بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Turbulensi kampus bukan soal jumlah mahasiswa semata. Bahaya sesungguhnya ada saat kita masih terjebak logika kemarin.
Kalau kita melihat data resmi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, jumlah mahasiswa perguruan tinggi swasta (PTS) memang sempat menurun pada 2024. Secara nasional penurunan itu tampak hanya sekitar dua persen. Tapi jangan buru-buru menyepelekannya. Angka nasional hanyalah rata-rata; di baliknya ada kampus-kampus yang kehilangan ratusan bahkan ribuan mahasiswa baru, hingga harus mengurangi kelas dan jumlah dosen. Sementara itu, perguruan tinggi negeri justru terus tumbuh, mencapai hampir 3,9 juta mahasiswa, sebagian karena mereka membuka lebih banyak jalur penerimaan mandiri. Kalau tren ini berlanjut, jelas bukan sekadar fluktuasi, tapi sinyal bahwa cara lama dalam mengelola kampus sudah tidak lagi memadai.
Dan ingat, bukan berarti kampus negeri (PTN) bisa duduk tenang. Walaupun mereka tidak kekurangan peminat, jebakan yesterday’s logic bisa datang kapan saja. Bila tidak hati-hati, cepat atau lambat, mahasiswa akan merasa pengalaman belajar di kampus negeri tidak relevan dengan kebutuhan zaman, kepercayaan bisa terkikis. Karena itu, baik negeri maupun swasta perlu sama-sama waspada.
Masalah ini semakin terasa karena kondisi ekonomi sedang tidak baik-baik saja. Banyak keluarga mengalami penurunan daya beli, sebagian bahkan menunda atau membatalkan rencana menyekolahkan anak ke perguruan tinggi. Fenomena ini membuat kompetisi antar kampus semakin keras, sekaligus memperlihatkan betapa rapuhnya pola lama yang hanya mengandalkan spanduk, brosur, atau reputasi semata.
Di tengah situasi ini, kita bisa belajar dari peringatan Peter Drucker:
“The greatest danger in times of turbulence is not the turbulence itself, but to act with yesterday’s logic.”
Bahaya terbesar bukanlah gejolak lingkungan eksternal dan internal, melainkan jika kita masih bersikeras memakai logika kemarin untuk menghadapi tantangan hari ini. Kata-kata ini terasa sangat dekat dengan kondisi kita sekarang.
Kalau begitu, apa yang bisa dilakukan? Mari kita lihat tiga teori yang bisa menjadi lensa untuk membaca persoalan ini: Growth Mindset, Dynamic Capabilities, dan Transformational Leadership.
Pertama, Growth Mindset. BIla tidak waspada, kampus dapat terjebak dalam pola pikir tetap (fixed mindset): “Selama ini kita sudah begini, toh mahasiswa tetap datang.” Tapi kenyataan sekarang berbeda. Dengan growth mindset, kita diajak percaya bahwa kita bisa belajar cara-cara baru, mencoba strategi berbeda, bahkan jika ada risiko gagal di awal. Kampus dengan mindset ini akan berani membuka jalur micro-credential, membuat kurikulum modular, atau mengintegrasikan teknologi baru dalam pembelajaran. Dosen pun tidak lagi nyaman dengan slide lama, tapi mengajak mahasiswa bereksperimen dengan cara belajar yang lebih interaktif. Begitu pula mahasiswa, yang diajak tumbuh bersama, bukan sekadar menghafal materi.
Kedua, Dynamic Capabilities. Konsep dari Teece, Pisano, dan Shuen ini mengingatkan kita bahwa organisasi yang ingin tetap relevan perlu kemampuan untuk sense, seize, dan transform. Kampus harus bisa membaca dan mengenal perubahan: daya beli orang tua menurun, calon mahasiswa mencari fleksibilitas, dan industri menuntut lulusan yang siap kerja. Dari sana, kampus harus cepat menangkap peluang: membuat program studi yang relevan, menawarkan kelas hybrid yang lebih hemat biaya, atau merancang kursus singkat yang langsung berdampak pada keterampilan. Setelah itu, kampus perlu menata ulang dirinya: melatih dosen, memperkuat kerja sama dengan industri, bahkan membangun dana abadi agar biaya kuliah tidak seluruhnya dibebankan pada mahasiswa. Inilah cara agar kampus tidak sekadar bereaksi, tapi proaktif menjemput masa depan.
Ketiga, Transformational Leadership. Semua ide di atas hanya bisa berjalan mulus kalau ada pemimpin yang mampu mengerakkan dan memberi inspirasi. Rektor atau dekan bukan lagi sekadar pengurus administrasi, tapi change agent. Transformational leader hadir untuk mngintegrasikan, menyatukan dosen, mahasiswa, staf, dan alumni agar merasa bagian dari transformasi. Membangun sinergi yang kokoh. Ia berani turun tangan, membuka ruang dialog, memberi dukungan untuk ide baru, bahkan ikut merasakan langsung tantangan di lapangan. Dengan kepemimpinan semacam ini, kampus bisa bergerak lebih cepat, mampu beradaptasi, tidak hanya mengikuti arus.
Selain tiga hal itu, ada satu faktor yang sering terlupakan: Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Banyak yang menganggap SPMI hanya formalitas dokumen, padahal kalau dijalankan secara adaptif dan fleksibel, sistem ini bisa menjadi tulang punggung inovasi. SPMI yang sehat bukan sekadar menjaga standar, tapi juga menyediakan ruang untuk eksperimen, refleksi, dan perbaikan terus-menerus. Dengan begitu, inovasi tidak berjalan liar, tapi tetap terarah dan bermakna.
Dukungan juga datang dari pemerintah. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Khairul Munadi, menyebut bahwa “Program Penguatan Perguruan Tinggi Swasta tahun ini menjadi momen penting bagi kampus-kampus swasta untuk melakukan lompatan besar dalam transformasi digital.” Pernyataan ini jelas: ada dorongan agar kampus PTS tidak hanya bisa bertahan, tapi berani bertransformasi dalam mutu, tata kelola, dan akses pendidikan. Dukungan semacam ini harus dijawab dengan keseriusan, karena kalau tidak, kesempatan akan lewat begitu saja.
Jadi, turbulensi ini memang nyata: jumlah mahasiswa berkurang di sebagian kampus, daya beli orang tua menurun, persaingan semakin ketat. Tapi justru di tengah situasi seperti ini, peluang besar terbuka. Kalau kita berani meninggalkan logika kemarin, menumbuhkan mindset baru, mengasah kemampuan adaptif, menegakkan sistem mutu yang mendukung inovasi, dan dipimpin oleh sosok yang inspiratif, maka dunia kampus kita bukan hanya bertahan, tapi bisa tumbuh lebih relevan.
Kita tidak bisa serta merta mengubah keadaan ekonomi nasional yang sedang lesu. Tapi kita bisa memastikan bahwa kampus hadir sebagai bagian dari solusi—membuka akses pendidikan, menjaga kualitas, dan memberi harapan nyata bagi generasi muda. Kalau itu bisa kita lakukan, turbulensi ini kelak akan dikenang bukan sebagai krisis, melainkan sebagai titik balik yang membuat perguruan tinggi kita semakin kuat dan berarti.
Say Relevant!