• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Reformasi Audit Internal: Dari Checklist ke Instrumen Diagnosis

Audit Mutu Internal Pendidikan

Reformasi Audit Internal: Dari Checklist ke Instrumen Diagnosis

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Akibatnya, audit kehilangan ruhnya sebagai bagian penting dari proses reflektif dalam pengelolaan mutu. Di banyak institusi, audit lebih menyerupai agenda tahunan formalitas yang hanya aktif menjelang akreditasi atau evaluasi eksternal.

Dalam teori manajemen organisasi, khususnya dalam pendekatan sistem terbuka, audit bisa dilihat sebagai mekanisme umpan balik (feedback loop) yang membantu organisasi mengenali kesenjangan antara performa aktual dan standar yang diinginkan. Jika audit dilakukan sekadar berdasarkan checklist, maka ia hanya akan menangkap permukaan—tidak menjangkau akar masalah. Maka dibutuhkan reformasi cara pandang: audit bukan kegiatan dokumentatif, melainkan proses belajar organisasi. Sebuah alat untuk “memahami”, bukan hanya mengawasi.

Baca juga: Audit Mutu Internal: Membaca yang Tak Terucap

Melampaui Administrasi

Di balik tabel dan tanda tangan auditor, sesungguhnya ada peluang besar untuk transformasi.

Misalnya, jika ditemukan bahwa banyak mata kuliah belum memiliki RPS terkini, auditor seharusnya tidak berhenti pada catatan “tidak sesuai standar.” Ia perlu menggali lebih dalam: apakah dosen memahami peran RPS? Apakah ada pelatihan? Apakah jadwal penyusunan RPS realistis? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang menjadikan audit lebih dari sekadar proses administrasi.

Pendekatan semacam ini sejalan dengan pemikiran Robbins dan Judge (2024) tentang pentingnya diagnostic role dalam organisasi. Ketika organisasi menghadapi dinamika kompleks, evaluasi yang hanya berbasis kepatuhan prosedural menjadi tidak cukup. Diperlukan cara berpikir kritis, sistemik, dan kontekstual—dan audit internal bisa menjadi wahana pembelajaran kolektif jika dilakukan secara reflektif dan dialogis.

Baca juga: Mengapa Temuan Audit Sering Tak Ditindaklanjuti?

Audit sebagai “Cermin Kolektif”

Ia berperan sebagai penghubung antara pelaksanaan dan pengendalian mutu, sekaligus sebagai alat kontrol diri perguruan tinggi. Sayangnya, banyak institusi yang belum memanfaatkan audit secara optimal dalam SPMI. Audit lebih sering dipahami sebagai kegiatan reaktif, bukan bagian dari desain pembelajaran organisasi yang berkelanjutan.

Padahal, sesuai dengan amanat Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, SPMI adalah kerangka regulatif yang memberikan otonomi dan tanggung jawab kepada institusi untuk merancang dan menjalankan mutu berdasarkan karakteristik masing-masing. Dalam konteks ini, audit internal bisa menjadi sarana untuk menguji konsistensi antara standar yang ditetapkan dan praktik nyata di lapangan. Dengan kata lain, audit berfungsi sebagai “cermin kolektif”—bukan untuk mencari kesalahan, tetapi untuk melihat kenyataan dan merencanakan perbaikan.

PPEPP menjadi panduan operasional Audit Internal yang dapat menghidupkan semangat kaizen.

PPEPP dan Audit: Tools for Action

Siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan—memberi kerangka yang tepat bagi audit untuk berkontribusi pada filosofi kaizen, yakni perbaikan berkelanjutan.

Sebagai contoh, hasil audit bisa menunjukkan bahwa sebagian besar dosen belum melakukan evaluasi pembelajaran secara formatif. Ini tidak cukup hanya dicatat sebagai “temuan.” Melalui PPEPP, data ini bisa dianalisis lebih lanjut, dihubungkan dengan pelatihan dosen yang tersedia, dimasukkan dalam perencanaan peningkatan, dan dipantau ulang pada siklus berikutnya. Dengan pendekatan ini, audit menjadi tools for action, bukan hanya tools for control. Ia mendorong tindakan, bukan sekadar pelaporan.

Baca juga: Auditor AMI: Dibenci atau Disayang?

Penutup

Reformasi audit internal bukan tentang menambahkan lebih banyak formulir atau instrumen evaluasi. Ini tentang mengubah orientasi: dari kepatuhan ke pemahaman, dari pengawasan ke pembelajaran, dari formalitas ke refleksi.

SPMI menyediakan kerangka yang memadai, dan PPEPP menjadi panduan operasional yang dapat menghidupkan semangat kaizen. Saat audit internal dijalankan sebagai proses diagnosis organisasi, maka mutu bukan lagi sekadar skor akreditasi—melainkan budaya, motivasi, energi, praktik, dan identitas bersama. Di sinilah transformasi mutu sesungguhnya bermula: bukan dari apa yang kita catat, tapi dari apa yang kita sadari, kita refleksikan, kita perjuangkan dan kita tingkatkan. Stay Relevant!


Daftar Pustaka

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. International Organization for Standardization. (2018). Guidelines for auditing management systems (ISO Standard No. 19011:2018). ISO.
  4. OpenAI. (2025). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  5. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  6. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2024). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  7. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  8. Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes. Harvard University Press.
  9. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

admin

MOTTO: Senantiasa bergerak dan berempati untuk menebar manfaat bagi Mutu Pendidikan di Indonesia