
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
SPMI (Sistem Penjaminan Mutu Internal) seringkali dianggap “barang LPM” — urusannya lembaga penjaminan mutu saja. Seolah-olah, selama LPM sibuk dengan akreditasi, kita yang lain tinggal jalanin seperti biasa. Tapi tunggu dulu… bukankah mutu pendidikan itu tanggung jawab semua orang di kampus?
“Quality is everyone’s responsibility,” kutipan terkenal dari Edwards Deming.
Kenyataannya, banyak civitas akademika belum pernah baca, apalagi memahami, isi Kebijakan SPMI. Padahal, dokumen ini bukan cuma pelengkap administrasi — ia adalah kompas strategis bagi seluruh aktivitas akademik dan non-akademik. Kalau kita semua satu visi, kampus bisa melesat lebih cepat!
Baca juga: 7 Fakta Menarik Tentang IKU yang Perlu Kamu Tahu Sebagai Mahasiswa
Ibarat nasi di warteg, Kebijakan SPMI itu ada di mana-mana — di folder, di website, bahkan di laci kantor. Tapi ya itu… kadang keberadaannya dianggap “sekedar ada, sekedar punya”.
Padahal, dokumen ini menjawab pertanyaan mendasar: “Bagaimana kampus ini memahami dan menjalankan mutu?”
SPMI bukan dokumen sakti untuk akreditasi semata. Ia mencerminkan jati diri kampus, mencakup prinsip, strategi, dan cara lembaga menyikapi mutu secara utuh. Kalau hanya LPM yang tahu isinya, bagaimana seluruh civitas bisa bergerak selaras?
Baca juga: Membumikan Strategi Kampus: Semua Unit Paham dan Bergerak Sesuai Arah
Menurut Edward Sallis dalam Total Quality Management in Education, semua orang di kampus punya peran sebagai “penyedia layanan” dalam rantai mutu. Artinya, dosen, tendik, bahkan mahasiswa sendiri — semua adalah aktor mutu.
Kalau hanya LPM yang membaca kebijakan, berarti kita cuma mengandalkan satu supir dalam bus besar. Tanpa keterlibatan aktif dari semua pihak, jangan heran kalau mutu hanya bagus di atas kertas, tapi rapuh di lapangan.
Baca juga: Revisi Dokumen Strategis Kampus: Mana yang Harus Diperbarui Lebih Dulu?
Pernah dengar PPEPP? Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, Peningkatan. Ini bukan sekadar siklus administratif, tapi filsafat mutu yang hidup.
Konsep ini selaras dengan semangat Kaizen dalam TQM — perubahan kecil tapi konsisten. Kalau semua unit kerja menjadikan PPEPP sebagai cara berpikir dan bekerja, maka mutu akan tumbuh dari bawah, bukan dipaksakan dari atas.
Bisakah kehidupan keseharian dalam kampus senantiasa membicarakan standar mutu melalui kerangka kerja PPEPP?
Baca juga: Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik
Sering kali visi-misi lembaga dikemas mewah, tapi cuma dibaca saat visitasi akreditasi. Padahal, kebijakan SPMI harus menjembatani visi besar dengan tindakan nyata di lapangan.
Edward Sallis menekankan pentingnya “constancy of purpose” — konsistensi arah dan tujuan dalam membangun budaya mutu. Tanpa pemahaman dan keterlibatan semua pihak, kebijakan hanya jadi jargon — bukan panduan.
Baca juga: Mission Differentiation: Rahasia Kampus Kecil Bisa Unggul di Tengah Kompetisi Nasional
SPMI bukan proyek eksklusif LPM. Ia adalah gerakan kolektif yang menuntut komitmen dari seluruh civitas akademika. Saatnya kita semua baca dan pahami Kebijakan SPMI, bukan hanya sebagai dokumen, tapi sebagai titik temu visi, tanggung jawab, dan semangat peningkatan berkelanjutan.
Mari kita hidupkan PPEPP dalam aktivitas harian kita. Karena mutu sejati bukan hasil dari inspeksi, tapi buah dari partisipasi. Stay Relevant!
Baca juga: Statuta Sudah Usang? Inilah Cara Cerdas Memulai Transformasi Perguruan Tinggi dari Akar
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi