Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi merupakan komponen krusial dalam menjaga dan meningkatkan kualitas pendidikan.
Implementasi SPMI yang efektif memerlukan pemahaman mendalam, keterampilan yang relevan, dan komitmen dari seluruh anggota institusi.
Metode pelatihan yang digunakan untuk menguatkan SPMI haruslah efektif dan sesuai dengan karakteristik peserta pelatihan, yang dalam konteks ini kebanyakan adalah orang dewasa.
Andragogi, atau teori pembelajaran orang dewasa, menawarkan pendekatan yang tepat untuk tujuan ini.
Andragogi, yang dipelopori oleh Malcolm Knowles, menekankan beberapa prinsip utama yang membedakan pembelajaran orang dewasa dari pembelajaran anak-anak (pedagogi):
Pelatihan berbasis Andragogi menawarkan pendekatan yang efektif untuk menguatkan SPMI di perguruan tinggi.
Dengan memanfaatkan prinsip-prinsip Andragogi, pelatihan SPMI dapat dirancang untuk lebih relevan, interaktif, dan berfokus pada pemecahan masalah nyata yang dihadapi oleh institusi pendidikan.
Metode pelatihan ini tidak hanya meningkatkan pemahaman dan keterampilan peserta tetapi juga mendorong komitmen mereka dalam mengimplementasikan SPMI secara efektif di lingkungan kerja mereka.
Dengan demikian, perguruan tinggi dapat mencapai peningkatan mutu yang berkelanjutan dan menghasilkan lulusan yang kompeten dan siap menghadapi tantangan di dunia nyata. Stay Relevant!
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan elemen kunci dalam memastikan mutu pendidikan tinggi. SPMI bertujuan untuk menjamin bahwa proses pendidikan dan layanan akademik memenuhi standar yang ditetapkan, serta berfokus pada perbaikan berkelanjutan (kaizen).
Untuk mencapai tujuan tersebut, tidak hanya diperlukan sistem, standar dan prosedur yang efektif tetapi juga “budaya organisasi” yang mendukung SPMI.
Artikel singkat ini, mencoba membahas bagaimana budaya mutu organisasi, berdasarkan teori Edgar Schein, dapat memperkuat implementasi SPMI di perguruan tinggi.
Edgar Schein, seorang ahli psikologi organisasi, menjelaskan bahwa budaya organisasi terdiri dari 3 (tiga) tingkat (level): artefak, nilai-nilai yang dinyatakan, dan asumsi-asumsi dasar.
Teori ini memberikan kerangka (framework) untuk memahami bagaimana budaya organisasi terbentuk, dipelihara, dan berfungsi.
Berdasarkan teori diatas (3 level budaya organisasi), berikut penjelasan dan contoh-contohnya:
Artefak dalam organisasi pendidikan, seperti ruang kelas, fasilitas, dan cara penyampaian materi, memainkan peran penting dalam membentuk budaya mutu.
Untuk memperkuat SPMI, perguruan tinggi harus menciptakan artefak yang mencerminkan komitmen terhadap kualitas.
Contohnya, desain ruang belajar yang mendukung interaksi aktif dan akses mudah ke sumber daya dapat mencerminkan nilai-nilai kualitas pendidikan.
Implementasi: Perguruan tinggi dapat menata ruang kelas yang memfasilitasi pembelajaran kolaboratif, menyediakan teknologi terbaru, dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pembelajaran.
Upacara dan penghargaan yang berfokus pada pencapaian kualitas juga dapat memperkuat pesan ini.
Nilai-nilai yang dinyatakan seperti komitmen terhadap kualitas, keunggulan akademik, dan integritas harus diungkapkan secara jelas dalam dokumen kebijakan, visi, dan misi.
Agar SPMI efektif, nilai-nilai ini perlu diterjemahkan ke dalam kebijakan dan prosedur yang jelas.
Implementasi: Perguruan tinggi harus memastikan bahwa nilai-nilai kualitas diintegrasikan dalam setiap aspek operasi mereka, termasuk kurikulum, penilaian, dan evaluasi kinerja.
Pelatihan untuk staf akademik dan administrasi juga penting untuk memastikan bahwa nilai-nilai ini dipahami dan diterapkan.
Asumsi-asumsi dasar adalah keyakinan yang mendasar dan sering kali tidak disadari yang mempengaruhi perilaku dalam organisasi.
Dalam konteks SPMI, asumsi ini dapat berkisar pada pemahaman tentang pentingnya kualitas, tanggung jawab individu, dan peran evaluasi.
Implementasi: Untuk memperbaiki asumsi-asumsi dasar, perguruan tinggi perlu melakukan refleksi mendalam tentang budaya mereka dan bagaimana asumsi tersebut mempengaruhi praktik sehari-hari.
