بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) menjadi pilar penting dalam menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 Pasal 68 mewajibkan setiap perguruan tinggi menerapkan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) sebagai bagian dari komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan secara berkelanjutan (continuous improvement).
Namun, implementasi kebijakan ini sering menghadapi berbagai kendala dan tantangan di lapangan. Perbedaan sumber daya (resources), kapabilitas, dan komitmen di antara perguruan tinggi menyebabkan pelaksanaan siklus PPEPP berjalan tidak seragam. Beberapa perguruan tinggi, terutama di daerah dengan keterbatasan sumber daya, sulit menjalankan seluruh tahapan siklus PPEPP secara optimal.
Dalam konteks inilah, teori inkrementalisme Charles E. Lindblom menjadi penting untuk dikaji. Lindblom berargumen bahwa kebijakan publik sering berkembang melalui penyesuaian bertahap, sedikit demi sedikit, bukan perubahan besar dan radikal. Penerapan SPMI dapat dipahami sebagai proses inkremental-adaptif, di mana perbaikan mutu terjadi secara bertahap berdasarkan pengalaman dan evaluasi yang dilakukan secara terus menerus.
Baca juga: Menakar Keberhasilan SPMI: Efektifkah Siklus PPEPP?
Teori inkrementalisme dari Charles E. Lindblom menyatakan bahwa kebijakan publik lebih sering diimplementasikan melalui penyesuaian kecil dan bertahap daripada perubahan menyeluruh dan radikal.
Hal diatas dilakukan karena pembuat kebijakan dihadapkan pada keterbatasan waktu, informasi, dan sumber daya (resources) sehingga tidak memungkinkan untuk merumuskan solusi optimal secara langsung dan komprehensif.
Dalam pelaksanaannya, para decision maker cenderung mengambil langkah-langkah “pragmatis” dengan mendasarkan kebijakan baru pada kebijakan lama yang telah dibuat sebelumnya. Hal ini menyebabkan terjadi kondisi adaptasi secara bertahap, sehingga kebijakan dapat berkembang dinamis dan mampu mengatasi berbagai kendala yang muncul di lapangan.
Dalam konteks lembaga pendidikan tinggi di Indonesia, implementasi SPMI tidak dapat secepatnya mencapai standar tinggi dalam waktu singkat. Perguruan tinggi umumnya melakukan perbaikan bertahap, sedikit demi sedikit berdasarkan pengalaman dan kendala yang ditemukan selama proses evaluasi. Pendekatan inkremental seperti ini memungkinkan siklus PPEPP menjadi lebih realistis dengan kondisi aktual yang dihadapi oleh masing-masing perguruan tinggi.
Siklus PPEPP merupakan proses iteratif. Proses PPEPP di perguruan tinggi menggambarkan pendekatan bertahap yang diusung oleh Charles E. Lindblom. Pada tahap awal implementasi, perguruan tinggi mungkin hanya fokus pada penetapan dan pelaksanaan standar (dalam PPEPP). Contoh, perguruan tinggi memulai tahapan dengan menyusun standar untuk program studi dan memperkenalkan mekanisme awal pelaksanaan (dalam PPEPP) tanpa memprioritaskan evaluasi mendalam.
Dalam perjalanan kemudian, perguruan tinggi mulai memprioritaskan evaluasi dan pengendalian standar (dalam PPEPP) setelah siklus penetapan dan pelaksanaan dilakukan. Misalnya, setelah menjalankan siklus PPEPP pertama, perguruan tinggi mungkin belajar dan menyadari bahwa standar awal tidak relevan dengan praktik aktual. Selanjutnya dilakukan penyesuaian melalui evaluasi untuk memperbaiki standar (kebijakan) dan perbaikan proses penerapannya.
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Akan tetapi, tantangan berikutnya muncul ketika penyesuaian bertahap tidak diikuti dengan perubahan nyata. Dalam beberapa kasus, institusi pendidikan tinggi terjebak dalam rutinitas administratif belaka, mereka fokus hanya pada pemenuhan dokumen tanpa menghasilkan peningkatan standar yang signifikan. Sebagai ilustrasi, persyaratan akreditasi hanya dipenuhi dokumen formal tanpa perubahan substantif dalam pengajaran atau riset, siklus PPEPP berisiko menjadi sekadar rutinitas birokratis tanpa “impact” signifikan terhadap mutu pendidikan.
Baca juga: Integrasi Konsep McKinsey 7S untuk Penguatan SPMI
Sesuai dengan konsep inkrementalisme dari Lindblom, implementasi kebijakan SPMI membutuhkan kompromi antara berbagai aktor di perguruan tinggi, seperti pejabat pimpinan, dosen, dan tenaga kependidikan. Setiap kelompok memiliki kepentingan dan prioritas yang berbeda beda, sehingga komunikasi-negosiasi dan penyesuaian menjadi proses penting dalam penerapan kebijakan SPMI. Sebagai ilustrasi, pimpinan mungkin fokus pada pencapaian akreditasi institusi, sementara dosen lebih fokus pada peningkatan kegiatan penelitian dan pengajaran.
Resistensi (penolakan) dapat terjadi ketika kebijakan diterapkan secara ambisius atau perubahan drastis tanpa mempertimbangkan kesiapan dan kepentingan masing-masing kelompok (aktor).
