Pendahuluan
Dalam pengelolaan perguruan tinggi, tata kelola sering kali terfokus pada aspek struktural dan prosedural—visi misi, rencana strategis, kebijakan akademik, dan sistem penjaminan mutu. Namun di balik itu semua, ada satu elemen penting yang kerap terabaikan: suara stakeholder. Mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, alumni, bahkan mitra industri sesungguhnya adalah sumber informasi yang kaya untuk membantu institusi melihat diri sendiri dari luar dan dari bawah. Ketika suara-suara ini tidak diaktifkan, perguruan tinggi berjalan dalam ruang gema—mendengar hanya suara sendiri.
Dalam teori perilaku organisasi, feedback adalah mekanisme fundamental dalam membentuk perilaku dan membangun budaya adaptif. Robbins dan Judge (2024) menyebutkan bahwa organisasi yang mampu menyerap umpan balik secara aktif cenderung lebih lincah, inovatif, dan relevan. Oleh karena itu, mengaktifkan suara stakeholder bukan sekadar tindakan partisipatif, tetapi strategi manajemen untuk memperkuat siklus evaluasi dan perbaikan berkelanjutan dalam tata kelola.
Lebih dari Sekadar Survei
Banyak institusi telah mengklaim bahwa mereka menerima masukan dari stakeholder, namun sering kali praktik tersebut hanya berhenti pada penyebaran survei tahunan yang diarsipkan tanpa tindak lanjut. Dalam model seperti ini, umpan balik kehilangan maknanya karena tidak berdampak pada keputusan. Stakeholder menjadi responden pasif, bukan mitra dalam pembangunan mutu. Padahal, umpan balik sejatinya adalah bentuk komunikasi dua arah, di mana institusi tidak hanya mendengar, tetapi juga menanggapi dan bertindak.
Mengaktifkan suara stakeholder berarti menciptakan ekosistem keterlibatan yang konsisten. Mahasiswa misalnya, tidak hanya ditanya soal kepuasan layanan, tapi juga dilibatkan dalam forum-forum akademik, diskusi kurikulum, atau perencanaan strategis. Alumni tidak hanya dimintai data penelusuran, tetapi juga diberi ruang untuk menginformasikan kebutuhan dunia kerja yang sedang berkembang. Pendekatan ini mencerminkan prinsip keterbukaan dalam perilaku organisasi, yang diyakini sebagai ciri institusi yang matang secara budaya dan tangguh secara tata kelola.
SPMI: Sistem yang Mendengar dan Merespons
Dalam kerangka Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), stakeholder bukan hanya objek layanan, tetapi juga subjek dalam siklus peningkatan mutu. SPMI yang efektif membuka ruang partisipasi bagi stakeholder melalui proses penetapan dan evaluasi standar. Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 secara eksplisit mendorong perguruan tinggi untuk merancang sistem mutu yang kontekstual, yang artinya harus berbasis kebutuhan dan harapan nyata dari pengguna dan pelaku sistem pendidikan itu sendiri.
Lebih jauh, SPMI yang hidup akan menempatkan hasil umpan balik sebagai bahan baku utama untuk pengendalian dan peningkatan mutu. Ketika mahasiswa menyuarakan kendala dalam sistem perkuliahan daring, misalnya, respons institusi yang terekam dalam dokumentasi PPEPP akan menentukan seberapa besar sistem itu belajar dari suara penggunanya. Inilah yang membedakan SPMI berbasis formalitas dan SPMI berbasis refleksi: yang satu menyimpan keluhan, yang lain mengolahnya menjadi inovasi.
PPEPP dan Dialog Berkelanjutan
Siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan—bukanlah proses yang berjalan dalam ruang hampa. Ia membutuhkan informasi akurat dan relevan sebagai bahan baku utamanya, dan di sinilah umpan balik memainkan peran vital. Evaluasi tanpa data dari stakeholder hanya akan menghasilkan keputusan yang bias internal. Sebaliknya, ketika stakeholder benar-benar diajak berdialog, maka evaluasi menjadi jembatan menuju perubahan yang terarah.
Dalam filosofi kaizen, perbaikan bukanlah reaksi terhadap krisis, melainkan kebiasaan yang dibentuk dari kesadaran terus-menerus terhadap kebutuhan untuk tumbuh. Umpan balik dari stakeholder adalah salah satu cara paling ampuh untuk memelihara kesadaran itu. Ia menjadi cermin yang tidak selalu menyenangkan, tetapi jujur. Dan seperti halnya dalam teori manajemen partisipatif, keterlibatan stakeholder bukan hanya meningkatkan legitimasi keputusan, tetapi juga memperkuat rasa kepemilikan terhadap perubahan yang terjadi.
Penutup
Mengaktifkan suara stakeholder adalah langkah strategis untuk memperkuat evaluasi dan perbaikan dalam tata kelola perguruan tinggi. Ini bukan soal mendengar lebih banyak, tetapi soal mendengar dengan niat untuk berubah. Ketika suara mahasiswa, dosen, alumni, dan mitra eksternal dihargai sebagai sumber informasi strategis, maka institusi akan memiliki pandangan yang lebih jernih terhadap dirinya sendiri.
SPMI memberikan kerangka sistemik untuk menjadikan umpan balik bagian dari siklus mutu. PPEPP menyediakan alur kerja yang memastikan bahwa suara tidak hanya dicatat, tetapi juga direspon. Dan dalam era pendidikan tinggi yang makin dinamis, institusi yang mendengar akan jauh lebih siap daripada yang hanya berbicara. Karena mutu bukan hanya dibangun di dalam ruang rapat, tetapi juga di antara percakapan yang jujur dan terbuka dengan mereka yang kita layani.