Misalnya, jika asumsi dasar adalah bahwa kualitas dapat dicapai tanpa evaluasi yang ketat, perguruan tinggi harus mengubah pandangan ini dengan menekankan pentingnya evaluasi dan umpan balik dalam proses perbaikan berkelanjutan.
Misalkan sebuah perguruan tinggi ABC mencoba menerapkan budaya mutu dengan mengikuti prinsip-prinsip yang diuraikan dalam teori Schein.
Perguruan Tinggi ABC memulai langkah ini dengan memperbarui artefak, seperti mendesain ruang kelas, adopsi teknologi terbaru dan mendirikan pusat inovasi untuk pengajaran dan pembelajaran.
Nilai-nilai kualitas kemudian dinyatakan dalam kebijakan SPMI dan misi Perguruan Tinggi ABC, dengan penekanan pada keunggulan akademik dan perbaikan berkelanjutan.
Dalam menghadapi asumsi dasar yang mungkin menganggap bahwa evaluasi tidak selalu diperlukan, perguruan tinggi mengadakan workshop dan pelatihan untuk meningkatkan pemahaman tentang pentingnya umpan balik dan evaluasi dalam mencapai standar kualitas.
“Dengan menanamkan nilai-nilai mutu dalam artefak dan asumsi dasar, seperti yang diuraikan oleh Schein, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa SPMI bukan hanya prosedur, tetapi bagian dari budaya organisasi.”
Penguatan SPMI melalui budaya mutu organisasi memerlukan pendekatan yang holistik dan terintegrasi, melibatkan semua tingkat organisasi.
Dengan memahami dan menerapkan teori Edgar Schein tentang budaya organisasi, perguruan tinggi dapat menciptakan lingkungan yang mendukung kualitas pendidikan dan layanan akademik.
Melalui pengembangan artefak yang mendukung, peneguhan nilai-nilai yang dinyatakan, dan penanganan asumsi-asumsi dasar, perguruan tinggi dapat memperkuat implementasi SPMI dan mencapai tujuan kualitas yang lebih tinggi. Stay Relevant!
Instagram: @mutupendidikan
Perguruan tinggi di Indonesia menghadapi tantangan yang semakin kompleks seiring dengan meningkatnya persaingan global dan tuntutan kualitas pendidikan yang lebih tinggi.
Dalam era yang penuh ketidakpastian ini (VUCA), perguruan tinggi dituntut untuk terus mengembangkan strategi agar tetap relevan.
Baca juga: Dampak VUCA Terhadap SPMI
Untuk tetap relevan dan unggul, lembaga pendidikan perlu mengadopsi pendekatan inovatif dalam sistem penjaminan mutu internal (SPMI).
Salah satu pendekatan “yang potensial” adalah mengintegrasikan Blue Ocean Strategy ke dalam SPMI, untuk menciptakan nilai baru dan ruang pasar baru yang belum terjamah.
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah serangkaian proses yang dirancang untuk memastikan bahwa semua aspek pendidikan, mulai dari kurikulum, proses belajar mengajar hingga layanan mahasiswa, memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan.
SPMI bertujuan untuk menciptakan budaya peningkatan berkelanjutan (kaizen) melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar).
Ketentuan SPMI diatur dalam Permendikbudristek nomor 53 tahun 2023 pasal 67 sampai pasal 70.
Blue Ocean Strategy, dikembangkan oleh W. Chan Kim dan Renée Mauborgne, adalah strategi bisnis yang menekankan penciptaan ruang pasar baru yang bebas dari persaingan.
Alih-alih bersaing di pasar yang sudah jenuh (red ocean), strategi ini mendorong organisasi untuk mengeksplorasi peluang baru melalui inovasi nilai, yang melibatkan pengurangan biaya sekaligus meningkatkan nilai (value) bagi pelanggan.
Integrasi Blue Ocean Strategy ke dalam SPMI dapat dilakukan dengan beberapa langkah-langkah strategis yang menciptakan nilai baru dan meningkatkan mutu pendidikan di perguruan tinggi.
Untuk lebih jelasnya, berikut adalah langkah-langkah integrasi tersebut:
SPMI harus menetapkan standar yang tidak hanya berfokus pada pemenuhan “minimum requirement“, tetapi juga mendorong inovasi dan diferensiasi. Perguruan tinggi harus melakukan transformasi secara terus menerus dan memperbaiki proses diferensiasinya (penciri, kekhasan, keunikan)
Perguruan tinggi dapat mengidentifikasi area-area yang belum dimanfaatkan sepenuhnya dan menetapkan “standar tinggi” untuk menciptakan program-program unik yang menarik.