Sebagai contoh, apabila perguruan tinggi langsung menetapkan target penelitian internasional tanpa memperhatikan keterbatasan sumber daya dosen, kebijakan tersebut berpotensi ditolak dan sulit diimplementasikan. Proses negosiasi membantu memastikan bahwa setiap kelompok (aktor) merasa dilibatkan dan berkomitmen dalam pencapaian target-target standar mutu (SPMI).
Dengan pola inkremental, perguruan tinggi dapat membangun komitmen secara bertahap melalui uji coba dan perbaikan secara terus menerus. Misalnya, pada tahap awal, pimpinan menetapkan standar SPMI yang rendah dan meningkatkan secara bertahap seiring dengan peningkatan kapasitas dosen dan staf. Pola ini memungkinkan semua pihak beradaptasi secara bertahap, mengurangi resistensi, dan menciptakan kolaborasi untuk mencapai peningkatan mutu yang berkelanjutan (Kaizen)
Evaluasi (dalam PPEPP) merupakan elemen penting dalam SPMI. Elemen ini konsisten dengan prinsip inkrementalisme. Setiap tahap siklus, evaluasi memberikan umpan balik yang digunakan untuk memperbaiki kebijakan di masa depan. Melalui evaluasi (Audit dan Monev), perguruan tinggi dapat mengidentifikasi kesenjangan (gap) dan kendala, seperti rendahnya partisipasi dosen dalam proses PPEPP atau ketidakselarasan antara standar mutu internal dengan tuntutan akreditasi nasional.
Berdasarkan hasil evaluasi, melalui temuan audit, asesmen dan monev, perguruan tinggi dapat menyesuaikan kebijakan agar lebih relevan dan operasional di siklus berikutnya. Contoh, jika keterlibatan dosen dalam penelitian dinilai rendah, kebijakan dapat diubah untuk memberikan insentif penelitian atau pelatihan tambahan tentang metodologi riset. Dengan perbaikan bertahap ini, implementasi PPEPP dapat terus berkembang dan selaras dengan kebutuhan dan tantangan di masa yang akan datang.
Baca juga: Kritisi AMI, di Balik Kegagalan Mutu Perguruan Tinggi
Walaupun pendekatan inkrementalisme memberikan fleksibilitas dalam implementasi SPMI, namun ada risiko bahwa penyesuaian inkremental tidak berakhir indah, hanya mampu “jalan di tempat”.
Beberapa lembaga perguruan tinggi mungkin hanya mampu fokus pada kepatuhan administratif, seperti pemenuhan kelengkapan dokumen SPMI untuk akreditasi, tanpa menghasilkan perbaikan nyata dalam mutu pendidikan. Hal ini terjadi bila setiap siklus PPEPP hanya diperlakukan sebagai prosedur rutin tanpa mempertimbangkan dampak nyata terhadap mutu Tri Dharma seperti pendidikan-pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat.
Evaluasi (dalam PPEPP) yang dilakukan secara dangkal juga berpotensi membuat perubahan menjadi sekadar formalitas tanpa memberikan dampak signifikan terhadap perbaikan mutu pendidikan. Contoh, perguruan tinggi mampu menyelesaikan tahap evaluasi hanya untuk memenuhi syarat akreditasi, namun tidak menggunakan hasil evaluasi tersebut (temuan) untuk memperbaiki kelemahan yang ada. Meskipun langkah ini secara administratif dianggap mematuhi regulasi, namun perubahan yang dihasilkan tidak relevan, tidak sesuai dengan tuntutan perubahan lingkungan.
Oleh sebab itu, penting bagi institusi untuk memastikan bahwa setiap langkah dalam siklus PPEPP menghasilkan “impact” konkret dan terukur. Misal, evaluasi dapat mengidentifikasi bahwa tingkat keterlibatan dosen dalam penelitian rendah. Untuk merespon hal tersebut, perguruan tinggi bisa merancang kebijakan baru, seperti memberikan insentif atau alokasi waktu khusus untuk mendukung kegiatan riset.
Pelaksanaan SPMI melalui pendekatan inkrementalisme menekankan bahwa peningkatan mutu pendidikan tinggi merupakan proses perbaikan terus menerus dan adaptif. Perguruan tinggi perlu menyadari bahwa transformasi tidak mudah seperti membalik telapak tangan, tetapi melalui langkah-langkah kecil, sedikit demi sedikit yang sistematis dan terarah. Setiap tahapan dalam siklus PPEPP memungkinkan perguruan tinggi untuk mengevaluasi hasil yang dicapai dan mengambil tindakan yang sesuai dengan kebutuhan yang berkembang.
Langkah dan penyesuaian bertahap ini tidak boleh menjadi alasan untuk stagnasi. Perguruan tinggi harus tetap fokus pada tujuan jangka panjang, visi-misi dan menghindari jebakan rutinitas administratif. Tanpa pemantauan (monitoring) dan komitmen yang berkelanjutan, pelaksanaan siklus PPEPP dapat berhenti (jalan di tempat), tanpa membawa perubahan nyata pada mutu pendidikan. Oleh karena itu, evaluasi berkelanjutan dan perbaikan yang konsisten wajib harus ada.
Perubahan kecil yang dilakukan secara terus menerus akan membentuk dasar yang kokoh untuk perbaikan mutu di masa depan.
“Continuous improvement is better than delayed perfection,” sebagaimana ungkapan yang menggambarkan bahwa perbaikan kecil namun konsisten lebih efektif daripada menunggu perubahan sempurna namun tidak kunjung datang. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi