama Perguruan Tinggi
Membangun budaya mutu di perguruan tinggi memerlukan kombinasi yang proporsional antara pendekatan Teori X dan Teori Y.
Dalam penetapan standar dosen, dalam situasi awal, pendekatan Teori X dapat digunakan, misal ditetapkan standar kualifikasi dosen minimal S2 dan kewajiban memiliki sertifikasi profesional. Kebijakan tegas dan kontrol ketat diperlukan untuk memastikan bahwa semua dosen mematuhi standar yang ditetapkan.
Di sisi lain, untuk membangun budaya mutu yang berkelanjutan, pendekatan Teori Y menjadi sangat relevan. Setelah standar dasar terlaksana, perguruan tinggi dapat memberdayakan tenaga pengajar melalui program pengembangan profesional, misalnya dukungan untuk pelatihan metodologi penelitian dan pelatihan pedagogi inovatif. Dosen yang diberi kepercayaan dan otonomi dalam mengembangkan metode pengajaran, cenderung lebih bersemangat untuk berinovasi. Tenaga kependidikan yang terlibat dalam pengembangan sistem layanan berbasis teknologi informasi cenderung puas dan termotivasi, karena merasa memiliki andil (berkontribusi) terhadap pencapaian mutu.
McGregor menekankan pentingnya memandang pegawai sebagai pribadi yang memiliki kebutuhan psikologis, bukan hanya sebagai “mesin” produksi. Pandangan ini mendorong perubahan paradigma (mindset) dalam ilmu manajemen, yang sebelumnya sering menggunakan pendekatan otoriter, sekarang cenderung pendekatan partisipatif.
Kombinasi (tergantung situasional) elemen teori X dan Y, memungkinkan institusi membangun budaya mutu yang kuat dan mendorong keberlanjutan dalam peningkatan mutu. Elemen Teori X digunakan untuk memastikan kepatuhan dan elemen Teori Y digunakan untuk pemberdayaan potensi dosen dan tenaga kependidikan agar dapat bekerja dengan baik.
Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits
Masa depan SPMI dan PPEPP di perguruan tinggi memerlukan harmoni antara pendekatan struktural (tegas) dan pemberdayaan yang fokus pada kebutuhan psikologi manusia.
Teori X berperan penting dalam membangun landasan dan kepatuhan awal, sementara Teori Y menjadi landasan untuk menciptakan inovasi dan kolaborasi yang berkelanjutan. Harmoni diperlukan untuk memastikan bahwa proses SPMI (PPEPP) tidak hanya fokus pada kepatuhan formal-administratif, namun juga pada perbaikan nilai-nilai organisasi (values) yang berdampak pada mutu pendidikan.
Sistem yang humanis dan berorientasi pada pengembangan SDM akan mendorong pegawai untuk berkontribusi lebih optimal dalam pencapaian mutu. Hal ini memungkinkan perguruan tinggi tidak hanya mampu bertahan hidup (survive) namun juga berkembang dan menjadi unggul di tengah dinamika global yang terus berubah.
Peter Drucker pernah mengatakan, “The best way to predict the future is to create it.” Dengan memanfaatkan keunggulan Teori X dan Y, perguruan tinggi dapat membangun harmoni indah yang menjadikan mutu sebagai budaya organisasi. Stay Relevant!
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Pada suatu pagi di Universitas Sangkuriang (Fiktif), rektor mengumpulkan seluruh pimpinan, dekan dan dosen dalam sebuah rapat penting. Ia memulai pertemuan dengan sebuah pertanyaan sederhana, “Apakah ada yang tahu, apa tujuan dari SPMI kita?” Namun, keheningan yang panjang memenuhi ruangan. Tidak ada satu pun peserta rapat yang berani angkat suara. Rektor pun tersenyum tipis, namun nadanya berubah tegas saat berkata:
“Kalau kalian semua tidak paham tujuan SPMI, bagaimana kita bisa mengimplementasikannya dengan baik? Bagaimana mutu institusi ini bisa meningkat kalau kita bahkan tidak tahu ke mana arah kita berjalan?”
Pertanyaan itu menggambarkan realitas yang dihadapi banyak perguruan tinggi. Semua institusi mempunyai dokumen SPMI lengkap, mulai dari Kebijakan, Siklus PPEPP, Standar dan lain sebagainya, namun sebagian besar belum paham apa tujuan SPMI dibuat. Tanpa pemahaman yang mendalam terhadap tujuan SPMI, mustahil bagi institusi untuk menjalankannya dengan efektif. Untuk itulah, penting bagi seluruh civitas akademika untuk mengenal lebih dalam 6 tujuan strategis yang mendasarinya.
Mutu pendidikan tinggi adalah landasan utama bagi keberhasilan sebuah institusi. Bayangkan seorang mahasiswa yang menjalani pendidikan di lingkungan yang penuh inovasi dan pembelajaran aktif. Dengan pendekatan PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar), SPMI memastikan bahwa mutu pendidikan tinggi tidak hanya terpenuhi tetapi juga terus berkembang dan ditingkatkan. Sebagai contoh, Universitas Sangkuriang mulai menerapkan evaluasi berbasis data dalam setiap semester untuk memantau efektivitas metode pengajaran, sehingga dosen dapat menyesuaikan strategi mereka sesuai harapan dan kebutuhan mahasiswa.