Mengembangkan kurikulum yang unik dan inovatif merupakan kunci dalam Blue Ocean Strategy. Perguruan tinggi harus menciptakan program studi baru yang relevan dengan perkembangan industri dan teknologi, seperti misalnya program studi kesehatan digital, kewirausahaan sosial, atau teknologi hijau.
Program-program ini harus dirancang dengan masukan dari pemangku kepentingan industri untuk memastikan relevansi dan aplikasi praktisnya.
Menerapkan metode pembelajaran yang inovatif dan interaktif adalah langkah penting lainnya. Perguruan tinggi dapat mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran, seperti e-learning, LMS, virtual labs, dan simulasi dan lain sebagainya.
Selain itu, pembelajaran berbasis proyek dan kolaborasi dengan industri akan dapat memberikan pengalaman nyata kepada mahasiswa (seperti program MBKM).
Evaluasi dalam SPMI harus berfokus pada dampak nyata dari program studi dan kegiatan akademik. Menggunakan prinsip Pareto, perguruan tinggi dapat mengidentifikasi 20% program studi yang memberikan 80% dampak terhadap kualitas dan reputasi institusi.
Fokus evaluasi dan peningkatan pada program-program ini akan memberikan dampak signifikan.
Pengendalian mutu harus fleksibel untuk mengakomodasi inovasi dan perubahan. Perguruan tinggi perlu mengembangkan mekanisme pengendalian yang memungkinkan adaptasi cepat terhadap kebutuhan pasar dan tren industri.
Ini termasuk kemampuan untuk memodifikasi kurikulum, metode pembelajaran, dan evaluasi berdasarkan umpan balik dan hasil analisis data.
Mendorong budaya inovasi dan peningkatan berkelanjutan adalah esensi dari Blue Ocean Strategy. Perguruan tinggi harus membangun ekosistem yang mendukung penelitian dan pengembangan, baik di tingkat fakultas maupun mahasiswa.
Pusat inovasi dan inkubasi bisnis dapat menjadi sarana untuk mengeksplorasi dan mengembangkan ide-ide baru.
Universitas XYZ berhasil mengintegrasikan Blue Ocean Strategy ke dalam SPMI dengan beberapa langkah strategis berikut:
A. Penetapan Standar Inovatif: Universitas XYZ menetapkan “standar mutu tinggi” untuk program studi teknologi kesehatan digital yang belum banyak ditawarkan oleh institusi lain. Program ini dirancang dengan masukan dari ahli industri dan memiliki kurikulum yang dinamis.
B. Pengembangan Kurikulum Berbasis Inovasi: Universitas XYZ mengembangkan program studi kewirausahaan sosial yang menggabungkan teori dan praktik dengan kerjasama industri. Program ini berhasil menarik minat mahasiswa dan mendapatkan pengakuan dari berbagai lembaga.
C. Pelaksanaan Pembelajaran yang Menarik: Universitas XYZ mengintegrasikan pembelajaran berbasis proyek dan teknologi e-learning dalam semua program studi. Mahasiswa diajak untuk berpartisipasi dalam proyek nyata yang relevan dengan industri, meningkatkan keterampilan praktis mereka.
D. Evaluasi Berdasarkan Dampak: Universitas XYZ menggunakan prinsip Pareto untuk fokus pada program studi yang memberikan dampak signifikan terhadap reputasi institusi. Evaluasi berkala dan umpan balik dari pemangku kepentingan memastikan peningkatan berkelanjutan.
E. Pengendalian Mutu yang Adaptif: Universitas XYZ mengembangkan sistem pengendalian mutu yang memungkinkan perubahan cepat dalam kurikulum dan metode pembelajaran berdasarkan analisis data dan umpan balik.
F. Peningkatan Berkelanjutan Melalui Inovasi: Universitas XYZ mendirikan pusat inovasi yang mendukung penelitian dan pengembangan di semua tingkat. Pusat ini menyediakan sumber daya dan bimbingan untuk mengembangkan ide-ide baru dari mahasiswa dan dosen.
Integrasi Blue Ocean Strategy ke dalam SPMI memungkinkan perguruan tinggi untuk tidak hanya memastikan tercapainya target mutu pendidikan tetapi juga menciptakan nilai baru dan keunggulan kompetitif.
Dengan mengadopsi pendekatan ini, perguruan tinggi dapat mengeksplorasi peluang baru, mengembangkan program studi inovatif, dan menciptakan pengalaman belajar yang menarik bagi mahasiswa.
Selain itu, integrasi ini juga membantu institusi perguruan tinggi untuk tetap adaptif terhadap perubahan pasar dan kebutuhan industri, serta mendorong peningkatan berkelanjutan melalui inovasi. Stay Relevant!
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi