
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Audit internal dalam perguruan tinggi sering kali dipahami secara sempit sebagai rutinitas administratif—sekadar mengisi formulir, mencocokkan dokumen, dan memastikan kesesuaian terhadap standar tertulis.
Akibatnya, audit kehilangan ruhnya sebagai bagian penting dari proses reflektif dalam pengelolaan mutu. Di banyak institusi, audit lebih menyerupai agenda tahunan formalitas yang hanya aktif menjelang akreditasi atau evaluasi eksternal.
Padahal, dalam kerangka manajemen modern, audit seharusnya menjadi instrumen diagnosis yang mendalam, layaknya pemeriksaan laboratorium terhadap kondisi organisasi secara menyeluruh.
Dalam teori manajemen organisasi, khususnya dalam pendekatan sistem terbuka, audit bisa dilihat sebagai mekanisme umpan balik (feedback loop) yang membantu organisasi mengenali kesenjangan antara performa aktual dan standar yang diinginkan. Jika audit dilakukan sekadar berdasarkan checklist, maka ia hanya akan menangkap permukaan—tidak menjangkau akar masalah. Maka dibutuhkan reformasi cara pandang: audit bukan kegiatan dokumentatif, melainkan proses belajar organisasi. Sebuah alat untuk “memahami”, bukan hanya mengawasi.
Di balik tabel dan tanda tangan auditor, sesungguhnya ada peluang besar untuk transformasi.
Audit internal yang efektif mampu mengungkap penyebab mendasar dari penurunan kinerja atau stagnasi mutu.
Misalnya, jika ditemukan bahwa banyak mata kuliah belum memiliki RPS terkini, auditor seharusnya tidak berhenti pada catatan “tidak sesuai standar.” Ia perlu menggali lebih dalam: apakah dosen memahami peran RPS? Apakah ada pelatihan? Apakah jadwal penyusunan RPS realistis? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang menjadikan audit lebih dari sekadar proses administrasi.
Pendekatan semacam ini sejalan dengan pemikiran Robbins dan Judge (2024) tentang pentingnya diagnostic role dalam organisasi. Ketika organisasi menghadapi dinamika kompleks, evaluasi yang hanya berbasis kepatuhan prosedural menjadi tidak cukup. Diperlukan cara berpikir kritis, sistemik, dan kontekstual—dan audit internal bisa menjadi wahana pembelajaran kolektif jika dilakukan secara reflektif dan dialogis.
Dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), audit internal memiliki posisi strategis sebagai salah satu tahapan kunci dalam siklus PPEPP.
Ia berperan sebagai penghubung antara pelaksanaan dan pengendalian mutu, sekaligus sebagai alat kontrol diri perguruan tinggi. Sayangnya, banyak institusi yang belum memanfaatkan audit secara optimal dalam SPMI. Audit lebih sering dipahami sebagai kegiatan reaktif, bukan bagian dari desain pembelajaran organisasi yang berkelanjutan.
Padahal, sesuai dengan amanat Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, SPMI adalah kerangka regulatif yang memberikan otonomi dan tanggung jawab kepada institusi untuk merancang dan menjalankan mutu berdasarkan karakteristik masing-masing. Dalam konteks ini, audit internal bisa menjadi sarana untuk menguji konsistensi antara standar yang ditetapkan dan praktik nyata di lapangan. Dengan kata lain, audit berfungsi sebagai “cermin kolektif”—bukan untuk mencari kesalahan, tetapi untuk melihat kenyataan dan merencanakan perbaikan.
Siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan—memberi kerangka yang tepat bagi audit untuk berkontribusi pada filosofi kaizen, yakni perbaikan berkelanjutan.
Di dalam PPEPP, audit menjadi bagian dari proses evaluatif yang bukan hanya mencatat hasil, tetapi juga menelusuri proses. Dari sini, organisasi bisa mengidentifikasi kesenjangan sistemik, menyusun intervensi, dan mengembangkan praktik baik secara terukur.
Sebagai contoh, hasil audit bisa menunjukkan bahwa sebagian besar dosen belum melakukan evaluasi pembelajaran secara formatif. Ini tidak cukup hanya dicatat sebagai “temuan.” Melalui PPEPP, data ini bisa dianalisis lebih lanjut, dihubungkan dengan pelatihan dosen yang tersedia, dimasukkan dalam perencanaan peningkatan, dan dipantau ulang pada siklus berikutnya. Dengan pendekatan ini, audit menjadi tools for action, bukan hanya tools for control. Ia mendorong tindakan, bukan sekadar pelaporan.
Baca juga: Auditor AMI: Dibenci atau Disayang?
Reformasi audit internal bukan tentang menambahkan lebih banyak formulir atau instrumen evaluasi. Ini tentang mengubah orientasi: dari kepatuhan ke pemahaman, dari pengawasan ke pembelajaran, dari formalitas ke refleksi.
Dalam ekosistem mutu yang dinamis seperti perguruan tinggi, audit harus menjadi alat organisasi untuk “mengenali dirinya”, bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk bertumbuh.
SPMI menyediakan kerangka yang memadai, dan PPEPP menjadi panduan operasional yang dapat menghidupkan semangat kaizen. Saat audit internal dijalankan sebagai proses diagnosis organisasi, maka mutu bukan lagi sekadar skor akreditasi—melainkan budaya, motivasi, energi, praktik, dan identitas bersama. Di sinilah transformasi mutu sesungguhnya bermula: bukan dari apa yang kita catat, tapi dari apa yang kita sadari, kita refleksikan, kita perjuangkan dan kita tingkatkan. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan