Ethic Clearance: Pondasi yang Hilang di Balik Ledakan Publikasi

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Ethic Clearance: Pondasi yang Hilang di Balik Ledakan Publikasi

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen UHW Perbanas Surabaya

Lonjakan publikasi belum tentu kabar baik jika fondasi etiknya rapuh. Ethic clearance hadir sebagai penopang utama mutu riset yang bisa dipercaya.

Pasca munculnya sejumlah perguruan tinggi Indonesia dalam daftar red flag lembaga pemantau publikasi internasional, banyak pihak mulai mengevaluasi dan melihat ulang wajah riset kita hari ini. Tetap optimis, tetap bersemangat. Tidak sedikit kampus yang kemudian berinisiatif memperbaiki sistem, termasuk dengan membentuk KEP (Komite Etik Penelitian). Contoh saat ini, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, resmi meluncurkan KEP pada 18 Juli 2025. Langkah ini memberi semangat baru: bahwa etika dalam riset bukan sekadar harapan utopis, tapi kebutuhan nyata yang harus segera di implementasikan.

Ledakan angka publikasi selama beberapa tahun terakhir memang sangat menggembirakan dan patut diapresiasi. Namun, di tengah semua pencapaian itu, muncul pertanyaan: sudahkah riset-riset tersebut didukung oleh pondasi etik yang kokoh? Ataukah kita berlari terlalu kencang, sampai lupa memastikan bahwa langkah-langkah kita belum berpijak nilai-nilai yang seharusnya dijaga dan dirawat?

Ethic Clearance

Ethic clearance (ethical review atau IRB approval) pada intinya adalah izin etik yang ditetapkan oleh sebuah komite etik penelitian—untuk mengevaluasi apakah sebuah proposal riset layak diteruskan dari sisi etis, bukan hanya metodologis. Terutama jika riset-riset tersebut melibatkan manusia, data-data sensitif, atau kelompok rentan. Di balik surat ijin persetujuan itu, terdapat pertimbangan yang sangat penting: bagaimana riset menjaga martabat, keselamatan, dan hak subjek penelitian. Tentu saja tanpa menghambat kemajuan ilmu pengetahuan.

Dalam buku Responsible Conduct of Research karya Adil E. Shamoo dan David B. Resnik, ethic review seperti ini digambarkan sebagai faktor penting dari penelitian yang bertanggung jawab. Shamoo menjelaskan bahwa riset yang baik tidak hanya dinilai dari output akhirnya, tetapi dari rangkaian seluruh proses—sejak rancangan awal, cara memperoleh data, sampai bagaimana peneliti memperlakukan para partisipan.

Shamoo dan Resnik juga menekankan pentingnya perilaku seperti kejujuran, akurasi, dan keadilan dalam kegiatan penelitian. Mereka percaya bahwa ethic clearance adalah bagian dari sistem yang mencegah pelanggaran sejak dini, dan bukan sekadar pelengkap administratif. Dengan kata lain, ethic clearance adalah bentuk perlindungan menyeluruh—bagi subjek riset, bagi para peneliti, dan bagi citra/ nama baik institusi.

Prestasi dan Refleksi

Peningkatan karya publikasi ilmiah di Indonesia merupakan pencapaian yang patut dihargai. Namun, ketika publikasi menjadi tolok ukur utama, bahkan satu-satunya, dalam menilai kualitas akademik, muncul kekhawatiran baru. Tanpa disadari, orientasi riset bisa berubah: dari mencari pengetahuan menjadi mengejar angka. Ketika itu terjadi, proses etis yang seharusnya menjadi fondasi riset sering kali dikesampingkan karena dianggap memperlambat proses penelitian.

Di sinilah ethic clearance menjadi penting. Bukan untuk menghambat atau memperumit langkah peneliti, melainkan untuk memastikan bahwa semua langkah diambil dengan sadar dan bertanggung jawab. Riset tidak boleh lahir dari tekanan semata, melainkan dari semangat intelektual dan kepedulian terhadap sesama.

Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, pasal 55, sebenarnya telah memuat mandat tentang pentingnya kode etik penelitian dan penjaminan mutu. Namun, seperti yang kita harapkan bersama, etika dalam riset tidak cukup berhenti pada regulasi. Ia harus hidup dalam praktik, harus dilaksanakan, dalam keputusan-keputusan kecil yang diambil setiap hari oleh peneliti, pembimbing, reviewer, dan institusi.

Etika sebagai Budaya

Membentuk komite etik dan menerapkan ethic clearance secara sistematis memang bukan persoalan mudah seperti membalik telapak tangan. Tapi itu langkah awal, langkah penting yang harus segera dimulai. Mulai dari memberi pelatihan etika kepada mahasiswa, tendik dan dosen. Menyusun SOP dan sistem informasi yang jelas untuk pengajuan izin etik. Memasukkan penilaian etik sebagai bagian dari evaluasi mutu riset. Semua itu adalah upaya untuk menjadikan etika sebagai bagian integral dari budaya akademik, bukan sekadar formalitas kewajiban administratif.

Kita tidak sedang kekurangan peneliti cerdas. Yang kita butuhkan adalah sistem yang memberi ruang untuk refleksi dan rambu-rambu. Karena di dunia akademik, yang paling penting bukan seberapa cepat kita menerbitkan, tapi seberapa besar dampak dan kepercayaan (trust) yang bisa kita bangun dari karya itu.

Ethic clearance bukan penghambat inovasi. Justru sebaliknya, ia adalah pengingat bahwa ilmu pengetahuan sejati selalu lahir dari tanggung jawab. Bukan hanya tanggung jawab kepada institusi atau sponsor, tapi kepada manusia yang jadi subjek riset, kepada masyarakat yang terdampak, dan kepada masa depan peradaban yang akan membaca hasil-hasil penelitian tersebut.

Penutup

Hari ini, kita mungkin sedang belajar membangun ulang semua pondasi itu. Langkah-langkah kecil seperti pembentukan komite etik, peningkatan literasi etika, dan perbaikan regulasi adalah titik awal dari perbaikan yang lebih besar. Jalan masih panjang, tetaplah optimis, upaya, arah dan komitmen sudah mulai terlihat.

Etika tidak akan pernah menghambat kemajuan ilmu. Justru ia menjadi pelita, penuntun, agar kemajuan itu tidak kehilangan arah. Agar kemajuan itu memberi dampak yang positif bagi segenap pemangku kepentingan.

Jika kita ingin riset Indonesia dipercaya di dunia, bukan hanya banyak, tapi juga kredibel—ethic clearance adalah salah satu pondasi yang tidak bisa diabaikan. Dan untuk memastikan hal itu berkesinambunan (tidak sebatas inisiatif temporer), kita memerlukan standar Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) yang secara eksplisit mewadahi dan memandu pelaksanaan ethic clearance. SPMI ini penting sebagai acuan dan penguat komitmen manajemen jangka panjang, bukan hanya untuk menjamin konsistensi antarunit di dalam kampus, tetapi juga sebagai langkah strategis dalam peningkatan mutu riset nasional yang berakar pada nilai-nilai etik dan integritas.

Dengan membangun SPMI yang handal, kita tidak hanya membenahi wajah riset hari ini, tapi juga menyiapkan fondasi yang kokoh untuk mencetak generasi akademik di masa depan. Stay Relevant!

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Scroll to Top