Selain itu, keberlanjutan mutu tercermin dari integrasi teknologi dalam proses pembelajaran. Universitas Sangkuriang, misalnya, mengembangkan platform e-learning yang diakses oleh ribuan mahasiswa, memungkinkan interaksi yang lebih fleksibel antara dosen dan mahasiswa. Inovasi ini tidak hanya meningkatkan mutu pendidikan, namun juga memberikan solusi terhadap keterbatasan ruang fisik di kampus.
Tidak cukup hanya memenuhi standar, SPMI mendorong perguruan tinggi untuk berkomitmen melampaui batas minimal. Melampaui SN Dikti berarti memiliki standar internal yang lebih tinggi dan relevan dengan kebutuhan zaman. Universitas Sangkuriang, misalnya, menambahkan mata kuliah berbasis teknologi terkini seperti kecerdasan buatan dan blockchain untuk mempersiapkan mahasiswa menghadapi tantangan revolusi industri 4.0.
Selain itu, universitas Sangkuriang juga menjalin kerjasama dengan kampus-kampus internasional untuk mendirikan program double degree. Program ini tidak hanya memberikan pengalaman akademik lintas budaya bagi mahasiswa, namun juga meningkatkan daya saing lulusan dalam kompetisi global. Langkah ini membuktikan bahwa semangat melampaui standar adalah investasi strategis untuk masa depan.
Visi dan misi adalah arah strategis yang memandu langkah perguruan tinggi. SPMI membantu menyelaraskan semua elemen institusi menuju tujuan tersebut. Universitas Sangkuriang, memiliki visi yang menarik, menjadi pusat inovasi teknologi di tingkat Asia Tenggara. Universitas Sangkuriang meluncurkan program “Inovasi Kampus untuk Negeri” yang mendorong mahasiswa mengembangkan solusi teknologi bagi masalah di masyarakat, seperti aplikasi untuk manajemen limbah.
Selain itu, pelaksanaan misi universitas juga terwujud melalui keberhasilan kegiatan pengabdian masyarakat. Sebagai contoh, mahasiswa dan dosen Universitas Sangkuriang terlibat dalam workshop teknologi pertanian bagi petani lokal. Workshop ini tidak hanya meningkatkan keterampilan masyarakat tetapi juga menjadi bukti nyata kontribusi perguruan tinggi terhadap pembangunan nasional.
Mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, dunia usaha, dunia industri, dan masyarakat adalah pemangku kepentingan utama perguruan tinggi. SPMI dibangun untuk memastikan bahwa kebutuhan mereka terpenuhi, itulah salah satu tujuan SPMI. Contoh, Universitas Sangkuriang merancang kurikulum berbasis kompetensi yang melibatkan input masukan dari pelaku industri, sehingga lulusan memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri kerja.
Selain itu, kebutuhan mahasiswa sebagai pemangku kepentingan utama juga harus diperhatikan. Program beasiswa bagi mahasiswa berprestasi dan kurang mampu diimplementasikan dengan dengan baik, memungkinkan akses pendidikan bermutu untuk semua kalangan. Upaya ini menunjukkan bagaimana SPMI membantu universitas merespons kebutuhan pemangku kepentingan secara menyeluruh.
Dalam era yang menuntut kepercayaan publik, akuntabilitas dan transparansi adalah faktor penting. SPMI memberikan framework untuk memastikan bahwa semua proses berjalan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebagai ilustrasi, Universitas Sangkuriang secara berkala mempublikasikan laporan kinerja akademik dan keuangan mereka di situs resmi universitas, memberikan akses kepada publik untuk memantau perkembangan institusi.
Transparansi ini juga diterapkan dalam proses PMB (penerimaan mahasiswa baru). Dengan menggunakan sistem pendaftaran online yang transparan, Universitas Sangkuriang mampu memastikan bahwa seleksi mahasiswa dilakukan secara adil dan objektif. Langkah ini memperkuat kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan tinggi.
SPMI menjadi fondasi utama untuk mempersiapkan perguruan tinggi dalam proses akreditasi eksternal (BAN-PT, LAM atau Akreditasi Internasional). Universitas Sangkuriang yang telah menerapkan SPMI dengan baik sering kali lebih siap menghadapi proses akreditasi nasional maupun internasional. Misalnya, universitas ini secara berkala melakukan simulasi akreditasi dengan mengundang asesor independen untuk memberikan umpan balik terhadap kelemahan dan kekuatan mereka.
Selain itu, universitas ini juga mengadopsi standar mutu internasional seperti ISO 21001 untuk memastikan bahwa proses akademik dan administratif mereka memenuhi persyaratan global. Langkah ini tidak hanya meningkatkan akreditasi tetapi juga membangun reputasi (citra) institusi di tingkat internasional.
Baca juga: Penguatan SPMI dengan 10 Peran Manajer ala Mintzberg
Menghidupi semangat SPMI adalah tugas bersama seluruh civitas akademika. Ketika standar SPMI menjadi budaya, bukan sekadar aturan formalitas, institusi akan berkembang secara komprehensif. Sebagaimana rektor dalam cerita awal mengakhiri pidatonya, “Ingatlah, mutu bukan tujuan akhir. Ia adalah perjalanan yang terus kita tempuh bersama.”
Baca juga: Pola Pikir, Sikap, dan Perilaku: Pilar Utama Budaya Mutu SPMI
Sebagai penutup, Aristoteles, filsuf Yunani mengingatkan kita: “Quality is not an act; it is a habit.” Mutu adalah kebiasaan (habit) yang harus kita bangun setiap hari demi mutu pendidikan tinggi yang terus unggul secara berkelanjutan. Stay Relevant!
Di Jalan Mutu Kami Berpijak
Di langit cita kami titipkan mimpi,
Setiap langkah terajut dalam harmoni,
Bukan sekadar janji, namun habit sejati,
Mutu kami bangun, hingga abadi di hati.
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Di Universitas Sangkuriang (fiktif), para rektor dan dekan dihadapkan pada situasi yang menuntut perenungan mendalam. Mereka menyadari bahwa di era persaingan global yang semakin kompleks, lulusan yang unggul dan mampu bersaing bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan. Namun, pertanyaan besar muncul: “Bagaimana Universitas Sangkuriang dapat meningkatkan mutu institusi tanpa kehilangan karakter dan identitas unik yang sudah menjadi ciri khas?”
Untuk menjawab pertanyaan ini, pimpinan mulai mengelaborasi lebih dalam tentang “makna lima prinsip” Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI).
Mereka mulai menyadari bahwa penerapan yang konsisten dan strategis dari prinsip-prinsip ini dapat menjadi landasan yang kokoh untuk menciptakan perubahan positif. Kisah ini dapat menjadi inspirasi banyak perguruan tinggi di Indonesia yang berusaha menemukan keseimbangan antara menjaga tradisi dan merespons tantangan global.
Baca juga: Integrasi PPEPP dan Goal Setting: Terobosan dalam Penguatan SPMI
SPMI adalah lebih dari sekadar setumpuk dokumen; ia merupakan manifestasi “komitmen” perguruan tinggi untuk mencapai keunggulan dalam Tridharma: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Melalui SPMI, perguruan tinggi dapat membangun framework yang jelas untuk memastikan bahwa mutu akademik dan non-akademik terus meningkat secara berkelanjutan.
Di era disrupsi BANI (Brittle, Anxious, Nonlinear, Incomprehensible) dan perkembangan pesat kecerdasan buatan (AI), perguruan tinggi perlu menyadari bahwa SPMI bukan sekedar formalitas pemenuhan regulasi, namun tools strategis yang harus dioptimalkan fungsinya.
Dengan tantangan yang semakin kompleks, SPMI tidak hanya menjadi penjamin keberlanjutan mutu tetapi juga membantu institusi beradaptasi dan merespons perubahan dengan cepat (speed) dan efektif, memastikan relevansi lulusan dalam dunia yang terus berubah.
Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?
Pada Bab III A Pedoman Implementasi SPMI PTA 2024, halaman 20, lima prinsip mendasar dijelaskan dengan jelas:
Pendekatan PPEPP menjadi framework untuk ke dalam tindakan nyata. Berikut adalah contoh konkret penerapan PPEPP di Universitas Sangkuriang, dengan prinsip yang dipraktikkan pada setiap tahap siklus PPEPP:
Dengan pendekatan siklus PPEPP, Universitas Sangkuriang berhasil menciptakan proses penjaminan mutu yang sistematis, efektif dan berkelanjutan, memastikan bahwa setiap langkah diambil untuk mendukung pencapaian visi dan misi institusi.
Baca juga: Penguatan SPMI dengan 10 Peran Manajer ala Mintzberg
Sebagaimana ditegaskan dalam Pedoman Implementasi SPMI PTA 2024, “Kualitas pendidikan tidak hanya tentang prestasi saat ini, namun tentang bagaimana kita terus berkembang untuk menghadapi masa depan.” Kisah Universitas Sangkuriang (fiktif) memberi ilustrasi menarik bagaimana lima prinsip SPMI dapat diimplementasikan secara efektif untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang inovatif dan adaptif terhadap perubahan.
Dengan keberhasilan dalam penguatan SPMI, Universitas Sangkuriang kini semakin percaya diri dalam membangun sistem mutu di tengah persaingan global. Menjaga relevansi tanpa mengorbankan tradisi, universitas ini menunjukkan bahwa dengan komitmen dan visi yang jelas, perguruan tinggi dapat menjadi pelopor dalam mencetak lulusan yang unggul dan bermakna bagi bangsa.
Lima prinsip SPMI adalah fondasi yang tak tergoyahkan, menjadi obor yang menerangi jalan menuju masa depan pendidikan yang gemilang. Stay Relevant!
Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi